Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Flash Disk mengalami Write Protect

Pengetahuan pada artikel kali ini adalah :

  • Flash Disk mengalami Write Protect Error
  • Anda tidak dapat membuang file atau memasukan file ke dalam Flash Disk
  • Upaya melakukan format pada Flash Disk mendapatkan pesan Write Protect
  • Flash Disk terkadang mengalami hal yang sama bila digunakan oleh komputer berbeda. Dan tetap tidak dapat digunakan oleh komputer anda, walaupun terkadang dapat bekerja pada komputer lain

Pesan ditampilkan pada Windows XP :

Pada pesan pertama, pesan muncul ketika dilakukan format

Pesan ke 2 ketika file lakukan write file atau memindahkan file ke flash disk

Pesan ke 3 adalah pesan lainnya ketika flash disk dimasukan data dari harddisk











Tip dengan CHKDSK dan Format melalui Dos Prompt:

  1. Masuk ke DOS Prompt Windows XP dan ketik CHKDSK /F Drive letter : (chkdsk /f v:)
  2. Selesai memeriksa dari Check Disk (CHKDSK), coba anda buang file yang ada pada Flash Disk dengan perintah Del drive letter:*.*. Contoh pada perintah membuang file dari Flash Disk di drive V: adalah DEL V:*.*
  3. Sekali lagi anda coba format dengan perintah Dos Promt. Format V:
  4. Atau gunakan cara melalui Computer Management dan lihat volume drive V, dan anda coba format. Bila masih terdapat pesan error lakukan boot pada computer

Tahap 1






Tahap 2











Tahap 3.4










Result

Flash disk anda mengalami corrupt. Cara yang disebutkan di atas adalah untuk memperbaiki flash disk yang corrupt file dan mengalami file protect ketika meng-copy atau memindahkan data serta tidak dapat melakukan format.

Selesai melakukan format pada Flash Disk, tetapi anda mendapat pesan yang sama ketika melakukan format. Coba anda lakukan boot pada komputer untuk me-refresh Windows XP agar mengenal Flash Disk anda. Bila masih mengalami hal sama, coba anda ulangi kembali melakukan chkdsk, bila masih terdapat pesan invalid link. Bila kedua kalinya anda masih mengalami hal tersebut, cara yang kami berikan tidak berlaku untuk flash disk anda.

Kasus Flash Disk Write Protect terkadang hanya terjadi pada satu buah computer sementara beberapa waktu masih dapat digunakan oleh komputer berbeda. Tetapi dapat juga langsung terjadi pada semua komputer yang ketika anda menghubungkan Flash Disk anda baik pada sistem Windows XP atau OS lain.

Hal lain dapat saja membuat error pada flash disk anda dan belum tentu disebabkan karena corrupt file yang membuat kasus seperti di atas.





Posisi Pendidikan Islam Dalam....

POSISI PENDIDIKAN AGAMA (ISLAM)
DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2003

Oleh : lato hardi

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (3) berbunyi: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Sejalan dengan semangat Undang-Undang Dasar tersebut pemerintah kemudian membuat undang-undang pendidikan yang di antara isinya mengatur tentang pendidikan agama. Seiring dengan perkembangan masyarakat, nampaknya perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama di sekolah mengalami perubahan-perubahan. Pada awalnya, ketetapan tentang pendidikan Agama di Sekolah muncul melalui UU No 4 Tahun 1950 Jo No 12 Tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Namun nampaknya ketetapan ini belum sepenuhnya memberikan hak terhadap anak-anak sekolah untuk memperoleh pendidikan agama di sekolah. Hal ini karena ketetapan tersebut hanya mengatur pengajaran agama di sekolah negeri. Selain itu pihak yang menentukan apakah seorang anak dapat menerima pelajaran agama atau tidak, bukan satuan pendidikan, tetapi sangat tergantung pada orang tua anak. Undang-undang tersebut berbunyi:

Pada sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orangtua murid berhak menentukan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak. Kemudian setelah muncul UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara memberikan hak yang penuh kepada peserta didik di sekolah untuk mendapatkan pendidikan agama, baik itu sekolah negeri ataupun swasta. Dalam UU nomor 20 pada Bab V, pasal 12 ayat 1 a, secara lugas dinyatakan bahwa: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Adanya isi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan perlunya keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menunjukkan bahwa pendidikan agama memiliki makna yang penting, dan perlu diperhatikan oleh berbagai kalangan. Dalam kenyataan, umumnya sekolah memang telah memberikan perhatian terhadap pendidikan agama, sebagaimana terlihat dari adanya kurikulum agama dan berbagai kegiatan keagamaan di sejumlah sekolah dewasa ini. Hanya saja - sebagaimana banyak kritik dialamatkan kepada sekolah- pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah belum memperoleh hasil yang maksimal, atau bahkan dinilai gagal. Oleh karena itulah diperlukan berbagai inovasi dan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan mutu pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah.

Masalah pendidikan, menurut Malik Fajar, adalah masalah yang tidak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena itu menyangkut persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi fitrinya.[1] Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut digambarkan oleh John Vaisey sebagaimana dikutip oleh Muis Sad Iman, dengan menyatakan bahwa, setiap orang yang pernah menghadiri konferensi Internasional di tahun-tahun terakhir ini pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan yang memenuhi agenda. Makin lama makin jelas bahwa organisasi-organisasi internasional itu mencerminkan apa yang terjadi di semua Negara di dunia. Hampir tidak ada satu Negara pun dewasa ini dimana pendidikan tidak merupakan topik utama yang diperdebatkan.[2]

Bagaimana dengan pendidikan Islam di Indonesia? Pendidikan Islam di Indonesia, sama nasibnya. dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu: berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara professional.[3]

B. PEMBAHASAN

Usaha pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Islam di Indonesia dapat kita lihat komitmen mereka dalam penyusunan UU Sisdiknas 2003, walaupun ada sebagian Pasalnya, pemerintah belum merealisasikan secara konsisten, contohnya Pasal 49 ayat 1 tentang anggaran pendidikan,[4] oleh karena itu makalah ini akan membahas posisi pendidikan agama (Islam) dalam UU Sisdiknas 2003.

A. Pengertian Pendidikan, Pendidikan Nasional, dan Pendidikan Islam

1. Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (1) adalah:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

2. Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat (2) adalah:

pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

3. Pendidikan Islam

a. Pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis untuk mengembangkan potensi anak didik berdasarkan pada kaidah-kaidah agama Islam.

b. Muhammad fadhil al-djamaly (1967):

Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kehidupannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajar (pengaruh dari luar) yang dimiliki dan diterimanya.

d. Zakiah Daradjat

Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim. Atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.[5] Pendidikan Islam adalah usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[6] (Pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan kepribadian total manusia secara seimbang, melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam aspeknya: spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic baik secara individual maupun secara kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian pada umumnya).

Dari definisi-definisi di atas, baik yang dikemukakan UU Sisdiknas 2003 maupun para tokoh pendidikan, dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laku islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis).

B. Posisi Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas 2003

1. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

2. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional adalah:

Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Dalam hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.

3. Pasal 4 ayat (1)

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.

4. Pasal 12 ayat (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing dan diajarkan oleh guru/pendidik yang seagama. Tiap sekolah wajib memberikan ruang bagi siswa yang mempunyai agama yang berbeda-beda dan tidak ada perlakuan yang diskriminatif.

5. Pasal 15

Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

6. Pasal 17 ayat (2)

Pendidikan dasar terbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

7. Pasal 18 ayat (3)

Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

8. Pasal 28 ayat (3)

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Salah satu jenis pendidikan nasional adalah pendidikan agama. Setingkat taman kanak-kanak (TK) dinamakan raudatul athfal (RA), sekolah dasar (SD) dinamakan madrasah ibtidaiyah (MI), sekolah menengah pertama (SMP) dinamakan madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah atas (SMA) dinamakan madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK) dinamakan madrasah aliyah kejuruan (MAK).[7]

9. Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), majlis taklim) maupun informal (madrasah diniyah).[8]

10. Pasal 36 ayat (3)

Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

a. Peningkatan iman dan takwa;

b. Peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya…

11. Pasal 37

(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. pendidikan agama

b. pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya…

(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan; dan

c. bahasa.

kurikulum pada setiap jenjang pendidikan baik mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, wajib hukumnya memuat pendidikan agama (menurut agama yang dianut oleh peserta didik).

12. Pasal 55 ayat (1) mengenai Pendidikan Berbasis Masyarakat

Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

Dalam hal ini, masyarakat boleh mendirikan lembaga pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama masing-masing, seperti madrasah diniyah muhammadiyah (MDM), al-Ma’arif, dan lain-lain.

walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama[9] dan bukan pula Negara sekuler tetapi Negara Pancasila.[10] Dengan status Negara yang demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap memandang bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber nilai yang berlaku.[11]

Hal ini dapat kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU Sisdiknas 2003. dari perbagai Pasal di atas menerangkan bahwa pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam).

C. PENUTUP

Abdur Rahman Assegaf, dkk mengutip pendapat M. Arifin, bahwa pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun masih perlu disempurnakan terus, menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam perubahan tingkah laku remaja adalah relatif lebih baik disbanding dengan kondisi sebelum pendidikan agama tersebut diwajibkan. [12]Sekurang-kurangnya pengaruh pendidikan agama tersebut secara minimal dapat menanamkan benih keimanan yang dapat menjadi daya preventif terhadap perbuatan negative remaja atau bahkan mendorong mereka untuk bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya.

Daftar Pustaka

Assegaf, Abdur Rahman, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)

http://derizzain.multiply.com

Idi, Abdullah Idi dan Suharto, Toto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)

Iman, Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)

Jabali, Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988) cetakan II

Sanaky, Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press)

Supriyoko, Ki, Kuliah Politik Pendidikan Nasional Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sessi ke-12

Syam, Hasyim Yunus, 2005. Mendidik Anak ala Muhammad. Yogyakarta: Penerbit Sketsa., hal. x

UU Sisdiknas 2003



[1] Yunus Hasyim Syam. 2005. Mendidik Anak ala Muhammad. Yogyakarta: Penerbit Sketsa., hal. x

[2] Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Press., hal. 2

[3] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press), hal.9 atau dalam bukunya Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milennium Baru, (Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999), hal 59.

[4] Pasal 49 ayat (1) berbunyi: Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimanl 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

[5] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 28

[6] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 47-48 atau bukunya Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, alih bahasa Salman Harun, (Bandung: Al-Ma'arif, 1984), cetakan 1, hal. 27.

[7] http://derizzain.multiply.com

[8] http://derizzain.multiply.com

[9] Negara agama atau Negara theokrasi pada hakikatnya adalah suatu Negara yang berdasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. Negara secara keseluruhan dibentuk berdasarkan suatu ajaran agama tertentu, baik menyangkut bentuk Negara, kekuasaan

[10] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hal.143.

[11] Fuad Jabali dan Jamhari (peny.) IAIN Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002)., hal. 62.

[12] Abdur Rahman Assegaf, dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, op.cit., hal. 146

Lembaga Pendidikan

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NON-FORMAL LAINNYA
Oleh : lato hardi

I. PENDAHULUAN

Data sejarah mengungkapkan bahwa umat Islam pernah mencapai prestasi ilmiah yang sangat gemilang pada abad kedelapan sampai abad keempat belas Masehi. Tentu saja prestasi yang demikian gemilang tersebut tidak mungkin mereka raih kecuali dengan kerja keras dari pihak ilmuan.

Kegairahan yang demikian besar dari para ilmuan dalam melaksanakan kegiatan ilmiah mereka hingga mencapai prestasi yang sangat gemilang, dan dalam jangka panjang telah mewariskan tradisi ilmiah Islam dipengaruhi oleh dorongan agama yang begitu kuat yang mendorong umatnya untuk menuntut ilmu. Banyak keterangan dalam al-Qur’an dan hadits Nabi yang berisi tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu.

Kegairahan para ilmuan juga dipengaruhi oleh apresiasi (penghargaan) yang tinggi masyarakat terhadap ilmu dan juga ilmuan-ilmuannya. Ilmuan sangat dihargai oleh seluruh lapisan masyarakat, baik dari kelas bawah, menengah dan atas.

Apresiasi masyarakat, khususnya para penguasa terhadap ilmu dan para ilmuan dapat dilihat dari minat mereka yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan dan penghargaan/penghormatan yang tinggi terhadap para ilmuan.

Bentuk penghargaan yang tinggi terhadap ilmu dan para ilmuan yang dilakukan oleh penguasa salah satunya adalah dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang ditanggung pembiayaannya baik secara kenegaraan maupun maupun pribadi penguasanya sendiri.

Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh para penguasa telah begitu banyak membantu perkembangan ilmu, baik yang berhubungan dengan bidang ilmu agama maupun ilmu umum. Lembaga-lembaga ini juga telah menghasilkan ilmuan-ilmuan Muslim terkemuka di berbagai cabang ilmu.

Dalam pembahasan makalah ini, akan dipaparkan lembaga-lembaga pendidikan Islam non-formal yang ada di dunia Islam pada saat itu, yaitu : Perpustakaan, Observatorium, Baitul Hikmah, Darul Hikmah, Rumah Sakit, Tokoh Buku, Sanggar Sastra dan Majlis Ilmu.

II. PEMBAHASAN

1. Perpustakaan

Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.

Umat Islam, khususnya para penguasa dan orang kaya adalah orang yang sangat gemar dan penuh semangat terhadap buku. Dunia ilmu dan buku telah menempati kedudukan dan nilai moral yang sangat tinggi. Karena itu mereka banyak mendirikan perpustakaan. Al-Qalqasyandi menyatakan bahwa ada tiga perpustakaan besardi dunia Islam, yaitu perpustakaan ‘Abbasiyah di Baghdad, Fathimiyyah di Mesir dan perpustakaan Umayyah di kordoba.[1]

Perpustakaan di Baghdad adalah Baitul Hikmah yang didirikan oleh al-Mamun. Perpustakaan ini merupakan perpustakaan yang besar pada masanya banyak menyimpan karya-karya agung dan langka.

Perpustakaan Fathimiyyah di mesir yang dimaksud adalah Darul Hikmah didirikan oleh al-hakim (996-1021), khalifah fathimiyyah di Kairo, Mesir². Perpustakaan ini mengoleksi tidak kurang dari 100.000 ribu judul buku dan 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak. Perpustakaan ini sudah mengenal system katalog untuk masing-masing cabang ilmu.

Perpustakaan besar yang ada di Kordoba yang dimaksud adalah perpustakaan yang dibangun oleh khalifah-khalifah bani Umayyah yang ada di Andalusia. Perpustakaan ini dikelolah oleh seorang pustakawan yang bernama Bakiya.

Selain perpustakaan-perpustakaan besar yang telah disebutkan tadi, banyak perpustakaan lain yang jumlahnya ribuan yang berkembang dan dibangun baik oleh penguasa maupun secara pribadi.

2. Observatorium

Observatorium yaitu sarana penelitian ilmiah non-formal, khususnya yang berkaitan dengan astronomi. Observatorium ini tidak banyak dibangun oleh penguasa dan jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Khalifah al-Makmun membangun observatorium di Baitul Hikmah dengan mempekerjakan al-Khawarizmi untuk mengamati dan melakukan studi riset di observatorium, khususnya untuk menyusun kalender. Khalifah al-Hakim juga membangun observatorium di Darul Hikmah Mesir. Dinasti hamadan juga membnagun observatorium dengan mengangkat Ibnu Sina sebagai pengelolahnya dan bangsa Saljuk juga membangun observatorium besar untuk Umar bin khayyyam.

Di samping observatorium yang sudah disebutkan diatas, ada observatorium yang paling terkenal dan penting yang dibangun di Maragha, dekat Tabriz, yang pada saat itu menjadi ibukota dinasti Ilkhaniyyyah. Observatorium ini dipimpin oleh nashir al-Din thusi yang telah berhasil mengubah observatorium dari konsen individual menjadi lembaga ilmiah, di mana sekelompok ilmuan berprestasi bekerja sama dan yang tidak tergantung kelestariaannya kepada seorang individu. Observatorium ini juga sudah memiliki instrumen yang unik termasuk bola-bola terrestrial (bumi) dan celestial (langit) dan peta iklim bumi.

Sebagai lembaga-lembaga pendidikan non-formal observatorium-observatorium telah berhasil menghasilkan beberapa astronom besar, seperti al-Majrithi di Andalus, nashir al-din thusi dan Quthb al-Din Syirazi di Maragha, Ibn Shatir di Damaskus dan Ulugh begh di Samarkhand.

3. Baitul Hikmah

Baitul Hikmah didirikan oleh khalifah al-Makmun di Baghdad, sebagai pusat riset dan penerjemahan. Baitul hikmah merupakan instrumen bagi penerjemahan karya-karya kuno, khusnya Yunani, Persia dan Hindu ke dalam bahasa Arab oleh para ilmuan pada masa itu. Pembelian manuskrip dibiayai oleh penguasa dan ilmuan mendapatkan bayaran emas seberat karya terjemahannya.

Ilmuan yang terlibat proses penerjemahan ini antara lain : al-Kindi, hunayn bin ishaq, sahl bin Harun dan Sa’id bin Harun. Selain mereka ada al-Khawarizmi yang telah berhasil membuat sebuah karya di bidang astronomi berdasarkan tulisan-tulisan orang India.

4. Darul Hikmah

Darul Hikmah didirikan oleh khalifah al-Hakim di Kairo Mesir. Darul Hikmah berbentuk ruangan bawah tanah yang dihiasi dengan karpet di lantai dan dindingnya. Di tempat ini selain di sediakan buku, disediakan juga kertas, pena dan tinta untuk umum.

Darul Hikmah mengajarkan membaca, menulis dan melakukan penelitian. Di lembaga ini para asisten dan pesuruh mendapatkan gaji tetap dan para ilmuan pun diberikan gaji untuk melakukan studi di lembaga tersebut.

5. Rumah Sakit

Lembaga pendidikan non-formal lain yang memberi sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, khususnya kedokteran adalah Rumah Sakit. Kehadiran Rumah Sakit tentu saja penting karena implikasi praktisnya kepada kesehatan penguasa.

Rumah Sakit pada masa ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat mengobati orang sakit saja, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga tranmisi ilmu kedokteran. Rumah Sakit di samping menyediakan pelayanan kesehatan juga sebagai tempat belajar.

Di Baghdad terdapat 60 lembaga medical, Kairo mempunyai lima Rumah sakit. Kota-kota Spanyol, kordova dan Seville merupakan pusat medical yang besar yang semuanya dibangun dengan bangunan yang megah dan fasilitas yang mewah.

Para dokter Rumah Sakit seperti Ibn Sina dan Ibn thufayl selain sebagai dokter, juga memiliki kedudukan social yang tinggi di masyarakat. Di samping itu pula para dokter berjasa dalam mengasimilasikan filsafat Yunanai dan ilmu-ilmu alam ke dalam kebudayaan dan peradaban Islam.

6. TOKO BUKU

Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegi­atan keilmuan Islam dan juga sebagai tempat untuk transmisi ilmu dalam Islam. Di toko-toko buku tidak hanya dijual buku-buku demi mencari keuntungan, tetapi toko-toko buku ini juga dig unakan sebagai gelanggang bagi pekerja-pekerja dan ulama-ulama berdiskusi. Toko-toko buku mempunyai peranan yang tidak kecil dalam menyebarkan pengetahuan dan buku-buku khususnya filsafat dari sains Yunani— wakupun tidak besar karena waktu itu belum ada percetakan.Biasanya pemilik toko buku itu yang menyalin buku dan sekaligus menjadi guru atau pemimpin dalam diskusi.

Toko-toko buku muncul sejak permulaan Kerajaan Bani Abbas. Toko-toko buku kemudian menyebar ke seluruh dunia Islam. Di Bagdad sendiri, menurut Stanton, terdapat 100 toko buku. Selain Bagdad, Sharaz, Marv, Mosul, Basrah, Kairo, Cordova, Fez, Tunis,dan beberapa kota lainnya telah mendukung berkembangnya toko-toko buku.[2]

7. MAJLIS

Majlis adalah isim makan - kata yang menunjukkan arti tempat dari kata kerja (fi’il) jalasa. Jalasa artinya duduk, sinonim dengan kata qa’ada. Jalasa mengacu kepada keadaan duduk setelah melakukan kegiatan lain, seperti tidur dan berbaring. Bahkan majlis dipakai untuk menunjuk arti orang-orang yang duduk dalam suatu majlis. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pengajaran, sebagai contoh, majlis Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam syafi’i[3]

Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut:[4]

a. Majlis al-Hadis

Majlis ini ada dua tipe, majlis hadis yang permanen dan majlis hadis yang diselenggarakan sewaktu-waktu.

Majlis hadis yang diselenggarakan secara permanen biasanya dilaksanakan oleh seorang ulama/guru yang ahli dalam bidang hadis. Dia membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini bisa berlangsung sampai 20 tahun, bahkan sampai' 30 tahun.

Kelas hadis yang diselenggarakan sewaktu-sewaktu, biasanya; dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun oleh ulama yang bukan ahli di.bidang hadis. Pertemuan ini di samping disajikan untuk murid-murid yang belajar hadis, juga diselenggarakan untuk publik. Majlis hadis untuk publik biasanya disejenggarakan atas perintah seorang khalifah atau gubernur-gubernur. Tujuannya adalah untuk memobilisasi massa agar menentang mereka yang memberontak penguasa atau anti pemerintah atau suatu aliran yang tidak sepaham dengan ideologi penguasa. Ulama-ulama diminta meriwayatkan hadis-hadis yang menentang paham suatu golongan, seperti mu'tazilah atau syi'ah. Jumlah peserta yang mengikuti bisa mencapai ratusan ribu. Suatu riwayat mekporkan bahwa peserta majlis hadis yang disampaikan oleh Ashim bin' Ali di mesjid Al-Rusafa mencapai jumkh antara 100.000 sampai 120.000 orang.

b. Majlis al-Tadris

حدث

Pada masa Klasik, ada sedikit perbedaan istilah antara kelas hadis dan kelas yang mempekjari disiplin ilmu lainnya. Kegiatan pengajaran di bidang hadis secara khusus memakai istilah dari hadatsa. Sedangkan kelas disiplin lainnya biasa disebut dengan majlis fikih, majlis nahu atau majlis kalam. Majlis fikih, majlis nahu atau majlis kalam bisa disebut majlis tadris, tetapi majlis hadist tidak

c. Majlis al-Munazharah

Majlis al-Mlinazharah merupakan pertemuan perdebatan bukan semacam lembaga pendidikan reguler. Terdapat beberapa macam majlis al-Munazharah.

i. Majlis al-munazharah'yang diselenggarakan atas perintah khalifah.

Menurut Syalabi, Khalifah Mu'awiyah sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di istananya.[5] Pada masa Dinasti Abba-siyah, Khalifah Al-Makmun sering mengundang ulama untuk berdiskusi di istana. Suatu riwayat mekporkan bahwa Al-Makmun menyuruh Yahya bin Akthan memngumpulkan ulama Skih dan bidang lainnya untuk menghadiri majlis al-munazharah, Majlis al-mtm«2/wra/7yangdiselenggarakan oleh Al-Makmun, sangat dikenal adalah majlis yang memperdebatkan masalah apakah al-Qur'an itu makhluk atau qadim, Perdebatan itu pada akhirnya menimbul-kan peristiwa mihnah yang menggoncangkan umat Islam pada periode Klasik.

ii. Tipe kedua ini adalah majlis al-munazharah yang lebih bersif at edukatif. Majlis ini dikksanakan secara kontinyu. Majlis ini muncul setelah terjadi proses belajar-menerangkan pekjaran, bertanya kepada murid-muridnya apakah pekjaran yang disampaikan menimbulkan pertanyaan. Jika murid bertanya, guru akan menjawab. Di akhir jawabannya, guru tadi memberi kesempatan yang lain untuk menanggapi sehingga terjadikh suatu perdebatan.

iii. Majlis al-munazharah yang diselenggarakan secara spontan. Pertemuan ini terjadi secara tidak sengaja. Misalnya, seorang ulama bertemu dengan temannya di suatu mesjid, setelah ngo-brol-ngobrol terjadi diskusi ilmiah, maka secara spontan terjadi majlis al-munazharah. Kemungkinan kin terjadi jika seorang ulama mengunjungi temannya yang sakit. Setelah berbincang-bincang tidak sengaja sampaikh mereka kepada perdebatan ilmiah hingga terjadi majlis al-munazharah..

iv. Majlis al-Munazharah yang bersifat seperti kontes terbuka antara beberapa ulama. Majlis ini diselenggarakan dengan mengumpul-kan beberapa ulama. Selain untuk memutuskan masalah, tujuannya lalah untuk menentukan siapa yang dapat menjatuhkan kwannya dengan mengemukakan argumen-argumen yang luas dan meyakinkan, dialah yang diakui sebagai ulama terkemuka. Karena cirinya yang demikian, majlis ini sering dimanfaatkan oleh ulama ambisius untuk mencari ketenaran.

d. Majlis al-Muzakarah

Muknya Majlis al-Muzakarab adalah inovasi dari murid-murid belajar hadis

bekjar hadis. Sebelum dimulainya pekjaran, biasanya mereka berkumpul untuk salingmengingat dan m&review pekjaran yangsudah berlalu sambil menunggu kehadiran guru. Lama kelamaan, majlis ini berkembang menjadj .siiatiijembaga pendidikan.

Sebelum berkembang menjadi lembaga pendidikan yang ketat dan rapi, majlis ini adalah majlis dimana ulama-ulama hadis mendis-kusikan hadis di tempat terbuka. Mereka mengizinkan murid-murid mereka bertanya atau memberi saran mengenai topik yang didiskusi-kan. Berikutnya, majlis ini berkembang menjadi forum perdebatan dari pada sebagai sarana untuk saling menukar hadis. Seseorang yang ingin terlibat dalam pertemuan ini harus siap dalam meriwayatkan hadis-hadis yang sesuai dengan topik yang didiskusikan.

e. Majlis al-Syu'ara

Majlis ini dapat dikatakan sebagai kelas tempat belajar syair atau sebagai lembaga kontes para ahli syair. Majlis ini mampu menarik pekjar dalam jumlah yang sangatbesar. Pertemuan ini hanya menarik Bagi ulama ahli bahasa dan murid-muridyang bekjar bahasa.

f. Majlis Adab

Sulit untuk memahami majlis al-adab sebagai lembaga pendidikan Islam dalam arti strict. Sulit juga untuk mendefinisikan dan mencari karakteristik dari majlis al-adab. Bagi bangsa Arab, al-adab mencakup tigarnacanrpembahasan, yaitu guisi, silsikh, dan kporan bersejarah bagi orang-orang terkenaL Oleh ka^ena itu, majlis al-adab mungkin merupakan pertemuan untuk lebih membahas salah satu atau kedga pembahasan al-adab. Majlis ini bercoraksemacam perbincangan daripada sebagai tempat mengajar.

g. Majlis al-Fatwa dan al-Nazbar

Majlis ini adalah majlis pertemuan ulama fikih dan pelajar yang hendak bclajar fikih. Murid-muridyang ingin mendalami fikih tidak ikan mcrnbiarkan majlis ini. Mereka harus mengikutinya untuk mengambil hikmah. Mereka menghadiri pertemuan ini dan mencatat fatwa-fatwa yang dibahas. Majlis ini diselenggarakan untuk mencari kesepakaian dari beberapa masalah yang dibahas, kemudian kesepa-k.itan terscbut difatwakan yang dapat dipegangi sebagai kepastian hukum. Karena karakter majlis al-Fatwa adalah perdebatan, maka majlis-Fatwa seringkali digabungkan dengan majlis al-nazhar.

8. HALAQOH

Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai menerangkan, membacakan karangannya atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk fllsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengeta­huan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.

9. KHAN

Khan juga dijadikan saran tempat untuk belajar privat. biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di'lij ibn Ahmad ibn Di'lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam Suraij.[6]

10. RIBATH

Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan din dari kehidupan duniawidan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah iia-mata. Ribath biasanya dihuni olehsejumlah orang-orang kin Mereka bersama-sama melakukan praktik-praktik sufistik. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah munculnya madrasah. i, uu-.ik madrasah yang dilengkapi dengan ribatb-ribatb. Sejak masa Kuirasoh dan ribath diorganisir dalam gans kebijaksanaan yang yakni kembali kepadafoitoHpksiunnpPembentukan lembaga-di Kiar organisasi Sunru yang ditetapkan sangat dihalangi. ka yang masuk ribatb harus mempunyai "kualitas yang khas bagi orang zawiyah". Mereka tidak boleh melakukan bid'ah[7]

11. RUMAH RUMAH ULAMA

Mesjid bukanlah satu-satunya tempat diselenggarakannya pendidikan Islam. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah muncul lebih awal dari pada mesjid. Sebelum mesjid dibangun, ketika di Mekkah Rasulullah menggunakan rumah al-Arqam sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun menggunakan rumah Beliau sebagai tempat berkumpul untuk belajar Islam.[8] Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Namun para ulama di zaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.

12. BADIAH (Padang Pasir, Dusun Temp At Tinggal Badwi)

Semenjak berkembangluasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar Arab yang beragama Islam. Namun, bahasa Arab di situ cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa pasaran.23 Namun tidak demikian halnya di badiah-badiab. Mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemur-nian bahasa Arab, Dengan demikian, badiah-badiak ini meru-pakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni.[9]

Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengeta­huan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[10]

13. HAUZAH ILMIAH

Perkembangan hauzah-hauzah ilmiah bermula sejak awal zaman Islam lagi, iaitu ketika Rasulullah sallahua’laihi wa sallam, menghimpunkan sahabat baginda di Darul Arqam untuk mengajar kepada mereka tentang al-kitab dan hikmah. Kemudian majlis seumpama ini dipindahkan ke masjid, berkembangan suasana sekitar dan zaman selepasnya telah mengubah corak hauzah sedikit demi sedikit, setiap hauzah yang wujud mempunyai cara dan bentuknya tersendiri, ada yang dipanggil ribat atau pondok jika di nusantara kita.

Julukan hauzah ilmiah diberikan bagi sebuah pusat ilmiah yang mengkhususkan kajian-kajian islam bagi mengkaji sudut pandang Islam dalam setiap bidang kehidupan mencakupi politik, ekonomi, pemikiran, sosial, kebudayaan dan lain-lain.[11]

III. PENUTUP

Prestasi gemilang umat Islam di bidang ilmu pengetahuan tidak lepas dari peranan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh masyarakat muslim pada saat itu (khususnya penguasa).

Lembaga-lembaga pendidikan seperti Perpustakaan, observatorium, Baitul hikmah dan lain-lain berperan dalam proses transmisi ilmu pengetahuan (khususnya ilmu pengetahuan umum), yang pada-akhirnya berhasil menelurkan ilmuan-ilmuan muslim yang kompeten di bidangnya masing-masing

DAFTAR PUSTAKA

Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta : logos, 1999),cet I.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: melacak akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islamdi Indonesia,(Bandung : Mizan, 1994).

Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta : PT.Grafindo Persada, 2004), cet I,

Syalabi, Ahmad Sejarah Pendidikan Islam, Terjemahan,(Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hal. 67

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hal. 43

http://usrahalarusi.kakiblog.com/



¹Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, Jakarta, Baitul Ihsan, 2006, cet. Ke-1,hlm. 36

² Ibid., hal.37

[2] Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta : logos, 1999),cet I, hal. 68

[3] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta : PT.Grafindo Persada, 2004), cet I, hal. 35

[4] Hanun Asrohah, hal. 49

[5] Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terjemahan,(Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hal. 67

[6] Hanun Asrohah, hal. 59

[7] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: melacak akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islamdi Indonesia,(Bandung : Mizan, 1994), hal. 67

[8] Hanun Asrohah, hal. 67

[9] Abudin Nata,hal. 42

[10] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hal. 43

[11] http://usrahalarusi.kakiblog.com/

Proses Belajar Mengajar

Tinjauan Filosofis terhadap Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam

Oleh : lato hardi

A. Pendahuluan

Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat Islam.

Perkembangan pendidikan Islam sangat erat sekali dengan kegiatan-kegiatan dakwah islamiyah.[1] Sekaligus sebagai media untuk dapat mengembangkan atau mensosialisasikan ajaran Islam kepada masyrakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui sarana pendidikan inilah, masyarakat akan mampu mengenal serta mengamalkan risalah islamiyah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pada tahap awal, pendidikan Islam berlangsung hanya untuk menyebarkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad kepada seluruh umat, kemudian berkembang menjadi upaya sadar yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan ahli dalam bidang tertentu, baik dibidang Agama, masyarakat dan pemerintahan. Ini semua karna Islam semakin berkembang dan telah membentuk pemerintahan Islam semakin berkembang dan telah membentuk suatu pemerintahan Islam.

Sederhana apa pun pendidikan Islam, pola interaksi guru dan siswa pasti sudah ada, karena guru dan siswa adalah elemen yang ada pada pendidikan tersebut. Untuk itu, kita perlu membahas tentang bagaimana bentuk pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam, dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pola interaksi yang ada saat itu.

Pendidikan merupakan sarana atau proses interaksi seorang pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Pendidik, peserta didik dan tujuan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, apabila salah satunya hilang maka hakekat dari suatu pendidikan akan hilang. Namun dalam situasi tertentu dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur-unsur lain seperti media teknologi, tetapi walaupun seperti itu guru tidak dapat digantikan keberadaannya dalam pendidikan. Mendidik merupakan pekerjaan profesional. Oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidik profesional.[2]

Para ahli pendidikan, pada umumnya memasukan guru sebagai pekerja profesional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.[3]

Jika guru dikatakan sebagai pendidik profesional yang pada akhirnya dipertanyakan eksistensinya secara fungsional.[4] Dalam hal ini banyak fenomena-fenomena yang terjadi banyak dari lulusan-lulusan pendidikan yang merosot dalam segi etika/akhlak dan dari intelektualitas cenderung mengalami kemerosotan, dengan demikian pada akhirnya para lulusan pendidikan kurang siap untuk menghadapi masa depan. Jika fenomena-fenomena ini benar adanya, baik langsung maupun tidak langsung akan terkait kepada peran guru sebagai pendidik profesional.

Permasalahan diatas mengandung tiga variabel yang akan diungkap, yaitu pola sikap guru terhadap interaksi edukatif dan interaksi timbal balik guru dan siswa pada pendidikan Islam.

B. Pembahasan

1. POLA SIKAP GURU TERHADAP SISWA DALAM INTERAKSI EDUKATIF PADA PENDIDIKAN ISLAM.

Bentuk pola sikap guru pada pendidikan Islam klasik berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola bentuk sikap Rasulullah dan sahabat dalam mendakwahkan Islam, yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswah al-hasanah.

1.1 POLA KEIKHLASAN

Pola keikhlasan, mengandung makna bahwa interaksi yang berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi tersebut, dan menganggap interaksi itu berlangsung sesuai dengan panggilan jiwa untuk mengabdikan diri pada Allah dan untuk mengemban amanah yang diberikan.

Rasa ikhlas yang ada pun, menimbulkan rasa tanggung jawab yang besar dalam diri guru untuk menjalankan tugas dengan baik.

Dalam pendidikan Islam dasar dan menengah setidaknya peranan guru sangat mendominasi. Walaupun masih banyak variabel yang mempengaruhi kualitas hasil pendidikan bahkan masih banyak di beberapa lembaga pendidikan guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Oleh karena perlu ditinjau peran seorang guru dalam proses belajar-mengajar didepan kelas akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pendidikan tersebut.

Berat beban yang dipikul oleh seorang guru membuktikan betapa sulit untuk menjadi seorang guru, tidak cukup sekedar menguasai bahan dan didaktik metodenya, melainkan dituntut pula adanya kesiapan serta kematangan kepribadian dan wawasan keilmuannya. Seperti yang diungkapan oleh S. Nasution, MA. yang mengatakan bahwa “ mengajar adalah usaha yang kompleks sehingga dengan kompleksnya tugas tersebut sukar menentukan bagaimana sebenarnya mengajar yang baik. Namun, kemudian ia menegaskan bahwa salah satu ciri guru yang baik adalah guru yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan saja kepada murid, melainkan senantiasa mengembangkan pribadi anak. “[5] Disinilah pendidikan Islam mempunyai sandaran dan dasar dari Al-Qur’an, sunnah dan peninggalan orang-orang dulu yang saleh, seperti sabda Rasulullah s.a.w :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْانَ وَعَلَّمَهُ

‘Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا ُيفَقِّهُ فِي الدِّيْن

“ Barang siapa dikendaki oleh Allah dengannya kebaikan ia mengajarkan dalam agama.

Untuk membenahi itu semua, ada tiga aspek yang harus diperhatikan oleh seorang guru[6] :

1. Aspek peningkatan wawasan akademik, meliputi :

a) Wawasan medan keilmuan,

b) Wawasan medan objektif peseta didik,

c) Wawasan objektif masa depan

2. Aspek metodik mengajar dalam pendidikan Islam

3. Aspek Religik, meliputi : Pendidikan berwawasan nilai dan Satunya ilmu, iman dan amal

1. Peningkatan Wawasan Akademik

Wawasan akademik sebenarnya memiliki kontribusi cukup besar terhadap keberhasilan pengajar. Berdasarkan penilaian aspek memiliki urutan kedua setelah penguasaan bahan.Yang dimaksudkan dengan wawasan akademik adalah kemampuan seorang guru untuk menguasi bidang-bidang yang terkait dengan tugas profesi keguruan di mana bidang-bidang tersebut secara langsung menunjang tugas utamanya. Bidang tersebut jika disebutkan secara ringkas dapat dikelompokan dalam tiga aspek yakni penguasaan wawasan medan keilmuan, wawasan medan objektif peserta didik dan wawasan objektif masa depan.

a. Wawasan Medan Keilmuan

Di antara ciri masyarakat modern adalah segala sesuatu menjadi terspesialisasi, bahkan ilmu berkembang dan terbagi kedalam cabang-cabang yang sangat luas, tidak jarang banyak ilmu yang sudah lupa dengan induknya. Sebagai contoh banyak cabang ilmu yang lepas dari filsafat semakin jauh dari agama. Tidak jarang dianggap sebagai indikasi dari kemajuan. Namun tanpa disadari ini merupakann awal dari sebuah malapetaka, karena ilmu akan semakin sempit dan lebih sekuler.

Akibatnya lain dari hal ini banyak guru yang hanya memiliki satu keahlian dalam bidang tertentu tetapi tidak memiliki gambaran tentang bidang-bidang yang terkait. Seperti keterbatasan ilmu bahasa adalah sebagai alat untuk memahami ilmu intinya ; keterbatasan ilmu kalam adalah untuk mengetahui kebenaran dan keberadaan Allah swt dengan rasio ; Ilmu fiqih adalah untuk mengetahui kewajiban dan larangan bagi manusia dan kifayahnya. Ilmu-ilmu tersebut tidak mampu menanamkan kecintaan terhadapa Allah swt sebagaiamana kelebihan ilmu Tasawuf. Yang ditakutkan dalam hal ini adalah adanya bahaya dari sempitnya pandangan pendidik terhadap wawasan keilmuan adalah munculnya pandangan yang sempit bahwa kebenaran hanyalah apa yang terdapat dalam ilmunya saja, serta menolak bahwa di luar ilmunya masih terdapat dunia yang luas.

b. Wawasan medan objektif peserta didik.

Tidak sedikit pendidik (guru) yang masih asing terhadap sasaran garapan sehingga pendidik tersebut tidak memiliki pandangan yang luas dan realistis terhadap peserta didiknya. Ia kadang memarjinalkan peserta didik sebagai anak dewasa sama dengan dirinya, dan mereka memperlakukan peserta didik seperti memperlakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga peserta didik merasa berat atau tidak mampu untuk menerima atau menyerap pelajaran dengan mudah.

Seharusnya bagi seorang harus mampu menguasai medan peserta didik secara mendalam, agar pendidik mampu menyesuaikan ketika berada didepan kelas, yaitu dengan menguasai perkembangan psikologis peserta didik, dengan demikian tujuan pendidikan berjalan dengan baik.

a.Wawasan objektif masa depan

Sebenarnya tujuan pendidikan islam adalah menyiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan masa depan dengan berlandaskan kepada tutunan agama . Masa depan adalah milik semua peserta didik, tetapi kemampuan mereka untuk melihat masa depan sangat terbatas. Untuk itulah para pendidik harus memberikan wawasan yang cukup untuk mereka mengahadapi masa depan yang masih gelap.

Gambaran hidup masa depan perlu disampaikan secara dini melalui wawasan histori, dengan demikian wawasan historik itu tidak hanya mengungkapkan tentang keadaan masa lalu, tetapi juga yang sekarang dan akan datang.[7] Jadi, seorang harus memiliki wawasan yang luas serta mampu untuk menyampaikannya kepada peserta didik.

2. Aspek metodik mengajar dalam pendidikan Islam

Tentang fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelakasanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut, sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu.[8]

Adapun pokok-pokok dasar yang masuk dalam perkara metode mengajar dalam pendidikan Islam :

a) Konsep metode mengajar dalam pendidikan Islam.

b) Berbagai penjenisan dalam metode mengajar

c) Metode umum yang terpenting yang pernah digunakan dalam pendidikan Islam.

a). Konsep metode mengajar dan pentingnya dalam pendidikan islam.

Disini ada beberapa takrif tentang metode mengajar di antaranya[9] :

a. Prof..Mohd. Atiyah Al-Abrasyi mentakrifkan metode mengajar dalam bukunya “Ruh Attarbiyah Watta’lim : “Ia adalah jalan yang kita ikuti untuk memberi paham kepada murid-murid segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Ia adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas itu sesudah kita memasukinya”

b. Prof. Mohd. Abd. Rahim Ghunaimah mentakrifkan metode mengajar sebagai : “Cara-cara yang praktis yang menjalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.

c. Prof. Ali Al-Jumbalathy dan Abu Al-Fath Attawanisy mentakrifkan metode mangajar sebagai : Cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan maklumat ke otak murid-murid.

Inilah beberapa pendapat tentang takrif yang disebutkan oleh pendidik-pendidik modern tentang metode mengajar.

Pendidik-pendidik Islam adalah orang-orang pertama yang menekankan pentingnya metode pengajaran dan menentukan prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang harus dipelihara dalam metode mangajar, dialog, perdebatan dan pelajaran. Mereka juga menentukan tata cara yang harus dipunyai oleh guru dan murid ketika mangajukan suatu ilmu dan mengajarkannya, begitu juga menuntut dan mempelajari dari sumber-sumbernya yang bermcam-macam. Kitab-kitab pendidikan dan kebudayaan Islam yang sempat sampai ke tangan kita penuh dengan prinsip-prinsip, syarat-syarat tata-cara atau kesopanan ini, juga tentang cara-cara melaksanakan dan metode-metode yang diikuti oleh para pendidik Islam terkenal dalam pengajaran, kajian, dialog, perdebatan dan kerja-kerja pendidikan mereka umumnya. Dinatara buku-buku ini adalah “Tahzib Al-Akhlak-pendidikan Akhlak, “ dan “ Al-Fauz Al-Ashgar = keuntungan kecil.” Adabul Muallimin” = sopan santun guru oleh Ibnu Sahnun dan lain-lain lagi buku-buku pendidikan Islam.

b). Berbagai Penjenisan Dalam Metode Mengajar

Setelah memberikan sepintas tentang konsep metode mengajar dalam proses pendidikan Islam. Dengan kembali kepada buku-buku pendidikan Islam akan jelas kepada kita bahwa metode-metode dan cara-cara yang digunakan oleh pendidikan Islam dalam proses pengajaran dakwah, meyakinkan orang lain, petunjuk dan bimbingan itu bermacam-macam, berbeda-beda menurut tujuan pengajaran, menuntut ilmu dan mata pelajaran, menurut kursus dan perkara, menurut tahap perkembangan dan pelajaran murid-murid, menurut tahap kematangan murid dari segi jasmani, akal, emosi, social dan dari segi bakat, kemajuan, pengetahuan yang sudah-sudah, pengalaman-pengalaman dan tahap kesadaran dan kebudayaannya,dan menurut tujuan guru dari mengajarnya dan pengetahuan dan pengalamannya yang sudah-sudah. Maka pengajaran untuk dihafal berlainan dengan untuk mencapai kefahaman dan menumbuhkan ideal, sikap, perasaan dan minat. Metode mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa berlainan dengan mengajarkan ilmu-ilmu alam-semula jadi dan seni gunaan. Atau dengan kata lain metode mengajarkan tafsir Al-Quran atau nahu berbeda dengan mengajarkan tarikh, ilmu alam, ilmu hitung, kimia atau fisika. Metode mengajar pada pelajaran-pelajaran untuk menikmati dan apresiasi, pelajaran-pelajaran praktis, dan pelajaran-pelajaran ulangan. Dan metode yang sesuai dengan kanak-kanak kecil tidak sesuai dengan orang tua. Metode yang sesuai dengan orang-orang yang baru mulai belajar ilmu, mungkin tidak sesuai dengan orang-orang yang belajar pada tahap tinggi.Metode yang sesuai dengan murid-murid yang pintar, mungkin tidak sesuai dengan orang-orang yang runcat akal.Metode dan cara yang diikuti oleh ahli-ahli terkenal dan para pendidik mungkin tidak dapat di pakai oleh guru-guru yang baru mulai atau guru-guru yang pengalaman pengajarnya terbatas. Begitu jugalah dapat dikatakan tentang segi-segi perbedaan yang lain yang pengaruhnya besar pada perbedaan metode pengajar.[10]

Oleh sebab pertimbangan-pertimbangan itulah maka bermacam-macamlah metode dan cara-cara mengajar dan banyaklah pembahagian dan penjenisannya dalam buku-buku pendidikan Islam dan pendidikan modern. Ada sebagian pendidik-pendidik modern menyampaikan metode dan cara-cara yang dapat digunakan oleh guru dalam pengajarannya.

Kelompok-kelompok ini, dasar-dasarnya dan metode cabang yang termasuk di dalamnya adalah sebagai berikut :

1 –Metode mengajar yang berdasar ada alat-alat dan bahan-bahan yamg di gunakan padanya, seperti metode kitab, metode perpustakaan, metode laboratorium, dan metode proyek.

2 –Metode-metode yang berdasar pada cara yang diikutinya dalam mengemukakan fakta, seperti metode pertuturan, metode lukisan-lukisan metode contoh metode lawatan ilmiah dan pengajaran, metode partisipasi untuk latihan, dan lain-lain.

3 –Metode yang berdasar pada penyusunan mata pelajaran, seperti metode penyusunan masa metode penyusunan psikologi metode penyusunan logic, metode penyusunan mengikut perkara, mata pelajaran unit pelajaran atau mengikut masalah kehidupan.

4 –Metode berdasar pada tujuan yang di tuju oleh guru seperti metode nasihat, petunjuk dan bimbingan metode latihan metode menikmati dan apresiasi, metode pemikiran, kesimpulan dan analisa, metode penaksiran (diagnosa) dan metode pengembangan pengalaman.

5 –Metode yang berdiri atas tujuan murid, seperti metode penyelesaian masalah, metode proyek.

6 - Metode berdasar pada hubungan timbal-balik antara murid dan guru, seperti metode pengangkatan, metode pelajaran terarah metode proyek yang di pilih dengan bebas.

7 – Metode berdasar pada hubungan timbal-balik antara murid-murid satu sama lain, seperti metode kegiatan perseorangan, metode kegiatan panitia, metode kegiatan dalam bilik-darjah, dan metode kegiatan kerja sama (cooperation).

8 – Metode-metode berdasar pada derajat keturutsertaan (participation) murid-murid pada proses pendidikan, seperti metode persembahan bersama murid-murid, metode keturut sertaan tersusun dari murid-murid, metode memperdengarkan bersama dan metode kegiatan dari pihak murid-murid.

c. Metode Mengajar Umum Yang Terpenting Dalam Pendidikan Islam

Kitab-kitab pendidikan Islam mengandung banyak gambaran dan uraian tentang metode dan cara mengajar umum yang telah di gunakan oleh pendidik-pendidik islam. Diantara metode umum yang paling menonjol dapat disebutkan secara ringkas didalam ini :

Al-Toumy mencatat beberapa macam metode mengajar yang pernah digunakan dalam kalangan Islam dan juga dengan mengambil bukti dari ayat Al-Qur’an dan Hadist, antara lain :[11]

- Metode Qiyasih/Perbandingan

Metode ini berbeda dengan metoda indukatif, dimana perpindahan menurut metode ini dari yang umum kepada yang khusus, dari keseluruhan kepada bahagian kecil, dimana di sebutkan prinsip umum dahulu, kemudian diberi misal dan perincian yang menjelaskannya.

- Metode Kuliah

Metode kuliah adalah metode yang menyatakan bahwa mengajar menyiapkan pelajaran dan kuliahnya, mencatat perkara penting yang ingin di bincangkan.

- Metode Dialog Dan Perbincangan

Metode dialog metode yang berdasarkan kepada dialog. Perbincangan melalui Tanya jawab untuk sampai kepada fakta yang tidak di ragukan, kritik dan dibantah lagi

- Metoda Lingkaran (Halaqoh)

Pada metode ini, yang terus menerus di pergunakan pada yayasan pendidikan dalam dunia Islam semenjak bermulanya dakwah Islamiyah, pelajar mengelilingi gurunya dalam setengah bulatan untuk mendengarkan syarahnya.

- Metode Mendengar

Meriwayatkan ilmu pada abad pertama dakwah Islamiah bergantung penuh pada pendengaran saja. Sebab tulisan dan pembacaan belum tersebar luas dalam masyarakat Islam pada waktu itu, dan juga karma ahli pada abad ini tidak suka menulis apa yang di riwayatkan sebab mereka khawatir kalau-kalau itu akan diserupakan dengan Al-Quran, juga kekurangan yang menyebabkan membaca dan menulis itu sukar.

- Metode Lawatan Untuk Menuntut Ilmu

Pendidikan Islam menaruh perhatian besar terhadap lawatan dan kunjungan ilmiah dan ddianggapnya sebagai metode yang manfaat dalam mencari ilmu.

- Metode Imla (Dictation)

Metode imla’ adalah metode yang berikut sesudah metode mendengar. Tersiarnya metode imla ini disebabkan oleh tersiarnya kertas dan tulisan. Pada Imla’ guru mengatur setiap kata yang diucapkannya sedang murid mencatat setiap kata yang didengarnya.

Pendidikan Islam menaruh perhatian besar terhadap lawatan dan kunjungan ilmiah dan ddianggapnya sebagai metode yang manfaat dalam mencari ilmu.

3. Aspek religik, meliputi : Pendidikan berwawasan nilai dan Satunya ilmu, iman dan amal

Aspek ini menjadi penting dan menonjol dalam pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan islam. Sebab bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada falsafah Pancasila ternyata dalam perkembangannya semakin meninggalkan sifat sekuler dan sekarang lebih cenderung bersifat teistik. Langkah ini perlu diimbangi dengan praktek pendidikan yang lebih islami.

Diantara upaya untuk mengarah pada upaya ini adalah pertama, pendidikan harus memiliki wawasan nilai, dan kedua pendidikan harus mampu memadukan antara kebenaran ilmu. Iman dan amal.[12]

1) Pendidikan berwawasan nilai

Yang dimaksud dengan pendidikan berwawasan nilai adalah bahwa tujuan pendidikan, materai pendidikan dan praktek pendidikan haruslah selalu dikaitan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang universal. Dengan demikian sifat pendidikan tidak lagi hanya rasional objektif yang materialis. Sebab jika keadaan pendidikan nasional masih demikian, maka tujuan pendidikan nasional untuk membentuk kepribadiaan bangsa yang sosialistis religius tidak akan tercapai.

2) Sinkronisasi antara Ilmu, Iman dan Amal

Sebagai konsekuensi pendidikan yang berwawasan nilai tersebut, pendidikan islam harus mampu menyatukan antara iman, ilmu dan amal. Sinkronisasi ini tidak hanya dalam teori melainkan harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.

B. POLA KEKELUARGAAN

Pada masa ini, guru menyisipkan dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak. Artinya, mereka mempunyi tanggung jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak sndiri.

Pada pola ini, guru senantiasa bersiakap sebagai berikut :

1) Guru bersikap lemah lembut dalam proses belajar mengajar, pandai mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya pada anak dalam interaksi tersebut.

2) Guru mengetahui waktu yang tepat untuk memberiakn pujian dan hukuman serta bijaksana dalam memberikan jenis hadiah dan hukuman pada anak. Sebab, pada keadaan ini hadiah yang diberikan guru ada dua macam, yaitu ; hadiah berupa pujian dan berupa benda. Hukumanpun terbagi dua, yaitu hukuman berupa celaan dan hukuman berupa fisik.

3) Guru tidak bersikap pilih kasih, dengan tidak membedakan tingkat sosoial siswa dan interaksi edukatif.

C. POLA KESEDERAJATAN

Guru dalam interaksinya senantiasa memunculkan sikap tawadhu’ terhadap siswanya.[13] Pola interaksi seperti ini membuat guru menghargai potensi[14] yang dimiliki anak. Dengan demikian pola yang dimunculkan bernuansa demokratis; guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.

Sikap tawadhu’ yang dimiliki guru membuat ia tidak bersikap dictator atau merasa lebih benar dan merasa tidak penah salah. Kendati siswa masa ini dituntut untuk menghargai guru, menaatinya dengan sepenuh hati dan menyerahkan semua permasalahan pendidikin kepada guru.

D. POLA AL-USWAH AL-HASANAH

Pada pendidikan Islam klasik, interksi yang terjadi antara guru dan siswa tidak hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah mesyarakat, di mana guru menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang diajarkan.

2 POLA SIKAP SISWA TERHADAP GURU DALAM INTERKSI EDUKTIF

A. POLA KETAATAN

Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah dalam proses pencarian ilmu.[15] Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari rhidho-nya (kerelaan hatinya) menjauhi amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya selama tidak bertentangan dengan agama.

Gambaran ketaan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi dua yaitu pertama, ketaatan terhadap guru secara langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu kerumah guru hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan duduk jangan terlalu dekat dengan guru duduklah sejauh antar busur panah. Kedua ketaatan terhadap keluarga guru, meghormati guru dan semua orang yang mempunyai ikatan keluarga dengan guru.

A. POLA KASIH SAYANG

Menurut Ibn Miskawih kewajiban cinta siswa terhadap guru berada diantara cinta terhadap Allah dan cinta kepada orang tua, karna menurut Ibn Maskawih, guru merupakan penyebab eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh kebahagiaan sempurna.

Bertolak dari penjelas diatas kitab dapat mengetahui karakteristik pola sikap guru dan siswa dalam interksi edukatif, yaitu [16]:

1) Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang tercemin pada kesadaran social dan usha-usaha idealisik yang ditujukan pada penguasaan setiap kecapan yang menjadi tuntutan tugas seseorang.

2) Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu kewajiban agama.

3) Adanya hubungan pribadi yang dekat antar guru dan siswa, meminjam keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak; dengan mengajarkan keterampilan.

4) Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses belajar dan mengajar, tetapi interaksi tersebut tetap langsung ditengah masyrakat.

5) Adanya keseimbangan interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik.

6) Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi pada zaman Rasulullah.

Dari karakteristik pola di atas, kita dapat mengetahui bahwa tujuan pola interaksi guru dan siswa yang terjadi pada pendidikan Islam klasik seperti yang digambarkan diatas, memiliki tujuan yng sangat esensial, yaitu pola tersebut tidak hanya membantu dalam mentransfer pengetahuan dan keterampilan, melainkan merupakan suatu ikhtisar untuk menggugah fitrah insani sehingga siswa menjadi manusia sempurna.

3. POLA KOMUNIKASI GURU DAN SISWA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR PADA PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam pada masa ini sudah mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu pola satu arah dan pola banyak arah.[17]

Pertama, pola satua arah, seorang guru bertindak sebagai instruktur,dan senantisa mendorong siswa untuk lebih banyak menghafal, karena menganggap kemahiran ilmiah identik dengan pengetahuan yang hafal. Pada pola ini yang terlihat adalah metode talqin dengan hafalan.

Kedua, pola banyak arah. Pada pola ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswi. Ini terlihat pada proses belajar mengajar yang berlangsung melalui latihan bicara guna mengungkap pikiran dengan jelas dalam diskusi dan perdebatan masalah-masalah ilmiah.

Pola pertama lebih banyak dipakai pada periode awal sedangkan pada periode setengah kerasulan ia di pergunakan pada tingkat dasar. Sedangkan pada tingkat menengah ada keseimbangan antara pola pertama dan kedua, dan pada tingkat tinggi, pola kedua yang lebih mendominasi.

KESIMPULAN

Bentuk pola sikap guru terhadap siswa yaitu pola keikhlasan kekeluargaan, kesederajatan dan uswah al-hasanah, sedangkan pola sikap siswa terhadap guru, yaitu ketaatan dan kasih sayang.

Dari pembahasan di atas kita dapat mengetahui karakteritik pola interksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik, yaitu:

· Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha idealistik yang di tujukan pada penguasaan setiap kecapan yang menjadi tuntutan tugas seseorang.

· Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu kewajiban agama.

· Adanya hubungan pribadi yang dekat antara guru dan siswa menjamin keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan pengajaran pengajaran sebagai keterampilan.

· Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses belajar mengajar tetapi interaksi tersebut tetap berlangsung di tengah masyarakat.

· Adanya keseimbangan ineraksi guru dan siswa pada pendidikan islam klasik.

· Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi pada aman Rasulullah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam (Jakarta : Rajawali Pers, 1991)

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Beirut : Dar al-Jail)

Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia (Rawamangun : Prenada Media, 2003)

, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Logos, 1997), cet. I, hal. 93

, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998)

Omar Mohammad Al-Toumy, Falasafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1979)

Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997)

Moh.Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997),

S. Nasution, Asas-asas Pembelajaran, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1990 )

Thoha, M. Chabib, MA, Pendidikan Islam,(Yogyakarta : Pustaka pelajat, 1996)



[1] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan Pendidikan Islam di indonesia, (Rawamangun : Prenada Media, 2003), hal. 1

[2] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997), cet I, h. 191.

[3] Moh.Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997), cet. VIII, hal.14.

[4] Ibid. Abuddin Nata, hal. 136.

[5] S. Nasution, Asas-asas Pembelajaran, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1990 ), h. 12.

[6]. M. Chabib Thoha, MA, Pendidikan Islam,(Yogyakarta : Pustaka pelajat, 1996), cet.I h. 43

[7] . Ibid, hal. 45

[8] .Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Logos, 1997), cet. I, hal. 93

[9]. Omar Mohammad Al-Toumy, Falasafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1979), cet. I, hal 551

[10] . Ibid. Omar Mohammad Al-Toumy, , hal 557

[11] . Omar Mohammad Al-Toumy, hal. 171 - 172

[12] . M. Chabib Thoha, MA, h. 53-54

[13] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal. 50.

[14] Penghargaan potensi anak pada proses interaksi : siswa yang sudah pandai mengajar siswa yang belum pandai.

[15] Abudin Nata, op.cit., hal 55

[16] Abdul Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam (Jakarta : Rajawali Pers, 1991),hlm. 59 dan 63

[17] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Beirut : Dar al-Jail), hlm. 477-481