KERAJAAN MUGHAL DI
oleh : lato hardi
A. PENDAHUUAN
Setelah runtuhnya khalifah Abbasiyah di
Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul danj berkembangnya tiga kerajaan besar: Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani, disamping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibandig dua kerajaan lainnya. Dalam makalah ini akan dibahas Kerajaan Mughal di India. Kapan awal berdirinya, perkembangan dan kemajuan apa saja yang telah dicapai dan kemunduran kerajaan ini.
B. PEMBAHASAN
a. Kerajaan Mughal di India
Awal berdirinya kerajaan Mughal seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi, di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua
Kerajaan Munghal di India dengan
Setelah kerajaan Mughal berdiri, raja-raja Hindu di seluruh
Hamayu, putera sulung Babur, dalam melaksanakan pemerintahan banyak menghadapi tantangan. Sepanjang masa kekuasaannya selama sembilan tahun (1530-1539 M) Negara tidak pernah aman. Ia senantiasa melawan musuh. Diantara tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang misahkan diri dari
Humayun diganti oleh anaknya, Akbar, yang berusia 14 Tahun. Karena ia masih muda urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan, seorang Syi’i. pada masa akbar inilah kerajaan Mughal mencapai masa keemasannya.Diawal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh Himun yang menguasai
b. Ekonomi, Seni dan Budaya
Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan dan perdagangan. Akan tetapi, sumber keuangan Negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Di sektor pertanian ini, komunitas pemerintah dan petani diatur dengan baik.pengaturan itu didasarkan atas lahan pertanian. Deh merupakan unit lahan pertanian terkecil. Beberapa deh tergabung dalam beberapa pergana (desa). Komunitas pertanian dipimpin oleh seorang Mukaddam. Melalui para mukaddam itulah pemerintah berhubungan dengan petani. Kerajaan berhak atas sepertiga dari hasil pertanian dinegeri itu hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting ketika itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila dan bahan-bahan celupan.[5]
Disamping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu diekspor ke eropa, Afrika, Arabia dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di
Disini terlihat jelas sekali bahwa sumber keuangan kerajaan mughal dihasilkan dari sektor pertanian yang banyak menghasilkan, begitu juga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka mengirimkan hasil pertanian mereka keluar negeri berupa kerajinan seperti tenun, kain-kain dan lain sebagainya.
Seiring dengan majunya ekonomi, seni dan budaya juga berkembang disamping kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh bidang ekonomi dan seni. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra Gubahan penyair istana, baik yang berbahasa
SILSILAH RAJA-RAJA KERAJAAN SAFAWI[8]
(1252-1334 M)
Sadar al-Din Musa
(1334-1399 M)
![]() |
Khawaja Ali
(1399-1427 M)
Ibrahim
(1427-1447 M)
![]() |
Juneid
(1447-1460 M)
Haidar
(1460-1494 M)
![]() |
|
(1501-1524 M)
3. Tahmasp I
(1524-1576 M)
![]() |
|
(1577-1787 M)
![]() |
5. Abbas I
(1588-1628 M)
6.
(1628-1642 M)
7. Abbas II
(1642-1667 M)
![]() |
8. Sulaiman
(1667-1694 M)
9. Husein
(1694-1722 M)
![]() |
10. Tahmasp II
(1722-1732 M)
11. Abbas III
(1732-1736 M)
c. Kemunduran Kerajaan Mughal
Akhirnya, setelah kurang lebih satu setengah abad dinasti Mughal di India berkuasa para pelanjutnya tidak sanggung untuk tetap mempertahankan kekuasaannya yang telah dibina oleh sultan – sultan sebelumnya
Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politik mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di belah utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggeris yang untuk pertama kali diizinkan oleh jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai. Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setalah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkan. [9]
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), kerajaan berada dalam kondisi buruk dan tidak akan benar-benar pulih. Penggantinya meninggalkan kebijakan-kebijakan kemunalis, tetapi kerusakan sudah terjadi. Meskipun umat Islam tidak terpengaruh, tetapi tidak ada bukti otentik kemajuan Syariah Islam selama masa Aurengzeb, yang menerapkan keadilan untuk semua termasuk para dzimmi. Kerajaan itu muali terpecah dan pejabat-pejabat local Muslim cenderung mengontrol daerah meraka sebagai unit yang otonom.[10] Kemudian tahta kerajaan dipegang oleh Muazzab, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bahdur Syah diganti oleh anaknya. Akan tetapi pemerintahannya ditentang oleh Zulfiqar Khan, putera Azab Khan, wajir Aurangeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M, dan diganti oleh Puteranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, Adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat disingkirkan oleh Farukh Syiar tahun 1713 M. Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok Sayyid, tapi tewas di tangan pendukunggnya sendiri (1719 M). Sebagai gantinya, diangkat Muhammad Syah (117119-1748 M). Namun ia dan pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Syah yang sebelunya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia.[11] Keinginan Nadir Syah untuk tundukan kekuasaan Kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberi bantuan kepada pemberontakan Afghan di daerah
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daearah terlemah. Pemerintah daerah satu-persatu melepasakan loyalitas dari pemerintah pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing. Hiderabad dikuasai Nizam al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput Singh dari Amre,
Desintegrasi wilayah kekuasaan Mughal ini semakin diperburuk oleh sikap daerah, yang disamping melepaskan loyalitas terhadap pemerintah pusat, juga mereka senantiasa menjadi ancaman serius sebagai eksistensi dinasti Mughal itu sendiri.
Setelah Muhammad Syah meningal, tahta kerajaan Negara dipergang oleh Ahmad Syah (1748-1754 M), kemudian diteruskan oleh Alam (1761-1806 M). pada tahun 1761 M, kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Duranni dari Afgan. Kerajaan Mughal tidakl dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada dibawah kekuasaan Afghan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar Sultan.
Ketika kerajaan Mughal memasuki keadaan yang lemah seperti ini, pada tahun itu juga, perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata melawan pemerintah Kerajaan Mughal. Peperangan berlangsung berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan Oudh,
Syah Alam meninggal tahun 1806 M. tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837 M). pada masa pemerintahan Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena inggris mendapatkan dukungan dari beberapa penguasa local Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka di usir dari kota Delhi, 4 rumah-rumah ibadah banyak dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M).
Dengan demikian berakhir sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan
- Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris diwilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan miritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam mengoprasikan persenjataan kerajaan Mughal sendiri.
- Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan dalam penggunaan uang Negara.
- Pendekatan Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecendrungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
- Semua pewaris tahta kerajaan pada para terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.
Kesimpulan
Awal berdirinya kerajaan Mughal seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi, di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen, Islam A Short History, terjemahan (Ikon Teralitera : 2002), cet. II
Badri Yatim, Sejarah Peradaban I slam, (
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981)
Nasution, Harun Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta : UI Press, 1985, cetakan kelima)
Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (
Syalabi, Ahmad Sejarah dan Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, (Jakarta : Kalam Mulia, 1988)
[1] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam : Imperium Turki Usmani, (Jakarta : Kalam Mulia, 1988), hlm. 2
[3] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981) , Cet. IV, hal. 163
[4] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta : UI Press, 1985), Cet V, hlm.82
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (
[6] Ibid
[7] Badri Yatim, hal. 151
[8] Ibid, hal. 146
[9] Ibid.hal. 159
[10] Karen Amstrong, Islam A Short History, terjemahan (Ikon Teralitera : 2002), cet. II, hal. 151
[11] Hamka, hal 161-162
[12] Badri Yatim, hal. 160
[13] Hamka, hal 163
[14] Badri Yatim, hal. 161
[15] Badri Yatim, hal. 163
0 komentar:
Posting Komentar