Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Proses Belajar Mengajar

Tinjauan Filosofis terhadap Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam

Oleh : lato hardi

A. Pendahuluan

Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktek sejarah umat Islam.

Perkembangan pendidikan Islam sangat erat sekali dengan kegiatan-kegiatan dakwah islamiyah.[1] Sekaligus sebagai media untuk dapat mengembangkan atau mensosialisasikan ajaran Islam kepada masyrakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui sarana pendidikan inilah, masyarakat akan mampu mengenal serta mengamalkan risalah islamiyah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pada tahap awal, pendidikan Islam berlangsung hanya untuk menyebarkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad kepada seluruh umat, kemudian berkembang menjadi upaya sadar yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan ahli dalam bidang tertentu, baik dibidang Agama, masyarakat dan pemerintahan. Ini semua karna Islam semakin berkembang dan telah membentuk pemerintahan Islam semakin berkembang dan telah membentuk suatu pemerintahan Islam.

Sederhana apa pun pendidikan Islam, pola interaksi guru dan siswa pasti sudah ada, karena guru dan siswa adalah elemen yang ada pada pendidikan tersebut. Untuk itu, kita perlu membahas tentang bagaimana bentuk pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam, dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pola interaksi yang ada saat itu.

Pendidikan merupakan sarana atau proses interaksi seorang pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Pendidik, peserta didik dan tujuan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, apabila salah satunya hilang maka hakekat dari suatu pendidikan akan hilang. Namun dalam situasi tertentu dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur-unsur lain seperti media teknologi, tetapi walaupun seperti itu guru tidak dapat digantikan keberadaannya dalam pendidikan. Mendidik merupakan pekerjaan profesional. Oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidik profesional.[2]

Para ahli pendidikan, pada umumnya memasukan guru sebagai pekerja profesional, yaitu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.[3]

Jika guru dikatakan sebagai pendidik profesional yang pada akhirnya dipertanyakan eksistensinya secara fungsional.[4] Dalam hal ini banyak fenomena-fenomena yang terjadi banyak dari lulusan-lulusan pendidikan yang merosot dalam segi etika/akhlak dan dari intelektualitas cenderung mengalami kemerosotan, dengan demikian pada akhirnya para lulusan pendidikan kurang siap untuk menghadapi masa depan. Jika fenomena-fenomena ini benar adanya, baik langsung maupun tidak langsung akan terkait kepada peran guru sebagai pendidik profesional.

Permasalahan diatas mengandung tiga variabel yang akan diungkap, yaitu pola sikap guru terhadap interaksi edukatif dan interaksi timbal balik guru dan siswa pada pendidikan Islam.

B. Pembahasan

1. POLA SIKAP GURU TERHADAP SISWA DALAM INTERAKSI EDUKATIF PADA PENDIDIKAN ISLAM.

Bentuk pola sikap guru pada pendidikan Islam klasik berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola bentuk sikap Rasulullah dan sahabat dalam mendakwahkan Islam, yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswah al-hasanah.

1.1 POLA KEIKHLASAN

Pola keikhlasan, mengandung makna bahwa interaksi yang berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi tersebut, dan menganggap interaksi itu berlangsung sesuai dengan panggilan jiwa untuk mengabdikan diri pada Allah dan untuk mengemban amanah yang diberikan.

Rasa ikhlas yang ada pun, menimbulkan rasa tanggung jawab yang besar dalam diri guru untuk menjalankan tugas dengan baik.

Dalam pendidikan Islam dasar dan menengah setidaknya peranan guru sangat mendominasi. Walaupun masih banyak variabel yang mempengaruhi kualitas hasil pendidikan bahkan masih banyak di beberapa lembaga pendidikan guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Oleh karena perlu ditinjau peran seorang guru dalam proses belajar-mengajar didepan kelas akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pendidikan tersebut.

Berat beban yang dipikul oleh seorang guru membuktikan betapa sulit untuk menjadi seorang guru, tidak cukup sekedar menguasai bahan dan didaktik metodenya, melainkan dituntut pula adanya kesiapan serta kematangan kepribadian dan wawasan keilmuannya. Seperti yang diungkapan oleh S. Nasution, MA. yang mengatakan bahwa “ mengajar adalah usaha yang kompleks sehingga dengan kompleksnya tugas tersebut sukar menentukan bagaimana sebenarnya mengajar yang baik. Namun, kemudian ia menegaskan bahwa salah satu ciri guru yang baik adalah guru yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan saja kepada murid, melainkan senantiasa mengembangkan pribadi anak. “[5] Disinilah pendidikan Islam mempunyai sandaran dan dasar dari Al-Qur’an, sunnah dan peninggalan orang-orang dulu yang saleh, seperti sabda Rasulullah s.a.w :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْانَ وَعَلَّمَهُ

‘Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا ُيفَقِّهُ فِي الدِّيْن

“ Barang siapa dikendaki oleh Allah dengannya kebaikan ia mengajarkan dalam agama.

Untuk membenahi itu semua, ada tiga aspek yang harus diperhatikan oleh seorang guru[6] :

1. Aspek peningkatan wawasan akademik, meliputi :

a) Wawasan medan keilmuan,

b) Wawasan medan objektif peseta didik,

c) Wawasan objektif masa depan

2. Aspek metodik mengajar dalam pendidikan Islam

3. Aspek Religik, meliputi : Pendidikan berwawasan nilai dan Satunya ilmu, iman dan amal

1. Peningkatan Wawasan Akademik

Wawasan akademik sebenarnya memiliki kontribusi cukup besar terhadap keberhasilan pengajar. Berdasarkan penilaian aspek memiliki urutan kedua setelah penguasaan bahan.Yang dimaksudkan dengan wawasan akademik adalah kemampuan seorang guru untuk menguasi bidang-bidang yang terkait dengan tugas profesi keguruan di mana bidang-bidang tersebut secara langsung menunjang tugas utamanya. Bidang tersebut jika disebutkan secara ringkas dapat dikelompokan dalam tiga aspek yakni penguasaan wawasan medan keilmuan, wawasan medan objektif peserta didik dan wawasan objektif masa depan.

a. Wawasan Medan Keilmuan

Di antara ciri masyarakat modern adalah segala sesuatu menjadi terspesialisasi, bahkan ilmu berkembang dan terbagi kedalam cabang-cabang yang sangat luas, tidak jarang banyak ilmu yang sudah lupa dengan induknya. Sebagai contoh banyak cabang ilmu yang lepas dari filsafat semakin jauh dari agama. Tidak jarang dianggap sebagai indikasi dari kemajuan. Namun tanpa disadari ini merupakann awal dari sebuah malapetaka, karena ilmu akan semakin sempit dan lebih sekuler.

Akibatnya lain dari hal ini banyak guru yang hanya memiliki satu keahlian dalam bidang tertentu tetapi tidak memiliki gambaran tentang bidang-bidang yang terkait. Seperti keterbatasan ilmu bahasa adalah sebagai alat untuk memahami ilmu intinya ; keterbatasan ilmu kalam adalah untuk mengetahui kebenaran dan keberadaan Allah swt dengan rasio ; Ilmu fiqih adalah untuk mengetahui kewajiban dan larangan bagi manusia dan kifayahnya. Ilmu-ilmu tersebut tidak mampu menanamkan kecintaan terhadapa Allah swt sebagaiamana kelebihan ilmu Tasawuf. Yang ditakutkan dalam hal ini adalah adanya bahaya dari sempitnya pandangan pendidik terhadap wawasan keilmuan adalah munculnya pandangan yang sempit bahwa kebenaran hanyalah apa yang terdapat dalam ilmunya saja, serta menolak bahwa di luar ilmunya masih terdapat dunia yang luas.

b. Wawasan medan objektif peserta didik.

Tidak sedikit pendidik (guru) yang masih asing terhadap sasaran garapan sehingga pendidik tersebut tidak memiliki pandangan yang luas dan realistis terhadap peserta didiknya. Ia kadang memarjinalkan peserta didik sebagai anak dewasa sama dengan dirinya, dan mereka memperlakukan peserta didik seperti memperlakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga peserta didik merasa berat atau tidak mampu untuk menerima atau menyerap pelajaran dengan mudah.

Seharusnya bagi seorang harus mampu menguasai medan peserta didik secara mendalam, agar pendidik mampu menyesuaikan ketika berada didepan kelas, yaitu dengan menguasai perkembangan psikologis peserta didik, dengan demikian tujuan pendidikan berjalan dengan baik.

a.Wawasan objektif masa depan

Sebenarnya tujuan pendidikan islam adalah menyiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan masa depan dengan berlandaskan kepada tutunan agama . Masa depan adalah milik semua peserta didik, tetapi kemampuan mereka untuk melihat masa depan sangat terbatas. Untuk itulah para pendidik harus memberikan wawasan yang cukup untuk mereka mengahadapi masa depan yang masih gelap.

Gambaran hidup masa depan perlu disampaikan secara dini melalui wawasan histori, dengan demikian wawasan historik itu tidak hanya mengungkapkan tentang keadaan masa lalu, tetapi juga yang sekarang dan akan datang.[7] Jadi, seorang harus memiliki wawasan yang luas serta mampu untuk menyampaikannya kepada peserta didik.

2. Aspek metodik mengajar dalam pendidikan Islam

Tentang fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelakasanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut, sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu.[8]

Adapun pokok-pokok dasar yang masuk dalam perkara metode mengajar dalam pendidikan Islam :

a) Konsep metode mengajar dalam pendidikan Islam.

b) Berbagai penjenisan dalam metode mengajar

c) Metode umum yang terpenting yang pernah digunakan dalam pendidikan Islam.

a). Konsep metode mengajar dan pentingnya dalam pendidikan islam.

Disini ada beberapa takrif tentang metode mengajar di antaranya[9] :

a. Prof..Mohd. Atiyah Al-Abrasyi mentakrifkan metode mengajar dalam bukunya “Ruh Attarbiyah Watta’lim : “Ia adalah jalan yang kita ikuti untuk memberi paham kepada murid-murid segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran. Ia adalah rencana yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita terapkan dalam kelas itu sesudah kita memasukinya”

b. Prof. Mohd. Abd. Rahim Ghunaimah mentakrifkan metode mengajar sebagai : “Cara-cara yang praktis yang menjalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.

c. Prof. Ali Al-Jumbalathy dan Abu Al-Fath Attawanisy mentakrifkan metode mangajar sebagai : Cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan maklumat ke otak murid-murid.

Inilah beberapa pendapat tentang takrif yang disebutkan oleh pendidik-pendidik modern tentang metode mengajar.

Pendidik-pendidik Islam adalah orang-orang pertama yang menekankan pentingnya metode pengajaran dan menentukan prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang harus dipelihara dalam metode mangajar, dialog, perdebatan dan pelajaran. Mereka juga menentukan tata cara yang harus dipunyai oleh guru dan murid ketika mangajukan suatu ilmu dan mengajarkannya, begitu juga menuntut dan mempelajari dari sumber-sumbernya yang bermcam-macam. Kitab-kitab pendidikan dan kebudayaan Islam yang sempat sampai ke tangan kita penuh dengan prinsip-prinsip, syarat-syarat tata-cara atau kesopanan ini, juga tentang cara-cara melaksanakan dan metode-metode yang diikuti oleh para pendidik Islam terkenal dalam pengajaran, kajian, dialog, perdebatan dan kerja-kerja pendidikan mereka umumnya. Dinatara buku-buku ini adalah “Tahzib Al-Akhlak-pendidikan Akhlak, “ dan “ Al-Fauz Al-Ashgar = keuntungan kecil.” Adabul Muallimin” = sopan santun guru oleh Ibnu Sahnun dan lain-lain lagi buku-buku pendidikan Islam.

b). Berbagai Penjenisan Dalam Metode Mengajar

Setelah memberikan sepintas tentang konsep metode mengajar dalam proses pendidikan Islam. Dengan kembali kepada buku-buku pendidikan Islam akan jelas kepada kita bahwa metode-metode dan cara-cara yang digunakan oleh pendidikan Islam dalam proses pengajaran dakwah, meyakinkan orang lain, petunjuk dan bimbingan itu bermacam-macam, berbeda-beda menurut tujuan pengajaran, menuntut ilmu dan mata pelajaran, menurut kursus dan perkara, menurut tahap perkembangan dan pelajaran murid-murid, menurut tahap kematangan murid dari segi jasmani, akal, emosi, social dan dari segi bakat, kemajuan, pengetahuan yang sudah-sudah, pengalaman-pengalaman dan tahap kesadaran dan kebudayaannya,dan menurut tujuan guru dari mengajarnya dan pengetahuan dan pengalamannya yang sudah-sudah. Maka pengajaran untuk dihafal berlainan dengan untuk mencapai kefahaman dan menumbuhkan ideal, sikap, perasaan dan minat. Metode mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa berlainan dengan mengajarkan ilmu-ilmu alam-semula jadi dan seni gunaan. Atau dengan kata lain metode mengajarkan tafsir Al-Quran atau nahu berbeda dengan mengajarkan tarikh, ilmu alam, ilmu hitung, kimia atau fisika. Metode mengajar pada pelajaran-pelajaran untuk menikmati dan apresiasi, pelajaran-pelajaran praktis, dan pelajaran-pelajaran ulangan. Dan metode yang sesuai dengan kanak-kanak kecil tidak sesuai dengan orang tua. Metode yang sesuai dengan orang-orang yang baru mulai belajar ilmu, mungkin tidak sesuai dengan orang-orang yang belajar pada tahap tinggi.Metode yang sesuai dengan murid-murid yang pintar, mungkin tidak sesuai dengan orang-orang yang runcat akal.Metode dan cara yang diikuti oleh ahli-ahli terkenal dan para pendidik mungkin tidak dapat di pakai oleh guru-guru yang baru mulai atau guru-guru yang pengalaman pengajarnya terbatas. Begitu jugalah dapat dikatakan tentang segi-segi perbedaan yang lain yang pengaruhnya besar pada perbedaan metode pengajar.[10]

Oleh sebab pertimbangan-pertimbangan itulah maka bermacam-macamlah metode dan cara-cara mengajar dan banyaklah pembahagian dan penjenisannya dalam buku-buku pendidikan Islam dan pendidikan modern. Ada sebagian pendidik-pendidik modern menyampaikan metode dan cara-cara yang dapat digunakan oleh guru dalam pengajarannya.

Kelompok-kelompok ini, dasar-dasarnya dan metode cabang yang termasuk di dalamnya adalah sebagai berikut :

1 –Metode mengajar yang berdasar ada alat-alat dan bahan-bahan yamg di gunakan padanya, seperti metode kitab, metode perpustakaan, metode laboratorium, dan metode proyek.

2 –Metode-metode yang berdasar pada cara yang diikutinya dalam mengemukakan fakta, seperti metode pertuturan, metode lukisan-lukisan metode contoh metode lawatan ilmiah dan pengajaran, metode partisipasi untuk latihan, dan lain-lain.

3 –Metode yang berdasar pada penyusunan mata pelajaran, seperti metode penyusunan masa metode penyusunan psikologi metode penyusunan logic, metode penyusunan mengikut perkara, mata pelajaran unit pelajaran atau mengikut masalah kehidupan.

4 –Metode berdasar pada tujuan yang di tuju oleh guru seperti metode nasihat, petunjuk dan bimbingan metode latihan metode menikmati dan apresiasi, metode pemikiran, kesimpulan dan analisa, metode penaksiran (diagnosa) dan metode pengembangan pengalaman.

5 –Metode yang berdiri atas tujuan murid, seperti metode penyelesaian masalah, metode proyek.

6 - Metode berdasar pada hubungan timbal-balik antara murid dan guru, seperti metode pengangkatan, metode pelajaran terarah metode proyek yang di pilih dengan bebas.

7 – Metode berdasar pada hubungan timbal-balik antara murid-murid satu sama lain, seperti metode kegiatan perseorangan, metode kegiatan panitia, metode kegiatan dalam bilik-darjah, dan metode kegiatan kerja sama (cooperation).

8 – Metode-metode berdasar pada derajat keturutsertaan (participation) murid-murid pada proses pendidikan, seperti metode persembahan bersama murid-murid, metode keturut sertaan tersusun dari murid-murid, metode memperdengarkan bersama dan metode kegiatan dari pihak murid-murid.

c. Metode Mengajar Umum Yang Terpenting Dalam Pendidikan Islam

Kitab-kitab pendidikan Islam mengandung banyak gambaran dan uraian tentang metode dan cara mengajar umum yang telah di gunakan oleh pendidik-pendidik islam. Diantara metode umum yang paling menonjol dapat disebutkan secara ringkas didalam ini :

Al-Toumy mencatat beberapa macam metode mengajar yang pernah digunakan dalam kalangan Islam dan juga dengan mengambil bukti dari ayat Al-Qur’an dan Hadist, antara lain :[11]

- Metode Qiyasih/Perbandingan

Metode ini berbeda dengan metoda indukatif, dimana perpindahan menurut metode ini dari yang umum kepada yang khusus, dari keseluruhan kepada bahagian kecil, dimana di sebutkan prinsip umum dahulu, kemudian diberi misal dan perincian yang menjelaskannya.

- Metode Kuliah

Metode kuliah adalah metode yang menyatakan bahwa mengajar menyiapkan pelajaran dan kuliahnya, mencatat perkara penting yang ingin di bincangkan.

- Metode Dialog Dan Perbincangan

Metode dialog metode yang berdasarkan kepada dialog. Perbincangan melalui Tanya jawab untuk sampai kepada fakta yang tidak di ragukan, kritik dan dibantah lagi

- Metoda Lingkaran (Halaqoh)

Pada metode ini, yang terus menerus di pergunakan pada yayasan pendidikan dalam dunia Islam semenjak bermulanya dakwah Islamiyah, pelajar mengelilingi gurunya dalam setengah bulatan untuk mendengarkan syarahnya.

- Metode Mendengar

Meriwayatkan ilmu pada abad pertama dakwah Islamiah bergantung penuh pada pendengaran saja. Sebab tulisan dan pembacaan belum tersebar luas dalam masyarakat Islam pada waktu itu, dan juga karma ahli pada abad ini tidak suka menulis apa yang di riwayatkan sebab mereka khawatir kalau-kalau itu akan diserupakan dengan Al-Quran, juga kekurangan yang menyebabkan membaca dan menulis itu sukar.

- Metode Lawatan Untuk Menuntut Ilmu

Pendidikan Islam menaruh perhatian besar terhadap lawatan dan kunjungan ilmiah dan ddianggapnya sebagai metode yang manfaat dalam mencari ilmu.

- Metode Imla (Dictation)

Metode imla’ adalah metode yang berikut sesudah metode mendengar. Tersiarnya metode imla ini disebabkan oleh tersiarnya kertas dan tulisan. Pada Imla’ guru mengatur setiap kata yang diucapkannya sedang murid mencatat setiap kata yang didengarnya.

Pendidikan Islam menaruh perhatian besar terhadap lawatan dan kunjungan ilmiah dan ddianggapnya sebagai metode yang manfaat dalam mencari ilmu.

3. Aspek religik, meliputi : Pendidikan berwawasan nilai dan Satunya ilmu, iman dan amal

Aspek ini menjadi penting dan menonjol dalam pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan islam. Sebab bangsa Indonesia yang mendasarkan diri pada falsafah Pancasila ternyata dalam perkembangannya semakin meninggalkan sifat sekuler dan sekarang lebih cenderung bersifat teistik. Langkah ini perlu diimbangi dengan praktek pendidikan yang lebih islami.

Diantara upaya untuk mengarah pada upaya ini adalah pertama, pendidikan harus memiliki wawasan nilai, dan kedua pendidikan harus mampu memadukan antara kebenaran ilmu. Iman dan amal.[12]

1) Pendidikan berwawasan nilai

Yang dimaksud dengan pendidikan berwawasan nilai adalah bahwa tujuan pendidikan, materai pendidikan dan praktek pendidikan haruslah selalu dikaitan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang universal. Dengan demikian sifat pendidikan tidak lagi hanya rasional objektif yang materialis. Sebab jika keadaan pendidikan nasional masih demikian, maka tujuan pendidikan nasional untuk membentuk kepribadiaan bangsa yang sosialistis religius tidak akan tercapai.

2) Sinkronisasi antara Ilmu, Iman dan Amal

Sebagai konsekuensi pendidikan yang berwawasan nilai tersebut, pendidikan islam harus mampu menyatukan antara iman, ilmu dan amal. Sinkronisasi ini tidak hanya dalam teori melainkan harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.

B. POLA KEKELUARGAAN

Pada masa ini, guru menyisipkan dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak. Artinya, mereka mempunyi tanggung jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak sndiri.

Pada pola ini, guru senantiasa bersiakap sebagai berikut :

1) Guru bersikap lemah lembut dalam proses belajar mengajar, pandai mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya pada anak dalam interaksi tersebut.

2) Guru mengetahui waktu yang tepat untuk memberiakn pujian dan hukuman serta bijaksana dalam memberikan jenis hadiah dan hukuman pada anak. Sebab, pada keadaan ini hadiah yang diberikan guru ada dua macam, yaitu ; hadiah berupa pujian dan berupa benda. Hukumanpun terbagi dua, yaitu hukuman berupa celaan dan hukuman berupa fisik.

3) Guru tidak bersikap pilih kasih, dengan tidak membedakan tingkat sosoial siswa dan interaksi edukatif.

C. POLA KESEDERAJATAN

Guru dalam interaksinya senantiasa memunculkan sikap tawadhu’ terhadap siswanya.[13] Pola interaksi seperti ini membuat guru menghargai potensi[14] yang dimiliki anak. Dengan demikian pola yang dimunculkan bernuansa demokratis; guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.

Sikap tawadhu’ yang dimiliki guru membuat ia tidak bersikap dictator atau merasa lebih benar dan merasa tidak penah salah. Kendati siswa masa ini dituntut untuk menghargai guru, menaatinya dengan sepenuh hati dan menyerahkan semua permasalahan pendidikin kepada guru.

D. POLA AL-USWAH AL-HASANAH

Pada pendidikan Islam klasik, interksi yang terjadi antara guru dan siswa tidak hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah mesyarakat, di mana guru menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang diajarkan.

2 POLA SIKAP SISWA TERHADAP GURU DALAM INTERKSI EDUKTIF

A. POLA KETAATAN

Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah dalam proses pencarian ilmu.[15] Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari rhidho-nya (kerelaan hatinya) menjauhi amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya selama tidak bertentangan dengan agama.

Gambaran ketaan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi dua yaitu pertama, ketaatan terhadap guru secara langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu kerumah guru hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan duduk jangan terlalu dekat dengan guru duduklah sejauh antar busur panah. Kedua ketaatan terhadap keluarga guru, meghormati guru dan semua orang yang mempunyai ikatan keluarga dengan guru.

A. POLA KASIH SAYANG

Menurut Ibn Miskawih kewajiban cinta siswa terhadap guru berada diantara cinta terhadap Allah dan cinta kepada orang tua, karna menurut Ibn Maskawih, guru merupakan penyebab eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh kebahagiaan sempurna.

Bertolak dari penjelas diatas kitab dapat mengetahui karakteristik pola sikap guru dan siswa dalam interksi edukatif, yaitu [16]:

1) Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang tercemin pada kesadaran social dan usha-usaha idealisik yang ditujukan pada penguasaan setiap kecapan yang menjadi tuntutan tugas seseorang.

2) Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu kewajiban agama.

3) Adanya hubungan pribadi yang dekat antar guru dan siswa, meminjam keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak; dengan mengajarkan keterampilan.

4) Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses belajar dan mengajar, tetapi interaksi tersebut tetap langsung ditengah masyrakat.

5) Adanya keseimbangan interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik.

6) Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi pada zaman Rasulullah.

Dari karakteristik pola di atas, kita dapat mengetahui bahwa tujuan pola interaksi guru dan siswa yang terjadi pada pendidikan Islam klasik seperti yang digambarkan diatas, memiliki tujuan yng sangat esensial, yaitu pola tersebut tidak hanya membantu dalam mentransfer pengetahuan dan keterampilan, melainkan merupakan suatu ikhtisar untuk menggugah fitrah insani sehingga siswa menjadi manusia sempurna.

3. POLA KOMUNIKASI GURU DAN SISWA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR PADA PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam pada masa ini sudah mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu pola satu arah dan pola banyak arah.[17]

Pertama, pola satua arah, seorang guru bertindak sebagai instruktur,dan senantisa mendorong siswa untuk lebih banyak menghafal, karena menganggap kemahiran ilmiah identik dengan pengetahuan yang hafal. Pada pola ini yang terlihat adalah metode talqin dengan hafalan.

Kedua, pola banyak arah. Pada pola ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswi. Ini terlihat pada proses belajar mengajar yang berlangsung melalui latihan bicara guna mengungkap pikiran dengan jelas dalam diskusi dan perdebatan masalah-masalah ilmiah.

Pola pertama lebih banyak dipakai pada periode awal sedangkan pada periode setengah kerasulan ia di pergunakan pada tingkat dasar. Sedangkan pada tingkat menengah ada keseimbangan antara pola pertama dan kedua, dan pada tingkat tinggi, pola kedua yang lebih mendominasi.

KESIMPULAN

Bentuk pola sikap guru terhadap siswa yaitu pola keikhlasan kekeluargaan, kesederajatan dan uswah al-hasanah, sedangkan pola sikap siswa terhadap guru, yaitu ketaatan dan kasih sayang.

Dari pembahasan di atas kita dapat mengetahui karakteritik pola interksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik, yaitu:

· Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha idealistik yang di tujukan pada penguasaan setiap kecapan yang menjadi tuntutan tugas seseorang.

· Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu kewajiban agama.

· Adanya hubungan pribadi yang dekat antara guru dan siswa menjamin keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan pengajaran pengajaran sebagai keterampilan.

· Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses belajar mengajar tetapi interaksi tersebut tetap berlangsung di tengah masyarakat.

· Adanya keseimbangan ineraksi guru dan siswa pada pendidikan islam klasik.

· Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi pada aman Rasulullah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam (Jakarta : Rajawali Pers, 1991)

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Beirut : Dar al-Jail)

Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia (Rawamangun : Prenada Media, 2003)

, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Logos, 1997), cet. I, hal. 93

, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998)

Omar Mohammad Al-Toumy, Falasafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1979)

Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997)

Moh.Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997),

S. Nasution, Asas-asas Pembelajaran, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1990 )

Thoha, M. Chabib, MA, Pendidikan Islam,(Yogyakarta : Pustaka pelajat, 1996)



[1] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan Pendidikan Islam di indonesia, (Rawamangun : Prenada Media, 2003), hal. 1

[2] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997), cet I, h. 191.

[3] Moh.Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997), cet. VIII, hal.14.

[4] Ibid. Abuddin Nata, hal. 136.

[5] S. Nasution, Asas-asas Pembelajaran, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1990 ), h. 12.

[6]. M. Chabib Thoha, MA, Pendidikan Islam,(Yogyakarta : Pustaka pelajat, 1996), cet.I h. 43

[7] . Ibid, hal. 45

[8] .Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Logos, 1997), cet. I, hal. 93

[9]. Omar Mohammad Al-Toumy, Falasafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1979), cet. I, hal 551

[10] . Ibid. Omar Mohammad Al-Toumy, , hal 557

[11] . Omar Mohammad Al-Toumy, hal. 171 - 172

[12] . M. Chabib Thoha, MA, h. 53-54

[13] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), hal. 50.

[14] Penghargaan potensi anak pada proses interaksi : siswa yang sudah pandai mengajar siswa yang belum pandai.

[15] Abudin Nata, op.cit., hal 55

[16] Abdul Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam (Jakarta : Rajawali Pers, 1991),hlm. 59 dan 63

[17] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Beirut : Dar al-Jail), hlm. 477-481

0 komentar: