Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Problematika Kausalitas
dalam Pandangan Iman Al-Ghazali dan Ibn Rudy

oleh : Lato Hardi

A. Pendahuluan

Serangan al-Ghazali dalam karya polemisnya Tahafut al-Falasifah terhadap pendapat-pendapat para filosof Muslim dan Yunani ditangkis oleh Ibn Rusyd dalam karya polemisnya pula Tahafut al-Tahafut. Al-Ghazali telah menuduh para filosof Muslim dan Yunani telah melakukan kesalahan dalam 20 masalah. Ia mengafirkan mereka dalam 3 masalah, yaitu bahwa alam qadim, tuhan tidak mengetahui perinsian-perincian di alam ini dan kebangkitan jasmani tidak ada. Adapun dalam 17 masalah lain, ia menganggap mereka sebagai ahli bid’ah. Diantara 20 masalah itu, masalah yang tetap menjadi perhatian penting adalah teori kausalitas.

Teori kausalitas adalah salah satu sumbangan terbe­sar filsafat pada ilmu. Ilmu menjadikan teori kausalitas sebagai dasar pijakannya. Ilmu kesehatan umpamanya, harus taat azas pada hukum sebab akibat. Kalau obat tertentu tidak memberi 'kepastian' penyembuhan bagi penyakit ter­tentu, maka akan kacau sistem pengobatan. Karena itu, obat harus mencapai tingkat kepastian sebagai penyembuh bagi suatu penyakit. Peristiwa-peristiwa di alam juga tidak terlepas dari hukum sebab akibat, seperti api membakar dan air membasahi.

Teori kausalitas sudah dikembangkan sejak zaman Yunani. Aristoteles mempertegas keberadaan teori kausali­tas dengan menguraikan bahwa ada empat macam sebab, yaitu sebab materi, bentuk, efisien, dan tujuan. Keempat jenis sebab tersebut saling terkait dan bersatu. Sebab materi dan bentuk ada dalam benda itu sendiri, sedangkan sebab efisien dan tujuan berada di luar benda. Keempat sebab berlaku, baik bagi kejadian alam maupun bagi kejadian yang disebabkan oleh manusia. Aristoteles bermaksud bahwa dengan penjelasan ini ia memberikan daftar komplit yang memuat semua faktor yang dapat menyebabkan suatu kejadian. Dalam suatu kejadian keempat jenis sebab itu dapat dibeda­kan, paling tidak secara logis.[1]

B. PEMBAHASAN

1. Hukum Kausalitas dan Mukjizat Perspektif Ghazali

Menurut al-Ghazâlî, hukum kausalitas tidak merupakan hukum yang pasti, tetapi hukum kemungkinan belaka. Seseo­rang tidak dapat memastikan hukum kausalitas karena alam penuh dengan misteri. Hanya sebagian kecil saja yang baru terungkap, sedangkan yang lain belum. Karena itu, al-Ghazâlî berprinsip bahwa peristiwa-peristiwa yang ada di alam ini hanya terjadi secara kebetulan dan berjalan berurutan karena kebiasaan, bukan atas dasar kemestian. Al-Ghazâlî mengungkapkan lebih lanjut,

فَإِنَّ اقْتِرَانَهَا لَمَّا سَبَقَ مِنْ تَقْدِيْرِ اللهِ سُبْحَانَهُ بِخَلْقِهَا عَلَى التَّسَاوُقِ لاَ لِكَوْنِهِ ضَرُوْرِيًّا فِي نَفْسـِهِ غَيْرُ قَابِلٍ لِلْفَوْتِ بَلْ فِي اْلمَقْدُوْرِ خَلْقُ الشَّبْعِ دُوْنَ اْلأَكْلِ وَأَنْكَرَ اْلفَلاَسِفَةُ إِمْكَانَهُ وَادَّعُوْا اسْتِحَالَتَهُ.

"Sesungguhnya hubungannya terjadi karena Allah swt. telah menentukan penciptaannya secara berurutan, bukan karena mesti pada dirinya, tanpa menerima pengecuali­an. Bahkan, Tuhan mampu menciptakan kenyang tanpa makan. Filosof mengingkari kemungkinan itu dan menya­takan kemustahilannya."[2]

Menurut al-Ghazâlî, hubungan itu tidaklah menjadi suatu yang penting sebab hal itu bukan merupakan jaminan untuk terwujudnya suatu akibat. Dengan demikian, api itu tidak selalu membakar, begitu juga makan tidak selalu mengenyangkan dan potong leher belum tentu mengakibatkan kematian. Semuanya itu dianggap sebagai hukum kebiasaan saja, sebab Allah swt. berkuasa untuk mengubah semuanya itu. Api itu membakar disebabkan oleh Tuhan, baik dengan perantara malaikat maupun tidak. Adapun api, menurut filosof, adalah pelaku langsung dari kebakaran dan sifat yang demikian sudah merupakan kepastian sifat api. Prin­sip kepastian inilah yang kemudian diserang al-Ghazâlî.[3]

Bagaimana seseorang bisa membuktikan bahwa api itu sebagai pelaku, bantah al-Ghazâlî. Argumen mereka hanyalah lewat observasi dan hal itu hanya menunjukkan bahwa peris­tiwa yang satu beriringan dengan yang lain, bukan oleh yang lain dan tidak mempunyai sebab yang lain. Oleh karena itu, menurut al-Ghazâlî, Tuhan mampu membuat warna hitam (abu) pada kapas, walaupun tidak disentuh oleh api. Al-Ghazâlî menegaskan hal itu, tetapi filosof menolaknya.[4]

Lebih lanjut al-Ghazâlî mengatakan bahwa api bukan sebagai pelaku sebenarnya. Sebab, jika seseorang membunuh orang lain dengan melemparkannya ke api, tentu pengamat mengatakan bukan api yang membunuh orang itu. Tetapi, pelaku pembunuhan adalah orang tersebut kendati api adalah sebab langsung.

Karena itu, al-Ghazâlî berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang beriringan timbulnya membuat seseorang yakin bahwa fenomena yang muncul lebih awal adalah sebab bagi yang berikutnya, padahal itu hanya kebiasaan yang tidak perlu mendatangkan kemestian. Sebab, Allah menjadi­kan hal yang demikian dan Dia berkuasa untuk mengubah sifat-sifat yang ada jika dikehendaki-Nya. Al-Ghazâlî menegaskan,

اَلْوُجُوْدُ عِنْدَ الشَّيْءِ لاَ يَدُلُّ أَنَّهُ بِهِ.

"Wujud di sisi sesuatu bukan berarti diwujudkan karenanya."[5]

Untuk mempertegas argumen ini, al-Ghazâlî memberikan sebuah contoh, "Jika orang buta yang tertutup plasma matanya dan dia belum pernah mendengar informasi tentang perbedaan siang dan malam. Ketika plasma matanya terbuka pada siang hari, sehingga dia dapat melihat berbagai warna, maka dia menganggap bahwa pelaku penglihatan adalah terbukanya plasma mata. Namun, ketika matahari tenggelam dan dia tidak mampu lagi melihat bermacam-macam warna, maka saat itu baru dia tahu bahwa cahaya matahari yang menjadi pelakunya untuk melihat beragam warna."[6]

Karena itu, menurut al-Ghazâlî, atas dasar apa filosof mempertahankan adanya hubungan yang tetap di antara peristiwa-peristiwa tersebut, padahal jelas semua realitas selalu bergerak, kadangkala ada sebab yang tam­pak, tetapi juga ada yang tidak tampak. Ketika ada sebab yang tidak tampak dari kebiasaan, di saat itu baru diketa­hui adanya sebab di balik realitas empiris.

Dari sini jelaslah, kata al-Ghazâlî, bahwa hubungan yang terjadi ketika adanya peristiwa-peristiwa datang dari Pemberi bentuk, baik langsung dari Tuhan maupun melalui malaikat. Adapun warna, terbitnya matahari, dan sebagainya adalah potensi-potensi yang siap setiap saat menerima bentuk-bentuk dari Pemberi bentuk. Atas dasar ini, kata al-Ghazâlî, batallah bahwa api adalah pelaku kebakaran, roti penyebab kenyang, dan obat sebagai sebab kesembuhan.[7]

Menurut al-Ghazâlî, kesiapan semua benda tidak sama. Ada benda yang tembus/tipis (tsaqîl), seperti cer­min.[8] Ketika menerima cahaya matahari, benda tersebut memantulkan lagi, sehingga tempat yang kena pantulan menjadi terang. Sebaliknya, ada benda yang kasar, seperti batu yang sama sekali tidak tembus cahaya. Lumpur menjadi keras kena cahaya, sedangkan es menjadi cair kena cahaya. Begitu juga cahaya matahari mampu menghitamkan wajah tukang cuci dan pada waktu yang bersamaan memutihkan baju yang dicucinya. Kalau demikian, menurut al-Ghazâlî, mana yang bisa dipastikan sebagai akibat, padahal sebabnya satu, yaitu cahaya matahari.

Para filosof, menurut al-Ghazâlî, yakin bahwa api itu pasti membakar, karena bagaimana mungkin terjadi dua kapas yang sama didekatkan ke api, yang satu terbakar dan yang lain tidak. Dengan argumen ini para filosof menolak Nabi Ibrahim tidak terbakar ketika dilemparkan ke dalam api. Lebih lanjut, al-Ghazâlî mengungkapkan prinsip filo­sof,

وَمِنْ هـذَا اْلمَعْنَى أَنْكَرُوْا وُقُوْعَ إِبْرَاهِيْمَ فِي النَّارِ مَعَ عَدَمِ اْلاِحْتِرَاقِ وَبَقَاءِ النَّارِ نَارًا وَزَعَمُوْا أَنَّ ذلِكَ لاَ يُمْكِنُ إِلاَّ بِسَـلَبِ اْلحَرَارَةِ مِنَ النَّارِ وَذلِكَ يَخْرُجُ عَنْ كَوْنِهَا نَارًا أَوْ بِقَلْبِ ذَاتِ إِبْرَاهِيْمَ وَرَدِّهِ حَجَرًا وَلاَ هذَا مُمْكِنٌ وَلاَ ذلِكَ مُمْكِنٌ.

"Dan dari pengertian ini para filosof mengingkari masuknya Nabi Ibrahim ke dalam api tanpa terbakar, sedangkan api tetap menjadi api. Mereka beranggapan bahwa hal itu tidak mungkin kecuali hilangnya sifat panas dari api, dan itu berarti api tidak lagi disebut api, atau dengan mengubah zat Ibrahim menjadi batu. Yang ini tidak mungkin dan yang itu (juga) tidak mungkin."[9]

Al-Ghazâlî menjawab persoalan ini dengan dua cara:

Pertama, al-Ghazâlî tidak menerima anggapan bahwa Allah berbuat tanpa kehendak dan ikhtiar. Sebagaimana telah diuraikannya pada pembahasan baharunya alam. Jika dipastikan bahwa Pelaku menciptakan kebakaran dengan kehendak-Nya ketika terjadinya persentuhan kapas dan api, jelas akal tidak dapat lagi menetapkan pelakunya.

Kalau demikian, kata filosof, bisa saja terjadinya peristiwa-peristiwa yang khusus, seperti seseorang berha­dapan dengan beruang yang buas atau musuh yang lengkap dengan persenjataan, siap membunuhnya, tetapi dia tidak melihat semuanya itu, karena Allah swt. meniadakan pengli­hatannya. Begitu juga seseorang yang meletakkan buku di rumahnya, beberapa saat kemudian buku tersebut bisa beru­bah menjadi binatang atau pemuda yang pintar. Karena itu, ketika dia ditanya, "Apa yang ada di rumahnya sekarang?", dia akan menjawab, "Tidak tahu," karena Allah berkuasa atas segala suatu, termasuk menciptakan kuda bukan dari sperma atau pohon dari bijinya.[10]

Menurut al-Ghazâlî, kesiapan benda-benda itu mengan­dung keanehan dan rahasia, sampai pada bidang ilmu nujum. Manusia belum mampu mengungkapkan rahasia dan esensi alam secara keseluruhannya. Karena itu, dari mana kita menolak adanya penyimpangan kejadian dari yang biasa itu (seperti kuda lahir bukan dari sperma), padahal waktu kita menga­mati sangat terbatas. Orang yang menolak kemungkinan ini sama halnya dengan orang yang menolak wujud yang tertinggi dan rahasia-rahasia Allah.[11]

Allah menegaskan kepada kita bahwa semua pengeta­huan itu adalah mungkin bukan wajib. Adapun terjadinya hubungan antara peristiwa-peristiwa itu anggap saja seba­gai kebiasaan (hal yang mungkin) sepanjang berada dalam satu jalur. Karena itu, peristiwa yang menyalahi hukum alam bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Sebab, semua berada dalam kekuasaan dan ilmu Tuhan yang penuh misteri.[12]

Kedua, al-Ghazâlî mengakui api membakar kapas (dalam arti kebiasaan bukan kepastian), tetapi api tidak dapat membedakan dua kapas yang sama bentuk dan bendanya. Namun, di sisi lain nabi dilemparkan ke dalam api tidak terbakar, baik karena berubahnya sifat api maupun berubahnya sifat nabi, artinya Allah atau malaikat menjadikan suhu panas api seimbang dengan suhu panas nabi. Atau Dia menjadikan pada badan nabi sifat yang keluar dari unsur daging dan tulang, sehingga api tidak membakarnya. Al-Ghazâlî menam­bahkan,

فَإِنَّا نَرَى مَنْ يُطْلِي نَفْسَهُ بِالطَّلَقِ ثُمَّ يُعْقِدُ فِي تَعَقُّدٍ مُوْقِدٍ وَلاَيَتَأَثَّرُ فِي النَّارِوَالَّذِي لَمْ يُشَاهِدْ ذلِكَ يُنْكِرُهُ... فَإِنْكَارُ اْلخَصْمِ اِشْتِمَالُ اْلقُدْرَةِ كَإِنْكَارِ مَنْ لَمْ يُشَاهِدْ الطَّلَقَ وَأَثَرَهُ. وَفِي مَقْدُوْرَاتِ اللهِ تَعَالَى غَرَائِبٌ وَعَجَائِبٌ وَنَحْنُ لَمْ نُشَاهِدْ جَمِيْعَهَا فَلَمْ يَنْبَغِي أَنْ نُنْكِرَ إِمْكَانَهَا وَنَحْكُمُ بِاسْتِحَالَتِهَا.

"Sesungguhnya kita memperhatikan orang yang memba­lut dirinya dirinya dengan talk (bedak), kemudian masuk ke dalam api yang menyala, namun api tidak membekas pada dirinya. Orang yang belum menyaksikan hal itu, tentu mengingkarinya... Maka, pengingkaran musuh atas kandungan daya tahan asbes bagaikan orang yang belum pernah menyaksikan asbes dan pengaruhnya. Dalam hal-hal yang dapat dibuat Allah terkandung berbagai misteri dan keajaiban. Adapun kita belum menyaksikan semuanya. Karenanya, tidak pantas kita mengingkari kemungkinannya dan menetapkan kemustahi­lannya."[13]

Dengan demikian, kata al-Ghazâlî, tongkat bisa beru­bah menjadi ular, atau orang mati kembali hidup. Sebab, materi mampu menerima persiapan bagi segala suatu keadaan. Contohnya, tanah dapat berubah menjadi tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan berubah menjadi darah ketika dimakan oleh binatang, darah menjadi sperma, kemudian sperma diletakkan di rahim, hingga menjadi seekor binatang. Peristiwa begini selalu muncul, sehingga menjadi hukum kebiasaan dan men­galami beberapa tahap serta berjangka panjang. Menurut al-Ghazâlî, kenapa para filosof menolak adanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengubah materi ini menyalahi hukum kebiasaan tersebut dan dalam waktu yang lebih singkat. Kalau hal ini diakui, maka tentu tidak mustahil adanya mukjizat bagi para nabi.[14]

Dari uraian di atas, al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa hubungan sebab dan akibat adalah mungkin bukan pasti. Semua itu berdasarkan hukum kebiasaan. Peristiwa yang terjadi di alam tidak dilakukan oleh makhluk, apalagi benda mati seperti api, tetapi dilakukan oleh Allah atau lewat perantaraan malaikat. Prinsip al-Ghazâlî, yang selalu mengembalikan semua peristiwa alam kepada Tuhan, dapat menghambat perkembangan sains dan teknologi serta penemuan hukum-hukum positif, padahal sains dan teknologi serta hukum positif sangat membantu kesejahteraan umat manusia.

Ibn Rusyd yang datang kemudian, terpancing oleh reaksi dan gaya al-Ghazâlî itu, sehingga dia juga tidak menyisakan agak sedikit probabilitas pada perubahan hukum alam, sedangkan dalam teori-teori modern dalil probabili­tas sangat dipentingkan untuk memberikan ruang pada ilmu untuk berkembang.

C. Hukum Kausalitas dan Mukjizat Perspektif Ibn Rusdy

Dalam persoalan hukum kausalitas Ibn Rusyd sependa­pat dengan Ibn Sînâ, yakni peristiwa di alam memiliki hubungan sebab akibat yang pasti. Sebab, dengan adanya kepastian itu akal dapat menangkap esensi suatu benda dan memberikan definisi. Karena itu, Ibn Rusyd mengatakan bahwa barang siapa yang menolak adanya sebab, berarti dia menolak akal.

Adapun pendapat yang mengingkari kepastian hubungan sebab akibat adalah pendapat sofistis.[15] Benda tidak dapat didefinisikan kalau tidak memiliki ciri khusus yang mele­kat pada benda tersebut. Api dinamakan api karena memiliki ciri membakar, sedangkan air dinamakan air karena memiliki ciri membasahi. Kalau api tidak memiliki ciri membakar atau api sama dengan air dalam cirinya, maka api tidak dapat didefinisikan. Adapun api tidak membakar pada benda tertentu atau pada keadaan tertentu, maka tidak menghi­langkan sifat membakar api. Sebab, api dinamakan api karena membakar. Kalau tidak ada satu ciri khusus bagi suatu benda, maka tentu tidak ada nama dan definisi yang dapat diberikan padanya.[16]

Ibn Rusyd mempertanyakan kemudian, apakah sesuatu itu memiliki ciri khusus atau tidak. Jika ada ciri khusus padanya, tentu ciri-ciri khusus berasal dari hal-hal yang khusus. Jika sesuatu itu tidak memiliki ciri yang mengkhu­suskannya satu pun, maka yang satu bukanlah satu. Kalau yang satu tidak ada, maka tentu tidak ada juga wujud ini.

Sebagaimana Aristoteles, Ibn Rusyd juga mengatakan bahwa wujud yang baharu memiliki empat sebab, yaitu sebab materi, sebab bentuk, sebab pembuat, dan sebab tujuan. Menurut Ibn Rusyd, para mutakalim mengakui bahwa ada syarat-syarat yang mesti pada hal-hal yang disyaratkan, seperti hidup adalah syarat pada ilmu. Begitu juga mereka mengakui bahwa sesuatu itu memiliki definisi. Suatu defi­nisi menandakan bahwa yang melakukan batasan itu mengguna­kan akal, sedangkan akal tidak lain adalah untuk mengeta­hui sesuatu dan sebabnya. Karena itu, Ibn Rusyd menegas­kan,

فَمَنْ رَفَعَ اْلأَسْبَابَ فَقَدْ رَفَعَ اْلعَقْلَ.

"Barang siapa yang menolak sebab, berarti dia meno­lak akal."

Jadi, pengetahuan tentang akibat tergantung pada sebab. Jika sebab-sebab tidak diketahui atau sebab itu bersifat kabur, maka tidak dapat ditetapkan suatu ilmu. Adapun perkataan bahwa hubungan sebab akibat karena kebia­saan (al-`âdah), bukan suatu kepastian, Ibn Rusyd memper­tanyakan kembali apa yang dimaksud dengan kebiasaan itu, adakah kebiasaan pembuat atau kebiasaan wujud, atau kebia­saan kita, terutama dalam menetapkan hukum pada wujud ini?

Mustahil Allah (Pencipta) memiliki kebiasaan karena kebiasaan adalah kebiasaan yang pada kebanyakan dilakukan berulang-ulang oleh si pembuat, sedangkan Allah berfirman,

فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللهِ تَبْدِيْلاً وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللهِ تَحْوِيْلاً.

"Maka sekal-kali kamu tidak akan mendapatkan pada sunnah Allah itu perubahan dan kamu tidak akan mendapatkan pada sunnah Allah itu pengalihan." (Q.S. 35:43).[17]

Jika yang dimaksud dengan kebiasaan adalah kebia­saan wujud, maka yang memiliki kebiasaan itu tidak lain adalah yang memiliki jiwa (makhluk hidup, seperti manusia). Sebab, sesuatu yang tidak memiliki jiwa, seperti benda mati tidak memiliki kebiasaan, tetapi memiliki tabiat. Jika benda mati menetapkan sesuatu tentu tidak mungkin karena tabiat benda itu tidak aktif.

Adapun jika yang dimaksud adalah kebiasaan manusia pada hukum wujud, maka sesungguhnya kebiasaan ini tidak lain adalah proses akal dan karenanya akal itu disebut akal. Para filosof tidak menolak prinsip yang demikian. Sebab, kesimpulan akal itu berdasarkan hipotesis, seperti kebiasaan si Fulan selalu berbuat begini dan begini. Artinya, perbuatannya sebagian besar seperti itu.

Adapun adanya api pada suatu saat tidak membakar, maka kejadian itu tidak menghilangkan sifat api membakar, tetapi pada saat itu ada sesuatu yang menghalangi api membakar, yang berasal dari luar api. Adanya halangan api membakar tidak mengubah status api menjadi benda lain, api tetap api. Hanya saja ada penghalang, baik yang telah diketahui maupun belum diketahui. Ilmu Tuhan adalah ten­tang sebab, sehingga Dia mengetahui penghalang itu dari segi sebab, sedangkan ilmu kita adalah ilmu akibat, yakni kita mengetahui penghalang setelah adanya kejadian.[18]

Ibn Rusyd menegaskan bahwa setiap benda mempunyai ciri-ciri khusus yang tetap dan jelas. Ciri-ciri tersebut dikenal lewat akal. Yang ada tidak bisa dipahami kecuali dengan menemukan sebab-sebab materi, tanpa ini kita tidak bisa membedakan satu wujud dengan wujud yang lain dan antara suatu materi dengan materi yang lain. Api umpamanya mempunyai ciri tertentu, begitu juga air, tanpa adanya ini maka akibatnya adalah semua yang ada ini adalah satu dan juga tidak satu.

Bahwa hubungan sebab akibat, kata Ibn Rusyd, dapat dilihat dari realitas yang ada. Realitas yang ada menunjukkan kepada kita namâ - nama tertentu, batas-batas, yang jelas dari suatu benda, seperti jiwa berbeda dengan benda mati. Kita bisa membedakan jiwa dengan benda mati karena masing-masing memiliki ciri-ciri khusus. Dengan adanya ciri-ciri terten­tu itu pulalah bisa dibedakan antara sebab-sebab yang empat. Karena itu, setiap akibat pasti ada sebabnya. Seandainya kemestian itu tidak terjadi, maka ada kemung-kinan bahwa segi tiga itu terdiri dari empat garis lurus yang saling berpotongan. Jika memang demikian maka ada dua hal, yaitu yang wajib dan yang mungkin. Barang siapa yang mengatakan bahwa yang wajib itu mungkin atau sebaliknya, berarti dia mengakui adanya perubahan pada hakikat. Kalau demikian halnya, maka tidak ada yang pasti di alam ini, padahal api apabila diletakkan kayu di atasnya pasti terbakar.

Setiap yang wujud ini berjalan dengan tertib dan aturan alam yang tertib menurut akal sejalan dengan tertib pembuatan. Allah berfirman,

مَا تَرَى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمنِ مِنْ تَفوُتٍ فَارْجِعِ اْلبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُوْرٍ.

"Kamu tidak akan melihat dalam penciptaan Rahman kekacauan, maka ulanglah sekali lagi melihat/memandang adakah kamu lihat sesuatu yang terbelah (tidak teratur)." (Q.S.67:3)[19]

Dengan demikian keteraturan alam ini sudah dicipta­kan dengan aturan-aturan yang pasti dan ciri setiap benda tidak akan berubah Tidak mungkin terjadinya hanya karena kebetulan saja atau karena kebiasaan. Semuanya itu harus ditentukan oleh akal bukan oleh hukum kebiasaan saja. Sebagai contoh berat batu yang tabiatnya bergerak dari atas ke bawah, tidak akan mungkin menjadi berubah kebia­saannya menjadi naik. Walaupun beribu-ribu orang berusaha mengubah tabiat ini, mereka tidak akan berhasil. Tugas ilmu kemudian adalah meyakinkan sesuatu itu sesuai dengan ciri-ciri yang dimilikinya, tanpa itu maka kita tidak akan memperoleh ilmu yang yakin.

Ilmu manusia adalah mengetahui sebab-sebab yang terjadi, sedangkan ilmu Tuhan menciptakan sebab-sebab tersebut. Karena itu, seseorang tidak perlu khawatir tidak adanya pencipta alam dengan meyakini teori sebab akibat ini. Bahkan dengan meyakini teori sebab akibat akan memperkokoh eksistensi pencipta alam.

Adanya ketertiban di alam dan segala sesuatu berja­lan sesuai dengan aturan menunjukkan bahwa alam ini memi­liki tujuan tertentu. Alam bagaikan bangunan yang setiap unsur dalam bangunan tersebut memiliki fungsi yang kemû dian secara keseluruhan bangunan itu fungsinya adalah untuk tempat tinggal. Alam juga demikian, setiap unsur dalam alam berjalan sesuai dengan wataknya masing-masing dan menuju satu tujuan, yaitu Pencipta. Karena itu, Allah menegaskan bahwa setiap benda di alam memiliki fungsi yang konsisten, sebagaimana dalam firman-Nya,

صُنْعَ اللهِ الَّذِيْ أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ.

"Perbuatan Allah yang membuat kokoh tiap-tiap sesuatu." (Q.S. 27:88).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa tidak ada yang terja­di secara kebetulan. Segala sesuatu memiliki watak yang tetap. Adapun kekhawatiran golongan Asy`ariyah tentang tentang adanya pembuat sebab selain Allah, menurut Ibn Rusyd, tidak kuat karena Allah sendiri adalah pencipta segala sebab.

Dalam hal persoalan kaitan hukum kausalitas dan mukjizat, seperti Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api, Ibn Rusyd secara tegas mengatakan bahwa hal itu adalah ajaran pokok agama, yang mesti diikuti dan diyakini.

Lebih lanjut Ibn Rusyd mengatakan bahwa barang siapa yang menolak mukjizat adalah zindik dan wajib dibu­nuh Sebab, para filosof tidak pernah memperdebatkan persoalan pokok-pokok ajaran agama. Bahkan, mereka mengan­jurkan untuk selalu berpegang pada ajaran agama. Adapun pendapat sebagian filosof yang mengadakan takwil tentang persoalan ini, tidak perlu dibantah karena takwil mereka khusus untuk mereka dan tidak boleh disebarkan di kalangan awam. [20]

Persoalan mukjizat ini muncul dalam filsafat Islam ketika dihadapkan dengan teori sebab akibat. Mukjizat pada dasarnya adalah salah satu prinsip agama, sedangkan sebab akibat adalah salah satu tonggak ilmu. Artinya, dari satu sisi mukjizat adalah memperkuat keimanan dan di sisi lain hukum kausalitas kelihatannya menentang mukjizat. Persoalan inilah yang dianalisis oleh para filosof muslim.

Mukjizat berasal dari kata `ajaza yang berarti lemah, yakni para penentang nabi lemah untuk mendatangkan seumpama yang dibuat oleh nabi.[21]

Al-Juwaynî memberikan syarat-syarat sebuah mukjizat yaitu:

1. Mukjizat itu perbuatan bagi Allah swt. tidak boleh mukjizat bersifat kadim.

2. Mukjizat itu menyalahi hukum alam (adat kebiasaan), tanpa ini tidak bisa dibedakan mana yang dikatakan nabi dan yang tidak nabi.

3. Mukjizat itu sesuai dengan kebenaran dakwah yang diba­wanya.

Definisi yang diberikan oleh kaum Asy`ariyah juga tidak berbeda dengan hal di atas, bahwa mukjizat itu merupakan perbuatan Allah langsung, merupakan bukti kena­bian dan hal itu harus dibuktikan dengan sesuatu yang di luar hukum alam. Contohnya, api tidak membakar Nabi Ibra­him, tongkat jadi ular, dan menghidupkan orang mati.

Berdasarkan adanya peristiwâperistiwa yang keluar dari hukum alam itu, kaum Asy`ariyah, terutama al-Ghazâlî, menolak hukum keharusan dalam hubungan sebab dan akibat. Semuanya itu hanya kebetulan saja, bukan hukum akal yang pasti, tetapi hukum kebiasaan yang sewaktûwaktu bisa berubah Bukti perubahan itu telah jelas dalam diri para nabi yang mampu mengubah hukum alam yang ada. Menurut al-Ghazâlî, para filosof yang memastikan hukum alam berarti mereka menafikan adanya mukjizat dan tidak mengakui peru­tusan nabi.[22]

Ibn Rusyd berpendapat bahwa mukjizat tidak bisa dijelaskan lewat pelanggaran hukum alam saja. Hal itu bukan sebagai bukti kenabian. Ibn Rusyd berpendapat bahwa sifat-sifat seorang nabi harus tampak jelas dan sesuai dengan namanya, yaitu pembawa berita . Sebagaimana kata dokter harus membuktikan dirinya memiliki keahlian yang sesuai dengan nama tersebut. Misalkan ada dua orang yang mengaku sebagai dokter. Salah seorang mereka berkata, "Bukti saya seorang dokter adalah bahwa saya mampu berja­lan di atas air." Adapun orang kedua berkata, "Bukti saya seorang dokter adalah bahwa saya mampu menyembuhkan orang sakit." Orang yang pertama kemudian berjalan di atas air, sedangkan orang kedua mampu menyembuhkan orang sakit. Maka, jelas orang yang mampu menyembuhkan orang sakitlah yang diakui kebenarannya sebagai dokter, bukan orang yang mampu berjalan di atas air. Sebab, kemampuan menyembuhkan orang sakit adalah bukti yang kuat bahwa dia seorang dokter, sedangkan kemampuan dia berjalan di atas air tidak dapat dijadikan bukti bahwa dia seorang dokter.[23]

Jadi, bukti itu harus sesuai dengan keahliannya. Begitu juga nabi, bukti bahwa dia nabi adalah risalah yang mengandung ajaran-ajaran tentang yang gaib dan peristiwâperistiwa umat yang lalu. Inilah yang menurut Ibn Rusyd sebagai bukti kenabian, bukan peristiwa yang adi-alami itu.

Dalam kesempatan lain, Ibn Rusyd mengatakan bahwa nabi itu bagaikan seorang utusan raja ke daerah Utusan raja harus membuktikan dirinya sebagai utusan dengan memperlihatkan berita yang dibawa dan lambang-lambang kerajaan, seperti tanda tangan raja dan stempel. Kalau mampu menunjukkan tandâtanda itu, maka dia dianggap sah sebagai utusan kerajaan. Begitu juga nabi, kalau memang benar dia seorang utusan Tuhan, maka dia harus membuktikan risalah yang dibawanya sesuai dan dapat dipertanggungja­wabkan. Karena itu, mukjizat Nabi Muhammad adalah al-Qur'an, dan ini adalah bukti kebenaran kenabiannya. Sebab, al-Qur'an mengandung berita tentang umat-umat yang terda­hulu dan keadaan hari kiamat.

Ibn Rusyd menganut paham mukjizat dalam pengertian di atas. Dengan demikian, dia membagi mukjizat pada dua macam. Jenis pertama adalah jawwânî (yang sesuai dengan kenabian, seperti al-Qur'an). Mukjizat ini merupakan bukti kenabian dan cocok untuk golongan filosof dan jumhur. Mukjizat kedua adalah barrânî (yang adi-alami, seperti Nabi Ibrahim tidak terbakar), yang dipertahankan oleh para mutakalim dan dijadikan bukti kenabian. Menurut Ibn Rusyd, mukjizat barrânî hanya bisa meyakinkan jumhur saja, bukan para filosof, sedangkan mukjizat jawwânî mampu meyakinkan, baik golongan jumhur maupun filosof.

Jadi, titik tekan pengertian mukjizat bagi Ibn Rusyd dan al-Ghazâlî memiliki persamaan dan perbedaan. Baik al-Ghazâlî maupun Ibn Rusyd samâsama mengakui bahwa al-Qur'an adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. Begitu juga Ibn Rusyd mengakui bahwa mukjizat Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api adalah bagian dari pokok ajaran agama yang tidak perlu diperdebatkan, tetapi harus diyakini. Hanya saja Ibn Rusyd menekankan bahwa mukjizat yang adi-alami tidak dapat dijadikan bukti kenabian, dan mukjizat al-Qur'anlah yang dapat dijadikan bukti kenabian. Bagi al-Ghazâlî mukjizat adi-alami juga dapat dijadikan bukti kenabian.

Sebelum kaum Asy’riyah dan Ghazali, sebenarnya telah ada teori yang menolak kausalitas. Teori itu diperkenalakan oleh para skeptis yunani. Teori bahwa tidak ada hubungan kemestian antara sebab dan akibat, menurut Michael H. Hart, pandangan al-Ghazâlî memi­liki kemiripan dengan tokoh fisika modern abad ke-20, Albert Einstein (1879-1955).[24]

Dengan adanya konsistensi kausalitas, menurut Ibn Rusyd, ilmu dapat berkembang dan memprediksi teori-teori dan mempraktekkan teori tersebut pada masa yang akan datang. Kemajuan ilmu karena ada daya prediksi yang tetap itu, sehingga setiap penemuan ilmiah dapat dibuktikan kebenarannya dan bersifat universal.[25]

Akhirnya, perdebatan tentang kausalitas adalah bagian dari pemikiran yang spekulatif, karena itu, tidak satu pun yang berhak untuk mengatakan dirinya paling benar dan hebat. Pelajaran yang dapat diambil dari perdebatan itu adalah semangat untuk mendalami suatu persoalan lewat perdebatan dan argumentasi. Artinya kreativitas dan inovasi muncul dari perdebatan.

Penutup

Sebagai penutup tulisan ini, bahwa hukum Kausalitas merupakan dasar ilmu tanpa adanya hubungan sebab akibat ini, ilmu tidak mungkin ada. Disinilah kedudukan Ibn Rusyd sebagai pembela prinsip kausalitas dalam membantah argumen-argumen Ghazali. Tidaklah salah barangkalii jika ada yang mengatakan bahwa salah satu kemunduran kaum muslimin dalam bidang ilmu karena mengikuti Ghazali dan meninggalkan Ibn Rusyd.

Daftar Pustaka

Al-`Irâqî, Muhammad `Âthif al-Naz`ah, al-Manhaj al-Naqdî fî Falsafah Ibn Rusyd, Kairo: Dâr al-Ma`ârif, l980. hlm. 167.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997.

Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kani­sius, l981.

Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, Sulaymân Dunyâ (ed.), Kairo: Dâr al-Ma`ârif, 1966

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Hart, Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, Sulaymân Dunyâ (ed.), Bayrut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, l973.



[1]K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, l981, hlm. 141.

[2]Ibid. hlm. 239.

[3]Api dalam konsep filosof adalah pelaku kebakaran langsung karena dalam api telah diciptakan Allah sifat membakar. Sifat membakar itu pula yang menjadikan api berbeda dengan air. Sebab, kalau api tidak memiliki ciri khas itu, maka api dan air sama saja tidak ada bedanya. Dan kalau keduanya sama akan sulit membuat suatu definisi atas dua zat yang sama.

[4]Al-Ghazâlî, Tahafut al-Falasifah, Kairo: Dâr al-Ma`ârif, 1966, hlm. 240.

[5]Ibid. hal. 242

[6]Ibid. 242

[7]Ibid. Dalam hal contoh obat ini terlihat ada kontradiksi dalam pandangan al-Ghazâlî dengan anjurannya untuk mempelajari ilmu kedokteran. Sebab, menurut al-Ghazâlî mempelajari ilmu kedokteran adalah fardu kifayah dan tidak bertentangan dengan prinsip agama. Karena itu, boleh mempelajarinya dan al-Ghazâlî memasukkan ilmu kedok­teran pada bagian fisika. Lihat pengantar al-Ghazâlî dalam Tahâfut al-Falâsifah dan al-Munqidz hlm. 115.

[8]Lihat Musthafa Mamud, Einstein dan Teori Relati­vitas, hlm. 17; Einstein mengatakan bahwa sinar apabila dilewatkan dalam prisma kaca akan menimbulkan tujuh warna. Karena itu, kita tidak dapat memastikan bahwa cahaya itu berwarna putih atau tidak.

[9]Ibid. hal. 243.

[10]Ibid.

[11]Ibid. hlm. 248.

[12]Ibid. hlm. 249.

[13]Ibid.

[14]Ibid. hlm. 247. Para filosof, kata al-Ghazâlî, berusaha menakwilkan mukjizat adi-alami, seperti mukjizat Nabi Isa menghidupkan orang mati berarti menghidupkan kematian ilmu dan menyanggahnya karena tidak mutawatir, seperti mukjizat Nabi Muhammad terbelahnya bulan. Lihat, Ahmad Syams al-Dîn, op. cit. hlm. 88.

[15]Sofistis berarti rancu atau argumen tanpa dasar. Disebut dengan sofistis karena argumen yang diajukan sangat lemah dan mengandung pertentangan. Kata ini juga dinisbahkan kepada para tokoh sofis, seperti Gorgias dan Protogoras, yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak bersifat mutlak, tetapi relatif.

[16]Ibn Rusyd, Tahâfut al-Tahâfut, Sulaymân Dunyâ (ed.), Bayrut: Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, l973. hlm. 783.

[17]Ibid. hlm. 785.

[18] Muhammad `Âthif al-`Irâqî, al-Naz`ah, al-Manhaj al-Naqdî fî Falsafah Ibn Rusyd, Kairo: Dâr al-Ma`ârif, l980. hlm. 167.

[19]Muhammad `Âthif al-`Irâqî, al-Naz`ah, hlm. 169.

[20] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : Logos 1997, hal. 174

[21]Muhammad `Âthif al-`Irâqî, al-Manhaj, hlm. 151.

[22]Ibn Rusyd, Tahâfut, hlm. 789.

[23]Muhammad `Âthif al-`Irâqi, al-Naz`ah, hlm. 320.

[24]Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Ber­pengaruh dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, l983, hlm. 77.

[25] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat , jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 66 dan 111.

0 komentar: