Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Komentar Krits atas Pemikiran Ibnu Rusyd

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah)


Inti konsep keazalian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd merupakan suatu upaya untuk memahami dan menyelami hakikat alam semesta, Tuhan dan manusia itu sendiri sebagai satu kesatuan antara yang spiritual dan material secara menyeluruh.Hakikat ketiga realitas itu identik dengan relasi hakiki antara ketiganya. Saya bermaksud untuk melihat secara kritis pemikiran Ibnu Rusyd, baik pandangannya maupun isi pokok konsepnya perihal keazalian alam dan Tuhan. Dengan berlandaskan pemikiran serta pemahaman Ibnu Rusyd, saya juga berupaya sedemikian rupa untuk melihat secara baru hakikat alam dan Tuhan dalam kaitannya dengan manusia sebagai satu kesatuan yang menyeluruh antara yang spiritual dan yang material. Dan dalam konteks ini, saya meminjam pemikiran Ibnu Rusyd untuk saya jadikan “pisau bedah”, dalam rangka menemukan makna hidup sehingga hidup dialami terasa lebih bermakna. Hal ini tetap mengandaikan suatu kesepakatan bahwa kehidupan yang tidak dikaji merupakan kehidupan yang tidak layk untuk dijalani.

Pemahaman Ibnu Rusyd sebagaimana telah saya paparkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, akhirnya juga berhasil membawa saya ke dalam suatu penafsiran baru atas alam dan Tuhan, terutama dalam kaitannya dengan praktek hidup manusia dewasa ini. Pemahaman saya terhadap konsep keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd pun, lebih lanjut mendorong saya untuk memahami alam dan Tuhan dari perspektif etis-ekologis. Karena menurut hemat saya, pespektif etis-ekologis perlu ditempatkan sebagai yang utama di saat bumi ini terancam ‘carut-marut’ dalam waktu yang singkat, apabila manusia tidak dapat menempatkan diri secara benar dalam kaitannya dengan relasi hakiki antar manusia itu sendiri, Tuhan dan alam semesta.

3.1. Karakter Pemikiran Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf abadi dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan beliau berhasil menempati posisi khusus dalam sejarah pemikiran dunia. Dalam rentang waktu yang cukup lama, filsafatnya dikaji secara mendalam di bumi eropa. Alhasil, pemikiran Ibnu Rusyd melahirkan sejumlah pengikut fanatik, yang dengan gagah berani dan tangguh mempertahankan serta membela pemikiran serta mazhabnya.

Seperti halnya filsuf-filsuf Islam lainnya, Ibnu Rusyd merasa perlu untuk mengusahakan paduan pemikiran antara filsafat Yunani dan filsafat Islam yang telah tersurat dalam Al-Qur’an. Dalam pemahaman ini, produk pemikiran Ibnu Rusyd merupakan hasil perpaduan antara ajaran Agama Islam dengan Filsafat Yunani. Fenomena ini sebenarnya merupakan suatu hal yang muskil, tetapi juga asli dalam Filsafat Islam( Dr. Ahmad Daudy, Op.Cit., hlm. 8).

Konsep keazalian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd sendiri menampilkan suatu pemikiran yang menurut hemat saya sangat cemerlang, mendalam, rasional dan unik. Hal ini muncul sebagai buah upaya Ibnu Rusyd untuk menampilkan hakikat keharmonisan antara konsepsi ajaran filosofis yang berlandaskan akal dengan konsepsi ajaran Islam yang berlandaskan wahyu. Konsepsi Ibnu Rusyd, atas alam dan Tuhan ini, tidak lain sebenarnya lahir dari upayanya yang mendalam untuk mengintegrasikan pemaknaan iman dan akal budi.

Persoalan mendasar perihal keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd sebenarnya bersumber pada kombinasi fundamental antara informasi teologis dengan informasi filosofis. Ibu Rusyd, dalam petualangan pemikirannya, berupaya menemukan titik koherensi terdalam, antara ide yang berkarakter teologis dengan ide yang berkarakter filosofis. Upaya ini sendiri didasarkan pada keyakinan Ibnu Rusyd sendiri bahwa Filsafat dan agama laksana dua saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan. Keyakinan ini diungkapkan dan dipertegas, saat Ibnu Rusyd berhadapan dengan pemikiran Al Gazali yang cenderung menolak filsafat secara berlebihan.(Lih. H. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit., hlm. 156-157.Bdk.Prof. K. Hitti, Op.Cit., hal. 580). Filsafat dan agama sama sekali tidak bertentangan menurut Ibnu Rusyd, bahkan tetap memiliki koherensi di dalam ide-idenya sejauh konsep-konsep teologis (Al-Qur’an) dipandang secara alegoris. Baginya, Al-Qur’an tidak bisa dipahami hanya dengan pola piker tertentu saja, atau hanya ditangkap berdasarkan arti literalnya. Makna Al-Qur’an musti dirasa secara rasional dan filosofis dibalik rangkaian kata-kata alegorisnya.

Menurut pemahaman saya, bagaimanapun logika pemikiran Ibnu Rusyd ini merupakan suatu logika yang konsumtif dalam memahami serta mencermati isi Al-Qur’an. Artinya, Ibnu Rusyd melihat isi Al-Qur’an bukan tanpa tujuan bagi hidup manusia. Al-Qur’an begitu kaya akan makna yang mendasar sehingga perlu dikonsumsi demi perkembangan hidup manusia itu sendiri.Nah, bila Al-Qur’an syarat dengan makna hidup yang mesti dikonsumsi manusia, maka ayat-ayat Al-Qur’an mesti diolah lebih dahulu agar dapat dikonsumsi sesuai kebutuhan manusia. Di sinilah letak titik hermeunetik filsafat yang mampu mengolah makna Al-Qur’an menjadi makanan bagi hidup manusia.

Sesuatu yang tidak bisa dibantah adalah bahwa setiap manusia dianugerahi akal sehat. Ibnu Rusyd justru mencoba mengangkat makna Al-Qur’an ini yang penuh dengan kata-kata alegoris ke tataran rasional yang berdasarkan pada akal sehat. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat menyulut suatu implikasi etis yang jauh lebih mendalam. Suatu pola pikir, pola sikap dan tanggung-jawab manusia terhadap dirinya sendiri maupun realitas di luar dirinya, yaitu alam dan Tuhan Apa yang dinamakan “makna” Al-Qur’an (makna konsep) sejauh konsep itu mendorong pola pikir dan pola sikap tertentu.

Inti konsep keazalian alam dan Tuhan dalam Pemikiran Ibnu Rusyd adalah bahwa alam dan Tuhan itu memiliki hakikat yang sama, yakni azali, kekal, abadi. Namun demikian ada perbedaan mendasar antara keazalian alam dengan keazalian Tuhan. Keazalian Tuhan tanpa sebab selain dari diri-Nya sendiri, sedangkan keazalian alam dimugkinkan karena alam teremanasi dari Tuhan. Karena alam teremanasi dari Tuhan, bukan diciptakan dari kekosongan, bukan dari benda lain, maka alam memiliki hakikat yang sama dengan Tuhan, yakni asali, abadi. Dengan demikian alam sebenarnya merupakan emanasi Tuhan yang berpartisipasi dalam hakikat Tuhan yang abadi. Ibnu Rusyd sendiri memahami Tuhan lebih sebagai “Penyebab Utama”, dan bukan sebagai Pencipta. Sebagai Penyebab Utama, Tuhan menyertakan Creative Power bagi alam semesta melalui emanasi, sehingga alam semesta sebenarnya tidak hanya disebabkan, tetapi Tuhan sebagai Penyebab Utama juga telah menjadikan alam semesta sebagai instrumen penyebab. Dengan begitu, Tuhan dalam hal ini tidak dapat dikatakan turut campur tangan secara langsung dalam peristiwa partikular yang terjadi di alam semesta(B. Lewis, dkk., Op. Cit., hlm 914-915).

Sepintas lalu, konsep Ibnu Rusyd atas keazalian alam dan Tuhan di atas memunculkan beberapa kesan:

Pertama, karakter pemikiran Ibnu Rusyd tergolong pantheisme, yakni aliran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah prinsip impersonal, yang berada di luar alam, tetapi identik dengannya. Dalam pandangan ini, secara empiris, segala sesuatu memang berbeda satu sama lain, tetapi pada hakikatnya sungguh-sungguh identik dengan Tuhan sendiri. Alam semesta merupakan cerminan dari Tuhan (Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Grameda Pustaka Utama, 1996, hlm.774-775).

Namun demikian, pantheisme bukanlah aliran yang tepat dikenakan bagi pemikiran Ibnu Rusyd. Hal utama yang perlu diberi aksentuasi dalam pikiran Ibnu Rusyd bahwa secara kualitatif alam semesta berbeda dengan Tuhan. Tuhan merupakan Zat yang berasal dari diri-Nya sendiri, sedangkan alam disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya sendiri, yaitu Tuhan. Dengan demikian, antara alam dan Tuhan tetap memiliki perbedaan secara kualitatif.

Alam itu azali karena Tuhan menjadikan alam sebagai instrumen penyebab dengan menyertakan creative power, sehingga mamampukan alam dalam dirinya memiliki potensi untuk berubah. Oleh karena itu, tepatlah pemahaman Ibnu Rusyd bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak digerakkan. Dengan uraian seperti di atas, pemahaman Ibnu Rusyd akan keazalian alam dan Tuhan tidak pernah jatuh ke dalam kontradiksi internal. Tuhan bagi Ibnu Rusyd tetap sebagai Tuhan yang tak berubah dan tunggal. Tuhan tidak pernah melebur dalam dunia. Tuhan tetaplah Tuhan yang independen, sebagaimana alam juga independen berkat creative power yang disertakan dalam dirinya. Dengan kualitas zat yang berbeda, Tuhan menyertai alam semesta dengan creative power, sehingga Tuhan tetap memiliki keterlibatan dalam alam semesta, tetapi serentak eksistensi Tuhan sebagai penyebab tidak langsung berada di luar alam semesta. Creative Power yang berasal dari Tuhan inilah yang memungkinkan alam semesta juga memiliki kesadaran di dalam dirinya sendiri, untuk berubah muka, berganti roman sepanjang zaman dan tiada henti-hentinya. Dalam konteks ini, alam semesta tidak dapat begitu saja dilihat sebatas cerminan Tuhan, karena alam pun memiliki kesadaran di dalam dirinya sendiri. Pemaparan Ibnu Rusyd semacam itu mau memberi tekanan akan adanya kesadaran manusiawi. Berbeda dengan pantheisme, rupanya pantheisme harus terjatuh ke dala kontradiksi internal. Di satu sisi, ajaran pantheisme membawa ke dalam suatu pemahaman akan ketiadaan kesadaran manusiawi. Di sini lain, pantheisme tidak dapat menutup mata akan adanya fakta bahwa manusia memiliki kesadaran. Manusia juga memiliki kesadaran untuk menentukan dirinya sendiri, tanpa sepenuhnya harus bergantung pada sesuatu di luar dirinya.

Bagi Ibnu Rusyd, mausia tidak akan pernah memiliki kesadaran pribadi, kalau manusia tidak independen dalam eksistensinya. Dengan begitu, kesadaran manusiawi hanya dimungkinkan apabila substansi independen dan tidakselalu harus bergantung dengan realitas di luar dirinya. Menurut hamat saya, tekanan yang diberikan oleh Ibnu Rusyd semacam ini tidak sedikit pun bermaksud untuk mengadakan pemisahan yang total antara alam dengan Tuhan. Akan tetapi, Ibnu Rusyd lebih jauh mau memberi tendensi bahwa alam pun memiliki creative power dalam dirinya sendiri. Dengan begitu alam semesta juga diberi hak untuk menentukan dirinya sendiri tanpa harus selalu menggantungkan diri dengan realitas di luar dirinya. Alam semesta diberi hak untuk menggunakan otaknya sendiri dan tidak harus selalu bergantung pada Tuhan, kendati harus disadari juga bahwa alam semesta memiliki otak tiada lain disebabkan oleh Tuhan.

Kedua, karakter pemikiran Ibnu Rusyd termasuk panentheisme(Yunani; Pan dan Theos yang berarti semua dalam Tuhan. Lih. Lorenz Bagus, Ibid.,hlm. 770-771).Panentheisme sendiri merupakan pandangan yang mengajarkan bahwa seluruh realitas merupakan bagian dari eksistensi Tuhan. Kaum panentheis dalam kosmologinya meyakini bahwa dunia adalah ciptaan yang terbatas dalam keadaan Allah yang tak terbatas; dan bahwa seluruh alam merupakan suatu organisme ilahi yang terkonstitusi sedemikian, hingga organisme yang lebih tinggi berunsurkan organisme yang lebih rendah.

Ibnu Rusyd memahami alam semesta sebagai yang azali, abadi dan tak terbatas, yakni karena alam semesta disebabkan oleh yang Azali, yaitu Tuhan. Keazalian Tuhan memang dilihatnya sebagai yang lebih utama dibandingkan dengan keazalian alam.Akan tetapi kalo menurut hemat saya, Ibnu Rusyd tidak bermaksud untuk berpikir secara hirarkis, artinya Ibnu Rusyd tudak bermaksud untuk mengungkapkan keazalian alam lebih utama dibandingkan dengan keazalian Tuhan. Demikian juga sebaliknya, keazalian Tuhan tidak pernah bermaksud untuk “memenjarakan” keazalian alam, sehingga alam semesta harus dipahami sebagai eksistensi yang terbatas di dalam keberadaannya dengan Tuhan yang tak terbatas. Tuhan juga tidak tampak sebagai otoritas yang merasa diri perlu untuk mengatur alam, sehingga alam harus dipahami sebagai organisme ilahi yang terinstitusi sedemikian rupa, yang harus “menginduk” pada organisme yang lebih tinggi. Apakah dengan pemahaman ini mampu mengukuhkan pemikiran Ibnu Rusyd ke dalam panentheisme?

Menurut hemat saya, relasi antara alam dan Tuhan dalam konsep Ibnu Rusyd bercorak dialektis, suatu relasi timbal-balik yang tak terpisahkan , tanpa adanya suatu pemahaman baru yang memunculkan kesan mereduksi alam di satu pihak, dan Tuhan di pihak lain. Dalam batas tertentu, keduanya independen dalam eksistensinya. Tidak ada konsep ‘mana yang lebih tinggi’ yang merasa perlu untuk mengatur yang lebih rendah. Alam dalam konsep Ibnu Rusyd sekali lagi disertai oleh creative power Tuhan. Creative Power Tuhan inilah yang memungkinkan alam semesta bebas menentukan dirinya sendiri dalam relasinya dengan Tuhan. Creative power yang disertakan oeh Tuhan inilah, rupanya yang mendorong Tuhan untuk lebih bersikap toleran terhadap segala peristiwa yang terjadi di dalam alam semesta. Creative power yang juga memungkinkan pemahaman ada bersama Tuhan bagi realitas alam semesta sebagai totalitas.

Menurut hemat saya, pemahaman Ibnu Rusyd seperti di atas sangat mendukung pola pandang bahwa hanya dari Tuhanlah dilahirkan segala sesuatu yang baik. Tuhan tidak pernah menyebabkan hal-hal yang kurang baik, bahkan yang tidak baik, karena Tuhan tidak lain adalah Kebaikan Sempurna itu sendiri. Kalaupun dalam fakta muncul sesuatu yang kurang baik bahkan tidak baik, karena sudah dari keazalian Tuhan memberi substansi kreatif yang memungkinkan alam semesta bebas menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, creative power yang disertakan Tuhan dalam seluruh realitas alam semesta senenarnya memunculkan pemahaman baru akan Tuhan yang menaruh kepercayaan yang besar terhadap alam semesta sebagai totalitas. Namun demikian, apakah setiap realitas yang menjadi bagian alam semesta sebagai totalitas itu sungguh berpartisipasi di dalam Tuhan yang tidak lain adalah Kebaikan Sempurna itu? Dalam konteks pemahaman ini saya secara pribadi optimis sekali bahwa pemikiran Ibnu Rusyd sangat adequate menjawab fenomena “ganjil’ yang terjadi dalam alam semesta ini.

Ketiga, pemikiran Ibnu Rusyd tergolong deisme. Istilah deisme sendiri diperkenalkan oleh Laelius dan Faustus Socinus pada abad ke XVI. Istilah ini sekarang digunakan untuk menunjuk pada suatu gerakan pemikiran abad XVII dan XVIII, terutama di Inggris. Gerakan ini sangat berupaya menggantikan wahyu dengan cahaya akal. Inti pemikirannya, aliran ini meyakini bahwa satu Tuhan pencipta dunia, setelah itu lepas tangan dalam fungsinya yang sekarang (Lorenz Bagus, Ibid., hlm.152-153). Memang, dalam konsepnya, Ibnu Rusyd memunculkan suatu pemahaman bahwa Tuhan adalah penyebab Pertama. Sebagai Penyebab Pertama, Tuhan hanyalah penyebab gerak akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya dalam alam semesta bukanlah akibat langsung dari Tuhan. Alam semesta memiliki potensi kreatif yang memungkinkan alam semesta bergerak secara independen tanpa campur tangan Tuhan.

Sepintas lalu, konsep Ibnu Rusyd di atas memang memberi kesan seolah-olah ia memandang Tuhan sebagai Penyebab Utama yang dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya tidak bertanggung-jawab. Tuhan muncul dalam pemahaman yang cenderung ‘cuci tangan’ setelah menyebabkan segala sesuatu.Tetapi kesan negatif atas pemikiran ini, rupanya harus dibuang jauh-jauh, mengingat dalam konsepnya, Ibnu Rusyd tetap membuka pemahaman akan keterlibatan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Kembali dalam konteks ini, creative power yang ada dalamalam semestalah yang membawa lampu pencerahan dalam pemikiran Ibnu Rusyd.

Menurut hemat saya, creative power yang ada dalam alam semesta, merupakan isyarat bahwa Tuhan menurut Ibnu Rusyd bukanlah Tuhan yang pasif, cuci tangan dan meninggalkan alam semesta begitu saja, tetapi Tuhan yang aktif-kreatif dalam alam semesta berkat creative power yang juga Dia sertakan dalam alam semesta. Sebagaimana alam semesta ini melimpah dari Tuhan, demikian juga creative power yang melimpah dari Tuhan niscaya kalo keberadaanya selain dari Tuhan sendiri. Artinya, keberadaan creative power dalam alam semesta harus dipahami sebagai substansi “tangan-tangan” Tuhan sendiri yang bergerak secara aktif-kreatif dalam suatu gerakan yang tidak langsung. Hal ini harus tetap didasarkan pada pemahaman bahwa alam semesta memiliki potensi pada dirinya sendiri, tidak lain karena creative power yang disertakan Tuhan. Tanpa creative power, potensi alam semesta praktis tidak dapat dipahami.

Saya sendiri cenderung melihat konsep Ibnu Rusyd tentang keazalian alam dan Tuhan ini sebagai konsep yang sangat unik. Begitu unik pemikiran Ibnu Rusyd sehingga sulit sekali untuk dikategorikan secara tepat dengan aliran-aliran tertentu. Ibnu Rusyd selalu ada posisi ‘antara’ di samping aliran-aliran lainnya. Tidak bertendensi ekstrem kanan, maupun kiri. Relasi alam dan Tuhan yang dibangun oleh Ibnu Rusyd lebih sebagai relasi yang bersifat imanen, tetapi serentak relasi yang transenden. Secara actual, memang Tuhan tidak bertindak secara langsung tetapi dengan creative power, Tuhan ada bersama alam semesta, turut serta dalam proses kehidupan di dalamnya, kendati tidak secara langsung. Imanensi yang tampak dalam konsep Ibnu Rusyd ini, tetap tidak mampu menghapus kenyataan bahwa Tuhan transenden: independen, lebih tinggi,unggul, agung, dan melampaui alam semesta.

Pemikiran Ibnu Rusyd tetap berbeda dengan ajaran panentheisme dalam hal relasi antara alam dan Tuhan. Memang, panentheisme memunculkan pemahaman akan adanya relasi transenden dan imanen. Akan tetapi, panentheisme tidak memiliki kejelasan, apakah dalam konsepnya, panentheisme juga menggunakan pemahaman “perantara”, seperti Ibnu Rusyd dengan creative power dalam konsepnya (lih. Lorenz Bagus, Ibid. hlm.770-771). Creative power dalam konsep Ibnu Rusyd harus dipahami sebagai ‘utusan’ dan Tuhan ‘yang mengutus’. Kalau Tuhan dikatakan sebagai ‘yang mengutus’, dalam hal ini Tuhan tidak datang dengan sendirinya, melainkan lewat utusannya. Creative power bukan Tuhan sendiri, tetapi harus dilihat dan dipahami sebagai ‘wakil’ Tuhan.

0 komentar: