Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Ibnu Rusyd "Keazalian Alam dan Tuhan"(chapter 1)

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(PEMIKIRAN IBNU RUSYD DALAM RENTANG SEJARAH)


“Berkat kecerdasan dan kecermerlangan pikirannya, Ibnu Rusyd merambah belantara cabang ilmu pengetahuan, Filsafat dan Agama. Keseluruhan petualangannya sangat mengandalkan daya cerna rasional atas apa pun serta mengesampingkan emosi dan perasaan sentimen. Alih-alih perjalanan seorang tokoh besar, justru kebesaran dan kejeniusannya malah membuat resah para ulama fikih yang tidak senang dengan pendapat-pendapatnya, bahkan dia dituduh sebagai penyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Agama Islam. Dia dikenal sebagai penentang ajaran Agama Islam dengan tudingan ‘manusia zindik’ (lahirnya Islam sementara batinnya kafir).Tidak hanya sebatas dituduh sebagai pengajar ajaran sesat saja, Beliau juga diasingkan di Lucena dan karya-karya yang sudah dipublikasikan pun di bakar dan secara resmi diumumkan haram belajar Ilmu Filsafat. Sejak saat itulah, Filsafat tidak mendapat tempat di dunia Islam karena kebebasan berpikir ‘dipasung’ dengan dalih agama”

1. Riwayat Hidup dan Karya-Karya Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd dilahirkan pada tahun 520 H atau tahun 1126 Masehi, di kota Cordova, Andalusia, wilayah Islam di ujung Barat Benua Afrika. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Ibnu Rusyd. Di Barat Beliau lebih dikenal dengan nama Averoes. Ia berasal dari sebuah keluarga terhormat, baik di wilayah kesarjanaan maupun kenegaraan. Di wilayah kesarjanaan, keluargannya telah menyumbangkan sarjana-sarjanaTeologi dan Ilmu Hukum bagi kaum muslimin Spanyol.Sementara di wilayah kenegaraan, Kakek dan ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai hakim agung. Beliau sendiri juga pernah menduduki jabatan sebagai hakim di Sevilla dan hakim agung di Cordova.

Sejak kecil Beliau telah mempelajari Al-Qur’an, ilmu-ilmu keislaman (tafsir, hadis, fikih, dansastra Arab). Kemudian Beliau juga mendalami Matematika, Fisika, Astronomi, Logika, Filsafat, Ilmu Kedokteran , sejarah, dan juga Ilmu Sastra. Beliau adalah komentator dan kritikus ulung dan namanya melambung tinggi justru karena uraian-uraiannya tentang filsuf-filsuf pendahulu, terutama Aristoteles. Kritik dan komentarnya tentang Filsafat Aristoteles inilah yang membuat Beliau termasyur di Eropa, sehingga Eropa tidak segan-segan mengakui bahwa Ibnu Rusyd adalah komentator besar atas karya Aristoteles sebagai guru besarnya.

Selama pergulatannya dengan Filsafat dan berbagai ilmu empiris lainnya, Ibnu Rusyd sangat merangsang banyak pemikir dunia terutama dalam ranah Filsafat. Beberapa karyanya dapat kita sebut, sbb: Mabadi-ul-Falasifah (Pengantar Ilmu Filsafat), Kashful-adilla (Buku Filsafat dan Agama), Tahafutu-t-Tahafut (Buku filsafat yang merupakan balasan atas serangan buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul-Falasifah), Muwafagati-I-Hikmawati Wal Sharia (Persamaan Filsafat dan Agama), Qism Ur Rabi’min Warait Thabie’ah (Buku Metafisika), Fashl ul maqal (Buku Ilmu Teologi), Bidayat ul Muftahid wa Nihayat Urdjuza (Ilmu Pengobatan), Taslul (Ilmu Kalam).

Setelah dibebaskan oleh Kaisar Al- Mansyur dari pengasingannya di Lucena, Ibnu Rusyd kemudian pergi ke Maroko dan di tempat inilah Beliau menghabiskan sisa hidupnya hingga hembusan nafas terakhir pada tanggal 11 Desember 1198.

1.1 Kemasyuran Ibnu Rusyd dalam Dunia Filsafat

Terlepas ‘label negatif’ yang harus dia pikul karena kecemerlangan dan keradikalan pemikirannya, Ibnu Rusyd harus diakui sebagai pemikir Abad Pertengahan yang paling besar , mencengangkan dan mengguncangkan dunia, khususnya dunia Islam. Beliau adalah seorang filsuf Islam yang paling terkenal. Seorang putera andalus yang menjadi ‘perantara’ dan yang membawa cara berpikir dan akidah Timur di tengah kehidupan orang Barat.

Karena kecemerlanagan dan keradikalan pemikirannya, maka Beliau berhasilmenggondol nilai yang tinggi dalam pandangan orang Eropa, serentak memeteraikan namanya dalam deretan filsuf-filsuf Eropa. Karena keistimewaannya inilah, maka Philip K. Hitti mengatakan :

“last of the great Arabic writing philosophers, Ibnu Rushd produced no progeny is Islam. He belonged more to Christian Europe than to Muslem Asia or Africa. To the West he became “the commentator” as Aristotle was the teacher” (Philip K. Hitti, History of the Arab, New York, Princeton University Press, 1956,hlm.583).

Dari uraian di atas, Ibnu Rusyd sebenarnya merupakan seorang filuf Islam yang sangat mempengaruhi gema filsafat Eropa. Beliau seorang filsuf sklolastik Islam yang kecemerlangan pemikirannya lebih menampilkan raut pemikiran yang holistic, karena pemikirannya mengakomodasi setiap pemikiran, kemudian menggodoknya secara rasional, sistematis, metodis serta koheren. Harapannya tentu pemikiran-pemikiran baru yang akan lebih mampu menampilkan karakter realitas yang sebenarnya. Beliau betul-betul seorang pencari kebenaran sejati, yang tidak begitu saja sudi ‘terpaku-mati’ dalam keyakinan-keyakinan, doktrin dan dogma-dogma yang sudah diterima tanpa memperkarakannya oleh khalayak umum. Beliau seorang manusia biasa yang memiliki keberanian untuk menerjang semua keangkuhan dogmatis-teologis serta filosofis, sambil menebarkan semerbak harum nubuat profetis serta pesan-pesan keilmuan yang luas, tajam dan mendalam. Dari konteks ini juga, dapatlah kita memahami bahwa pemikiran Beliau sebenarnya buah dari petualangan perdebatan yang panjang. Tetapi, pencarian Beliau sudah barang tentu dilakukan dalam konteks pencariannya akan makna yang terdalam dari sesuatu yang Beliau imani.

1.1.1. Pengertian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd tidak pernah mendifinisikan apa itu alam dan Tuhan. Beliau hanya menampilkan karakter alam dan Tuhan serta relasi hakiki antara alam dan Tuhan itu sendiri. Alam dalam pemikiran Ibnu Rusy lebih cenderung dipahami sebagai segala sesuatu yang ada dengan segala proses yang menjadikannya serta yang menyertai segala sesuatu itu. Dapat dikatakan bahwa alam merupkan totalitas eksistensi dan potensi yang terpadu. Alam meliputi ruang, waktu, materi, perubahan, gerak, energi, kausalitas, serta keabadian.

Sebagai seorang yang berimankan Islam, sudah barang tentu Kitab Suci Al-Qur’an menjadi pijakan pemikirannya. Beliau merefleksikan apakah ada sesuatu yang telah ada sebelum dunia ini diciptakan dan dari bahan yang sudah ada itukah dunia ini diciptakan. Apakah waktu itu sudah dimulai dari hari pertama dari keenam hari ataukah waktu itu sudah ada sebelum Allah menciptakan alam semesta ini. Ajaran tradisional Islam mengklaim bahwa alam semesta ini diciptakan dari ketiadaan “creatio ex nihilo”. Hal ini terutama didasarkan pada ayat 7 dari Surat Hud yang berbunyi: “Wa hua-llazi khasqas samawati wal ardla fi Satttati ay yami wa kana arsyuhu ala ama” (Allah itulah yang menjadikan beberapa langit dan bumi dalam waktu enam hari, dan arasynya di atas air). Kutipan ini dapat dijadikan rujukan bahwa ada sesuatu sebelum penciptaan alam semesta ini berlangsung. Tetapi khalayak memahami bahwa air itu sendiri dulunya juga diciptakan oleh Tuhan (bdk. A.J. Arbery, The Koran Interpreted, Oxfort University Press, 1964. Lihat juga Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Jakarta, Rajawali Pers, hal.35)

Tetapi berseberangan dengan pemikiran tradisional Islam, Ibnu Rusyd menurunkan gagasan alam semesta secara baru. Bahkan baginya, konsep “creatio ex nihilo” sama sekali tidak masuk akal. Tidaklah mungkin “tiada” dapat berubah menjadi “ada”. Yang terjadi “ada” berubah menjadi “ada yang lain”. Ibnu Rusyd susah membayangkan kalo sesuatu yang ada itu tidak bersifat azali, tanpa permulaan dan tiada berkesudahan. Beliau tidak terima pada saat kita merendahkan derajad Allah hanya sekedar pemain sulap. Kemudian, sapakah Tuhan menurut Ibnu Rusyd dan bagaimana relasinya dengan alam semesta?

Ibnu Rusyd lebih memahami segala sesuatu di alam ini disebabkan oleh Tuhan. Tuhan adalah ‘penyebab utama’ segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Dikatakan Tuha sebagai penyebab karena segala sesuatu yang ada di alam ini memancar atau melimpah dari-Nya. Karenanya, segala sesuatu yang ada di alam ini harus dipahami sebagai “ada-bersama” Tuhan. Alam semesta dengan demikian azali, tanpa permulaan dan tiada berkesudahan, dan bukan dari “ketiadaan” kemudian menjadi “ada”. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tuhan dan alam dari sisi durasi waktu sama-sama kekal. Tuhan adalah kekal dan alam semesta pun kekal adanya. Betapa sulit membayangkan matahari tanpa sinar matahari, demikian juga sulit membayangkan kekekalan Tuhan tanpa adanya kekekalan alam. Namun demikian, harus diakui bahwa kekekalan Tuhan berbeda dengan kekekalan alam semesta. Kekekalan Tuhan tanpa penyebab sedangkan kekekalan alam semesta mempunyai penyebab, yaitu Tuhan sendiri sebagai “Penyebab Pertama”.

Ibnu Rusyd tidak pernah membayangkan Tuhan sebagai Dia yang pasif, tetapi Dia yang aktif lantaran potensi kreatif yang Tuhan sertakan dalam alam semesta. Hakikat Tuhan menimbulkan gerak kendati Tuhan sendiri tidak bergerak. Gerak inilah yang menjadikan segala sesuatu di alam. Dari Tuhan tidak hanya memancar atau melimpah alam semesta saja, tetapi alam semesta bersama creative power yang disrtakan padanya. Tuhan tidak hanya menjadikan semesta alam saja, tetapi tuhan juga menjadikannya instrumen penyebab (lih. B.Lewis,dkk.(Ed.),Op.Cit.,hlm 914-915).Dengan wujud dan potensinya, akhirnya alam semesta menjadi penyebab bagi realitas-realitas particular yang ada di dalammya.

Dalam konteks pemahaman ini, Tuhan menurut Ibnu Rusyd tidak menciptakan alam semesta secara langsung. Dapat dipahami pula bahwa adanya realitas perubahan berganti roman dan berganti rupa sepanjang jaman tidak lain karena adanya kemampuan kreatif, potensi kreatif yang menyertai setiap materi yang ada di semesta alam ini. Bahkan dalam batas-batas tertentu, kita perlu memahami bahwa penciptaan alam semesta sebagai peristiwa transformatif alam semesta itu sendiri secara terus-menerus, karena melalui gerak pertama itu, Tuhan sudah memberikan daya transformasi pada alam itu sendiri ( Mircea Aliade, The Encyclopedia of Religion, New York, MacMillan Publishing Co.,1987,hlm.567).

Ibnu Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibnu Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhanyang esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibnu Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibnu Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu (Dr. Ahmad Daudy, MA(ED.), “Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984,hal.5-6).

1.1.2. Alam dan Tuhan dalam Teori Emanasi

Ibnu Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibnu Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhanyang esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibnu Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibnu Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu (Dr. Ahmad Daudy, MA(ED.), “Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984,hal.5-6).

Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibnu Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas/perbuatan. Ibnu Rusyd mengatakan sesungguhnya ada perbedaan anatara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia). Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu. Menurut Ibnu Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya. Dengan alasan ini, akhirnya Ibnu Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari Yang Satu, Esa, hanya melimpah satu (B. Lewis,dkk (Ed.),Op.Cit.,hlm.915). Ibnu Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia. Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas particular di dalamnya (Dr. Ahmad Daudy,MA (ed), Op.Cit.,hlm.31).

Dari apa yang telah diuraikan di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa antara wujud empiris dengan wujud akali sebetulnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menyatakan juga bahwa alamsemesta ini satu, ke luar dari Yang Satu. Di satu pihak, Yang Satu ini adalah penyebab adanya kesatuan. Sementara di pihak lain, Yang Satu ini menjadi penyebab adanya keragaman realitas. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ibnu Rusyd mengajukan argumentasi cemerlang melaui sebuah pernyataan tegas bahwa dari Yang Esa, dengan ke-Esa-an-Nya, harus melimpah keragaman atau melimpah apapun sesuai dengan kesempurnaan-Nya. Dari Yang Satu bukan hanya melimpah satu, karena hal itu tidak akan pernah sesuai dengan fakta keberagaman yang ada di semesta alam ini.

Semua prinsip, baik yang berasal dari materi maupun yang bukan materi, melimpah dari prinsip pertama (Tuhan). Untuk itu, eksistensi alam semesta ini tiada lain disebabkan oleh kekuatan Tuhan yang satu, sehingga kekuatan Tuhan yang satu itu meresap di dalammya. Dari kekuatan Tuhan ini, jadilah semuanya sebagai satu kesatuan yang sesuai dengan tindakan Tuhan yang satu. Karena jika tidak dipahami secara demikian, tidak akan pernah terjadi keteraturan dan keterkaitan antar bagian di dalam alam semesta ini. Berdasarkan pemahaman semacam ini juga, maka Ibnu Rusyd membenarkan bahwa Tuhan adalah penyokong dan pemelihara segala sesuatu.

Kalaupun ada kekuatan yang meresap dalam alam semesta, seperti yang dimaksudkan Ibnu Rusyd, hal itu bukan berarti bahwa dengan meresapnya kekuatan yang satu ke dalam alam semesta, maka alam semesta menjadi banyak, seperti yang diduga. Hal ini memang sesuai dengan anggapan kebanyakan orang bahwa dari prinsip pertama mula-mula hanya melimpah satu saja, kemudian dari yang satu itu melimpah yang banyak. Akan tetapi, dugaan semacam itu muncul dari pemikiran orang-orang yang menyamakan pembuat yang gaib (Tuhan) dengan pembuat nyata (manusia), atau antara pembuat yang immaterial (Tuhan) dengan pembuat yang material (manusia). Hal ini sangatlah mustahil bagi Ibnu Rusyd. Dari pemaparan di atas, maka jelaslah kebolehan melimpahnya keberagaman dari Yang Esa, tanpa perantara siapa dan apa pun, selain dari Yang Esa itu sendiri.

Ibnu Rusyd kemudian menambahkan penjelasannya dengan membandingkan alam semesta ini , yang terdiri dari berbagai bagiannya, dengan negara yang memiliki banyak pemimpin. Semua pemimpin yang ada dalam negara itu, akan tunduk di bawah pimpinan yang satu dan tertinggi, yaitu kepala negara. Demikian pun alam semesta ini, begitu banyak realitas particular ada di dalamnya, akan tetapi alam semesta, baik sebagai totalitas maupun realitas-realitas particular yang ada di dalamnya, tunduk di bawah prinsip pertama dan tunggal, yakni Penyebab alam semesta ini. Dengan begitu, tidak dapat dibantah bahwa dari Yang Esa melimpah beraneka ragam realitas sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada dalam alam semesta.

1.1.3 Pengetahuan Tuhan dan Realitas Partikular di Alam Semesta

Ibnu Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan Yang Mahamulia hanya mengetahui realitas alam semesta secara universal saja, dan tidak secara particular. Tuhan baginya merupakan Akal pertama yang menggerakkan, bahkan merupakan Akal tertinggi. Karena itu, pengetahuan dari Akal tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula, agar ada persesuaian antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Karena itu, mustahil Tuhan mengetahui selain Zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan Zat Tuhan (Robert L. Arrington, A Companion to The Philosophers, USA, Blackwell Publisher Inc.,1999,hlm.668). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengetahuan Tuhan hanya dimungkinkan jika ada kesesuaian keluhuran, antara yang beraktivitas mengetahui dengan hal yang akan diketahui. Karena itu, Tuhan hanya mungkin mengetahui realitas yang secara kualitatif sejajar dengan Tuhan sendiri. Realitas yang secara kualitatif sejajar dengan Tuhan tidak lain hanyalah Zat Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, apa yang bukan Zat Tuhan, tidak mungkin diketahui oleh Tuhan.

Pengetahuan Tuhan akan Zat-Nya itu menjadi sebab bagi adanya pengetahuan Tuhan secara universal saja. Hal ini serentak mengandaikan bahwa pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal particular tidaklah mungkin. Kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang particular, maka hal itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna dari pada-Nya, sesuatu yang tidak sejajar dengan Zat-Nya sendiri. Hal ini pun akanmenjadi tidak masuk akal, mengingat Tuhan yang adalah Akal Tertinggi itu seharusnya tidak mengetahui selain Zat-Nya sendiri, supaya ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Ibnu Rusyd menggambarkan Tuhan sebagai kehidupn yang sempurna dari segala segi dan sudah puas dengan kesempurnaan-Nya sendiri. Bahkan pengetahuan Tuhan pun tidak ditentukan oleh hal-hal particular.

Terkait dengan pengetahuan Tuhan yag bersifat universal ini, Ibnu Rusyd melihat alam dan Tuhan sebagaimana halnya hubungan negara dengan kepala negara. Karena kedudukannya sebagai “Penyebab” (kepala), maka Tuhan itu lain dari alam, sebagaimana kepala negara lain dengan negara yang dipimpinnya. Tidaklah mungkin kepala negara mengetahui urusan pemerintahannya secara detail, apalagi menangani segala urusan kenegaraannya. Jika hal demikian ini terjadi, maka kepala negara itu sebenarnya mulai mengabaikan potensi-potensi yang seharusnyabekerja di dalam tubuh pemerintahannya. Tuhan yang diimani oleh Ibnu Rusyd rupanya tidak seperti itu. Akan tetapi persoalannya apakah Tuhan Ibnu Rusyd itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan alam semesta? Ternyata tidak bisa dikatakan demikian, karena bahaimana pun juga Ibnu Rusyd tetap memahami Tuhan dalam kaitannya dengan alam semesta. Antara Tuhan dan alam semesta sebenarnya ada penghubungnya.

Penghubung utama antara Tuhan dg alam semesta ialah intelligensi yang tingkat bertingkat, sama halnya dengan susunan bintang-bintang di langit. Adapun intelligensi yang menghubungkan realitas particular, termasuk manusia, dinamakan “intelligensi bulan”. Secara mengagumkan Ibnu Rusyd menerangkan bahwa intelligensi bulan yang merupakan asal dari akal manusia ini merupakan suatu benda alam yang “azali”, sebagaimana azalinya alam semesta itu sendiri.

Secara cermat, Ibnu Rusyd membedakan antara akal aktif (Active Intellect) dengan akal pasif (Receptive Intellect). Akal aktif merupakan sumber dari segala akal manusia yangmemiliki sifat satu dan universal, sementara akal kemungkinan merupakan pikiran yang berkuasa sehari-hari terhadap diri manusia. Menurut Ibnu Rusyd, akal manusia terdiri atas akal aktif (yang merupakan sumber) dan akal pasif (yang merupakan pikiran yang berkuasa sehari-hari dalam diri manusia).

Akal dan jiwa manusia adalah satu, bersifat universal, dan abadi. Jasmani manusia boleh meninggal dan musnah, tetapi akal dan jiwanya akan terus hidup, menjadi bebas dari jasmani yang kasar itu dan menyatukan dirinya ke dalam akal aktif yang menjadi induk dan asalnya. Pemikiran Ibnu Rusyd seperti ini dinamakan “monopsychism” yaitu paham yang menyatukan segala jiwa (Drs. H. Hasbullah Bakry, SH., Op.Cit., hlm.73).

1.2 Rangkuman

Dari uraian di atas, tampak bahwa Ibnu Rusyd memang terkenal sebagai pemikir ulung, yang menampilkan pemikiran yang sangat cemerlang, baik di dunia Islam maupun di dunia barat. Kalo mau digolongkan dalam pemikiran Filsafat, sekilas tampak bahwa Ibnu Rusyd berdasarkan pemikirannya termasuk kaum rasionalisme. Akan tetapi kalo dilihat secara cermat, sebenarnya Ibnu Rusyd selain mengagumi rasionalitas, serentak beliau juga meyakini adanya realitas yang tidak dapat dicerna secara rasional, dan hanya mungkin dipahami melalui kerangka agama dan iman. Dengan demikian, Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf yang sangat rasional di satu sisi, tetapi sangat agamis di sisi yang lain.

Dengan pemaparan yang sangat berbeda, Ibnu Rusyd berusaha secermat mungkin memberi tendensi bahwa alam semesta ini azali: kekal,abadi, tiada berawal dan tiada akan berakhir. Alam semesta ini azali, karena keberadaan alam semesta ini disebabkab oleh Tuhan yang azali. Alam semesta ini azali, karena alam semesta memiliki daya kreatif dalam dirinya semndiri yang berasal dari Tuhan. Tendensi pada keazalian alam dan Tuhan semacam itu, beliau kukuhkan dengan teori emanasi.

Dalam teori emanasi, Ibnu Rusyd meyakini bahwa alam semesta melimpah atau meleleh dari Tuhan. Ibnu Rusyd memahami peristiwa emanasi ini sebagai keharusan mutlak berdasarkan kesempurnaan Tuhan. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa alam semesta ini merupakan satu kesatuan totalitas, melimpah dari Yang Satu, yaitu Tuhan. Dari Yang Satu melimpah keragaman sehingga sesuai dengan fakta adanya keragaman di semesta alam. Dengan pendapatnya ini, Ibnu Rusyd serentak menolak bahwa dari Yang Satu hanya melimpah satu. Jika dari Yang Satu melimpah hanya satu, hal ini baginya tidak akan sesuai dengan keberagaman yang ada di alam semesta ini. Selain itu, Ibnu Rusyd juga mau memberi tendensi bahwa alam semesta ini azali. Eksistensi Tuhan sudah berarti adanya Tuhan yang mengemanasikan diri-Nya, yang nyata dalam alam semesta sebagai totalitas. Dengan begitu, proses emanasi harus dipahami sebagai proses yang terjadi sejak keazalian.

Karena alam semesta meleleh atau melimpah dari Tuhan, maka konsekuensinya pengetahuan Tuhan atas realitas particular bersifat universal. Tuhan tidak mengetahui segala sesuatu sampai sekecil-kecilnya. Bagi Ibnu Rusyd, harus ada kesesuaian antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Karena itu, Tuhan harus dipahami sebagai yang hanya mengetahui sesuatu yang seluhur dengan Tuhan itu sendiri dan itu tidak lain adalah zat-Nya sendiri. Pengetahuan Tuhan mengenai zat-Nya itulah yang menjadi sebab pengetahuan Tuhan secara universal. Kemaha-kuasaan Tuhan harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip umum yang mengatur alam semesta ini secara azali, yaitu Zat-Nya sendiri. Kalau Tuhan mengetahui setiap realitas particular sampai tingkat sekecil-kecilnya, maka pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh sesuatu yang kurang sempurna dalam dirinya. Dalam hal ini mustahil, karena Tuhan dalam pemikiran Ibnu Rusyd adalah Tuhan yang sempurna dan merupakan Akal Tertinggi. Tuhan yang sempurna dan merupakan Akal tertinggi tersebut, tidaklah mungkin mendapatkan pengetahuan dari sesuatu yang kurang sempurna.

0 komentar: