Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Ibnu Rusyd "Keazalian Alam dan Tuhan"(chapter 2)

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah).


2.3.1. Hakikat Ruang dan Waktu

Cara Ibnu Rusyd menopang pandangannya perihal hakikat ruang dan waktu ialah dengan memerikan hakikat ruang dan waktu secara berbeda. Pemahaman Ibnu Rusyd perihal ruang dan waktu sama sekali tidak bermaksud untuk menyangkal eksistensi waktu umum (ordinary time), seperti yang kita pahami, yang berdetak seiring terciptanya alam semesta ini. Akan tetapi, keadaan waktu umum itu, sebagai konsekuensi atas pemikirannya, Beliau lihat sebagai karya ciptaan yang eksistensinya berada dalam kekekalan dan bukan sebagai karya ciptaan yang diciptakan pada saat tertentu. Ruang dan waktu tidak diciptakan di dalam waktu enam hari, melainkan di luar waktu 6 (enam) hari. Eksistensi ruang dan waktu beliau pahami sebagai ada bersama Tuhan dan bukan sebagai ada pada saat tertentu, di mana Tuhan merasa perlu untuk menciptakan alam semesta sebagai totalitas. Untuk itulah, amat sulit bagi Ibnu Rusyd untuk membayangkan bahwa eksistensi ruang dan waktu itu baru ada setelah Tuhan berkehendak untuk menciptakan, atau Tuhan ada lebih dulu, kemudian barulah eksistensi ruang dan waktu menyusul (Ibid.hlm.66).

Ibnu Rusyd sendiri memahami waktu sebagai ukuran perubahan dalam alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak permulaan sebagai kontinuitastransformatif, tanpa adanya proses penyelangan waktu. Dengan kata lain, hakikat ruang dan waktu sebagai bagian dari totalitas alam semesta diciptakan Tuhan tanpa adanya durasi waktu. Eksistensi Tuhan harus selalu dipahami sebagai eksistensi yang membawa konsekuensi akan adanya eksistensi ruang dan waktu. Ruang dan waktu bukanlah realitas susulan, yang keberadaannya baru kemudian setelah Tuhan berkehendak untuk menciptakan alam semesta sebagai totalitas. Kontinuitas transformatif waktu itu sendiri merupakan karakter khusus yang kerap kali beliau pergunakan sebagai isyarat bentuk yang meruang (Spatialized form). Karena dalam bentuk itulah, kodrat perubahan alam mungkin terjadi dan bentuk berjasad pun dapat dialami (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (penerjemah Musa Kazhim), Bandung, Mizan, 2002,hlm. 37).

Untuk memperkuat pemikirannya di atas, dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu, Ibnu Rusyd mebuat tiga kategori eksistensi realitas. Pertama, eksistensi realitas yang berasal dari tindakan pelaku lain, yaitu segala macam perubahan yang terjadi dalam perjalanan alam semesta. Kedua, eksistensi realitas yang tidak berasal selain dari dirinya sendiri dan terjadi di luar waktu. Kategori ini hanya pantas dikenakan pada Tuhan. Ketiga, kategori eksistensi yang berada di antara kategori pertama dan kedua, yang tidak berasal dari eksistensi lain dan tidak pula terjadi di dalam waktu, yaitu alam secara keseluruhannya.

Dengan demikian, harus dikatakan bahwa alam semesta tidak dapat dipahami sebagai yang tercipta dari bahan tertentu, karena alam itu sendiri merupakan keseluruhan bahan yang ada. Alam semesta pun tidak dapat dipahami sebagai yang tercipta dalam waktu, karena waktu merupakan ukuran perubahan alam semesta. Perubahan alam semesta itu hanya dapat dipahami setelah alam semesta itu bereksistensi. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bagi Ibnu Rusyd untuk memahami konsepsi ruang dan waktu tanpa eksistensi ruang dan waktu ada bersama Tuhan dan alam semesta. Hal itu didasarkan pada suatu pemahaman bahwa ruang dan waktu itu sendiri merupakan bagian dari totalitas alam semesta, bahkan ruang dan waktu itu merupakan alam semesta itu sendiri, yang eksistensinya ada bersama Tuhan (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Op.Cit., hlm.37).

Dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam semesta tidak dapat dipahami dalam dua kutub yang saling bertentangan, yaitu pemahaman bahwa alam semesta ini diciptakan secara langsung, tetapi serentak alam semesta juga bersifat abadi, azali. Ibnu Rusyd secara tegas menandaskan bahwa pertentangan ekstrem semacam itu mustahil terjadi.Dengan tetap berpegang teguh pada konsepsinya tentang alam semesta secara keseluruhan, Ibnu Rusyd secara mengagumkan melontarkan pemikirannya bahwa segala sesuatu yang ada di luar waktun (abadi) mustahil terwujud oleh sesuatu selain dirinya sendiri, dan segala sesuatu yang tercipta di luar dirinya niscaya terbatas.

Dari uraian di atas, dalam konteks ruang dan waktu, tampak jelas bahwa Ibnu Rusyd dalam konsepsinya berupaya konsisten dengan gagasan keazalian alam dan Tuhan. Konsepsi Ibnu Rusyd perihal ruang dan waktu ternyata mampu mengantar pada suatu pemahaman bahwa ruang dan waktu merupakan kontinuitas transformatif yang bereksistensi sejak keabadian, karena alam semesta itu sendiri bersifat abadi, tanpa permulaan dan tiada akan berkesudahan. Jika alam semesta dipahami sebagai yang azali, maka mustahil jika alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari, karena waktu itu sendiri adalah ukuran perubahan alam semesta. Bagi Ibnu Rusyd, penciptaan alam semesta dalam kurun waktu enam hari merupakan isyarat bahwa eksistensi alam semesta terbatas (finite). Sementara, alam semesta menurut Ibnu Rusyd tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai kontinuitas transformatif yang bersifat azali. Oleh karena semesta alam tidak berawal dan berakhir, maka ruang dan waktu pun tiada berawal dan tiada berakhir. Dengan kata lain, keberadaan ruang dan waktu harus dipahami sebagai ada bersama Tuhan dan alam semesta.

2.3.2. Waktu dan Keputusan Tuhan

Ibnu Rusyd rupanya tidak hanya menelorkan konsepsi tentang ruang dan waktu, melainkan beliau juga menyatakan bahwa dalam peristiwa penciptaan tidaklah mungkin terjadi jeda waktu (gap in time), antara pertimbangan dan pelaksanaan tindakan Tuhan secara actual. Robert L. Arington dalam bukunya “A Companion to the Philosophers” mensitir gagasan Ibnu Rusyd dan menuliskannya sebagai berikut:

“Averoes replies that are important differences between God and human beings as agents. We can decide to do something and than do it, yet for God there is no time between His decision and His action, and indeed the very notion of God making decision implies that He has changed His mind about something, which involve change in unchangeable being. An Omnipotent God does not need to think about what to do before acting, since there is no accessity for Him to wait in order to bring something about. Why should God create the world at one particular time since all times are the same for Him? How could God create the world at a particular time since the world was created and motion started there was no time?” (Robert L. Arington, A Companion to the Pilosophers, Malden, USA, Blackwell Publisher Inc.,1999, hlm.667-8).

Pemahaman Ibnu Rusyd akan ketiadaan jeda waktu, sebagaimana tampak juga dalam kutipan di atas, tidak lain merupakan konsekuensi logis atas konsepsi dan argumentasinya perihal ruang dan waktu; serta pemahaman beliau yang tanpa sekat dan batas atas Al-Qur’an, terutama dari Surat Hud ayat 7. Ibnu Rusyd melihat bahwa alam semesta merupakan realitas tercipta yang sangat layak. Karenanya, tak ada satu pun alasan yang bisa menjelaskan tertundanya tindak penciptaan oleh Tuhan, wujud yang Mahakuasa dan Mahasempurna itu ( Oliver Leman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit., hlm.65-66).

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jeda antara pertimbangan dan pelaksanaan suatu tindakan actual oleh Tuhan sangatlah mustahil. Kalaupun ada jeda waktu sebelum alam semesta diciptakan, waktu itu sendiri tidak sama dengan waktu yang kita pahami, tidak sama dengan waktu particular yang kita pahami sekarang. Hal ini harus didasarkan kembali pada suatu pemahaman bahwa waktu itu sendiri pada hakikatnya merupakan ukuran perubahan peristiwa yang terjadi dalam alam semesta. Oleh karena waktu merupakan ukuran perubahan peristiwa dalam alam semesta, maka sebelum alam semesta ini tercipta, waktu itu tidaklah bermakna, karena belum ada perubahan dalam alam semesta. Atau jika tidak ada waktu sebelum penciptaan alam semesta, waktu permulaan alam semesta pun tiada bermakna.

Ibnu Rusyd juga menambahkan bahwa di dalam persoalan pertimbangan Tuhan untuk menciptakan atau tidak menciptakan alam semesta, Tuhan tidak dihadapkan pada pilihan tertentu. Dalam penciptaan semesta alam, Tuhan lebih dihadapkan pada kemungkinan menciptakan kehidupan dengan segala sesuatu yang terkait di dalamnya. Segala sesuatu yang terkait di dalam penciptaan harus dipahami sebagai baik adanya. Kalo segala sesuatu itu baik adanya bagi alam semesta, seperti “keberadaan” kita ini lebih baik dari pada “ketiadaan” kita , maka sangatlah mungkin bahwa keberadaan alam semesta dengan masa yang lebih panjang adalah lebih baik (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit.,hlm 66). Selain itu, rupanya Ibnu Rusyd kembali mau menunjukkan bahwa Tuhan itu tidak pernah bertindak atau bertobat secara langsung dalam lingkup ruang dan waktu. Juga dalam hal penciptaan alam semesta, Tuhan tidak pernah dapat dikaitkan dengan suatu pilihan tertentu, bahkan harus dikatakan bahwa Tuhan tidak pernah membuat keputusan secara kekal.

Zat yang bersifat kekal tidaklah mungkin menjadi sebab kejadian-kejadian temporal dan tidak kekal, tidak azali. Tetapi seluruh rangkaian atau peristiwa yang bersifat abadi benar-benar disebabkan oleh apa yang ada yang bersifat kekal, yang juga bertindak secara menyeluruh. Zat yang bersifat kekal semacam inilah, yang bagi Ibnu Rusyd, hanya pantas dikenakan bagi Tuhan. Tuhan benar-benar merupakan Penyebab Pokok, dalam artian bahwa Dia menyebabkan dan mendatangkan apa yang disebabkan serentak dengan keberadaannya sendiri. Demikian juga halnya dengan waktu, karena waktu merupakan bagian alam semesta, maka waktu pun harus dipahami sebagai yang azali, karena keberadaannya serentak dengan keberadaan Tuhan.

2.4. Keazalian Alam: Konsekuensi Logis Hubungan Alam dengan Tuhan

Dari teori emanasi yang pernah saya paparkan sebelum topik pembahasan ini, tampak bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan, bukan ada begitu saja, bukan juga diciptakan dari ketiadaan. Karena alam semesta ini melimpah dari atau meleleh dari Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan atau dari zat lainnya, maka mesti diterima bahwa alam semesta dan Tuhan memiliki hubungan yang bersifat mutlak dan harus. Dengan kata lain, hubungan alam semesta dengan Tuhan itu bersifat azali, abadi, sudah dari kekal hingga kekal, tiada berawal dan tiada berakhir.

Dasar pemikiran yang menunjukkan adanya hubungan alam semesta dengan Tuhan yang bersifat harus dan mutlak ini diuraikan oleh Ibnu Rusyd dengan ide yang begitu cemerlang. Menurut Ibnu Rusyd, alam semesta ini pada dasarnya azali, tanpa permulaan dan tanpa berkesudahannya. Karena itu, yang azali tidak hanya Tuhan, melainkan juga alam semesta. Hanya saja, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazaliaan alam semesta. Keazalian Tuhan adalah keazalian tanpa sebab selain dari Tuhan itu sendiri. Sedangkan keazalian alam semesta adalah keasalian yang disebabkan oleh sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri, yaitu Tuhan yang azali. Namun, keazalian Tuhan di sini juga sudah sejak kekal meresap ke dalam alam semesta, dan bahkan telah menjadi hakikat alam semesta, yakni alam yang azali (Drs. H. Hasbulah Bahkry, SH., Op. Cit. hlm.70).

Untuk memperkuat pendapatnya, Ibnu Rusyd mengajukan argumentasi yang rasional, dengan berlandaskan pada pemahaman akan hubungan sebab-akibat. Dia mengatakan bahwa seandainya alam semesta ini tidak azali, ada awal dan akhir, maka semesta ini selalu hadits, baru. Kalo alam semesta ini hakikatnya baru, maka mesti ada yang menjadikannya baru. Lalu, yang menjadikan alam semesta ini baru harus ada pula yang menjadikannya. Kalo dipahami seperti ini, maka alam semesta ini tidak akan ditemukan penyebabnya, karena penalaran semacam ini tidak akan pernah ada habisnya, tidak akan pernah memberikan jawaban rasional yang dapat dipahami. Keadaan yang berantai-rantai demikian itu, dengan tiada putus-putusnya, akan menjadi hal yang tidak akan pernah dapat diterima secara rasional. Jadi, mustahil kalo alam semesta itu baru, hadits. Alam semesta ini memang sesungguhnya azali, kekal, tiada berawal, dan tiada berkesudahan, sesuatu yang sejak kekal hingga kekal diresapi proses kekal, proses yang terus-menerus.

Selain argumentasi yang telah diuraikan di atas, Ibnu Rusyd juga mengajukan argumentasi mengenai keazalian alam semesta ini dalam kaitannya dengan pengetahuan Tuhan terhadap realitas alam semesta ini dalam kaitannya dengan pengetahuan Tuhan terhadap realitas alam semesta ini. Ibnu Rusyd melihat hubungan antara Tuhan dan alam semesta kendati tidak secara detail dan Tuhan tidak memiliki hubungan secara langsung dengan realitas-realitas particular di alam semesta ini. Dalam kaitannya dengan persoalan hubungan antara Tuhan dan alam semesta, sudah merupakan keharusan bagi Tuhan bahwa alam semesta Dia harus mengemanasikan alam semesta sejak keazalian. Segala sesuatu yang teremanasi dari Tuhan memiliki hakikat Tuhan dalam konteks waktu, yakni keazalian.

Karena Tuhan dengan alam semesta ini ada hubungan yang bersifat harus dan mutlak, maka alam semesta sudah merupakan keharusan terdalam alam semesta, untuk berada dalam keterkaitan dengan Tuhan yang azali. Bahkan keterkaitan ini sesungguhnya bersifat azali. Jadi, keazali alam semesta dan keazalian Tuhan tidak bisa dipisahkan, kendati keazalian keduanya berbeda. Khususnya keazalian alam semesta, tidaklah mungkin kalau tidak dalam keterkaitannya dengan Tuhan yang azali.

2.5. Rangkuman

Kata azali harus dipahami dalam keterkaitannya dengan penciptaan, ruang, Tuhan, dan alam. Kata azali berarti abadi, kekal, tiada berawal dan tiada akan berkesudahan. Keazalian sendiri merupakan wadah di mana form dan wujud dengan semua karakter dari segala sesuatu terbentuk dan ada. Dikatakan demikian, karena dalam keazalian ini apa pun tidak akan pernah musnah, selalu azali sebab berada dalam wadah yang azali, yaitu keazalian.

Ibnu Rusyd sendiri memahami waktu sebagai ukuran perubahan alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak keazalian sebagai ukuran perubahan alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak keazalian sebagai kontinuitas transformatif tanpa adanya penyelangan waktu. Ruang dan waktu disebabkan oleh Tuhan tanpa adanya durasi. Ruang dan waktu bukan merupakan realitas susulan yang keberadaannya baru kemudian setelah Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta ini.Kontinuitas transformatif waktu itu sendiri bagi Ibnu Rusyd merupakan karakter khusus, yang kerap kali ia pergunakan sebagai isyarat bentuk yang meruang (spatialized form), karena dalam bentuk itulah, kodrat perubahan alam mungkin terjadi dan bentuk berjasad pun dapat dialami.

Menurut Ibnu Rusyd, setiap benda memiliki kemungkinan untuk berubah, karena setiap benda bernyawa. Karena benda bernyawa, maka benda itu pun berakal sesuai sesuai dengan keadaan dan bentuknya sendiri. Hal ini berarti, akal itu sendiri pun mempunyai daya untuk mengenal dirinya sendiri dan hal-hal lain dengan keberadaannya. Akal di sini merupakan isyarat gerak yang menimbulkan perubahan, berganti roman dan bersalin rupa sepanjang zaman dan tiada akan pernah berkesudahan. Gerak yang terus-menerus dan tiada akan berkesudahan ini senantiasa menjadikan apa yang bersifat potensi menjadi wujud yang nyata dan potensi itu tetap menjadi hakikat terdalam dari alam semesta. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd melihat bahwa peristiwa “jadi” dan “musnah”, yang merupakan fakta hidup sehari-hari, tidak lain sebagai akaibat dari gerakan azali. Karena gerakan bersifat azali, maka peristiwa “jadi” dan “musnah” pun akan bersifat azali pula. Hanya dengan cara demikian, maka alam semesta tidak akan pernah mengalami apa yang dikatakan sebagai kekosongan. Dasar pemikiran Ibnu Rusyd mengenai keazalian alam semesta, dalam konteks ini, tidak lain merupakan semua gerak , energi, dan creative power dalam alam semesta itu sendiri, yang aktif secara terus-menerus; tanpa diketaui awalnya dan tiada akan berkesudahan. Persoalan pergantian wujud itu sendiri merupakan persoalan yang terkait dengan hakikat realitas semesta alam dengan creative power yang disertakan Tuhan bagi alam semesta itu sendiri, yang secara terus-menerus menimbulkan gerak azali. Creative Power, yang ada dalam tiap wujud itu tentunya dalam alur pemikiran Ibnu Rusyd ada dan aktif hanya dalam keterkaitannya dengan creative power yang Universal, Pertama, dan Tunggal, yaitu Tuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakikat alam semesta merupakan creative power yang menimbulkan proses terus-menerus dalam alam semesta. Karenanya, alam semesta ini dikatakan bersifat azali, tiada berawal dan tiada berkesudahan, kekal dan abadi.

Hubungan alam semesta dengan Tuhan sendiri harus dipahami sebagai hubungan yang bersifat harus dan mutlak. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan. Dengan kata lain, hubungan antara alam dan Tuhan tersebut bersifat azali, abadi, sudah dari kekal hingga kekal, tiada berawal dan tiada akan berakhir. Jadi, alam semesta dikatakan azali karena dikaitkan dengan Tuhan. Alam semesta terkait dengan Tuhan karena alam semesta teremanasi dari Tuhan melalui gerak yang ditimbulkan Tuhan sejak azali, tiada berawal dan tiada akan berkesudahan. Sesuatu yang diemanasikan harus dipahami mutlak berada dalam keterkaitan dengan yang mengemanasikannya. Dengan demikian, alam semesta yang teremanasi dari Tuhan mutlak dan menjadi keharusan terdalam alam semesta itu, untuk berada dalam keterkaitan dengan Tuhan yang azali. Alam semesta harus dipahami sebagai ada bersama Tuhan. Eksistensi alam semesta dan Tuhan itu bersifat azali, karenanya keazalian alam dan Tuhan tidak akan pernah bisa dipisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

ABIDIN AHMAD, ZAINAL. 1975. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd. Jakarta:Bulan Bintang

AMIN HOESIN, Oemar. 1964. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang

BAKRY, Hasbullah. 1978. Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tinta Mas

Daudy, Ahmad. 1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

LEAMAN, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan

----------------------2002. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. (Penerjemah Musa Kazhim). Bandung: Mizan

HITTI,Philip K. 1956. History of The Arab. New York: Princeton University Press

JURJI, Edward J. 1990. The Great Religious of The Modern World. New Jersey: Princeton University Press.

ARRINGTON, Robert L. 1999. A Companion to Philosophers. Malden:Blackwell Publisher Inc.

Shushtery, A.M.A. 1938. outlines of Islamic Culture. Vol.II. Bangalore City: The Bangalore Press.

0 komentar: