Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Arro'yu Ibnu Rusyd 'anil azalil 'alam wa Ilahiyah

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah).


2.1. Pengertian Keazalian

Kata dasar keazalian adalah azali. Dalam kamus dan ensiklopedi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris tidak ditemukan kata azali. Karena itu, etimologi kata “azali” sulit dilacak. Namun, bila kita membaca buku-buku yang memuat Filsafat Islam seing dipakai khususnya dalam Filsafat tentang penciptaan, ruang, waktu, Tuhan dan Alam. Kita sudah mengenal bahwa Filsafat Islam itu berpusat di Arab. Karena itu, dapat diduga bahwa kata azali berasal dari Bahasa Arab.

Setelah saya berupaya memahami pemikiran Ibnu Rusyd, salah satu filsuf skolastik Islam, saya melihat bahwa kata azali terkait erat dengan persoalan waktu. Dari alur pemikiran Ibnu Rusyd dapat ditangkap bahwa keazalian berarti keabadian, kekekalan, tiada berawal dan tiada berakhir (Drs. Hasbulah Bakry, Op.Cit.,hlm.69-70. Lihat juga Qemar Amin Hoesin, Op.Cit: hlm.365-366.). Kata azali yang berarti keabadian, kekekalan, tiada berawal, dan tiada berkesudahan di sini, rupanya tidak hanya berkaitan dengan keberadaan dari sesuatu yang tidak akan pernah musnah, tetapi juga soal asal-usul dari sesuatu yang ada. Karena itu, kata keazalian berarti juga tidak berawal dan tidak berkesudahan, dari kekal hingga kekal. Dengan demikian, keazalian juga menyangkut segala sesuatu serta proses yang memungkinkan dan menyetai terjadinya segala sesuatu.

Dalam filsafat tentang Alam dan Tuhan, Ibnu Rusyd melihat bahwa alam dan Tuhan itu bersifat azali, abadi, yang berarti tidak berawal dan tiada kan berakhir. Sekilas, pernyataan ini tidak koresponden dengan kenyataan alam. Bagaimanapun, realitas particular tertentu di alam ini (terutama realitas material) pada kenyataannya musnah juga, seperti kematian manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dari kenyataan ini, alam rupanya tidak bisa dikatakan sebagai azali.

Namun demikian, pemahaman Ibnu Rusyd mengenai keazalian tidak bisa dibantah begitu saja hanya dengan alasan sederhana seperti itu. Ibnu Rusyd yang memakai kata azali sebenarnya mau bicara soal hakikat terdalam dari segala-sesuatu, yaitu potensi kreatif yang menyebabkan dan menyertai segala sesuatu, entah sebagai totalitas maupun sebagai realitas yang particular. Dari pemahaman seperti ini, kata azali sebetulnya juga menunjuk karakter universal segala sesuatu. Di sini saya memahami bahwa Ibnu Rusyd melihat adanya “creative power” universal, yang memungkinkan terjadinya dan menyertai alam semesta dengan segala karakternya, termasuk perubahan-perubahan alam particular, bahkan juga soal peristiwa kemusnahan suatu realitas dalam alam semesta ini.

Jadi, keazalian berarti keabadian, kekekalan, dan secara negatif, keazalian berarti tiadaberawal dan berakhir, tidak kontingen dan juga tidak berdurasi. Dari uraian di atas, keazalian merupakan wadah di mana form dan wujud dengan semua karakter dari segala sesuatu terbentuk dan ada. Dengan demikian, keazalian juga merupakan hakikat terdalam dari segala sesuatu. Dikatakan demikian, karena dalam keazalian ini, apa pun tidak akan pernah musnah dan selalu azali, karena berada dalam wadah azali, yaitu keazalian.

2.2. Keazalian Alam dan Tuhan dalam Kaitannya dengan Gerak.

Dalam pemikiran Ibnu Rusyd, antara gerak, alam, dan Tuhan tidak bisa dipisahkan. Dalam proses penciptaan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan alam semesta secara langsung. Posisi Tuhan terhadap alam adalah sebagai perantara. Posisi sebagai pengantara inilah yang menyebabkan adanya gerak. Dengan demikian, Tuhan merupakan sumber gerak, akan tetapi bukan Tuhan yang bekerja menjadikan alam (Dr. Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1964, hlm.365-366). Tuhan sebagai sumber gerak tidak bergerak dan tidak ada yang menggerakkannya. Tuhan adalah Penyebab Pertama dan Utama, Tuhan hanyalah menyebabkan gerak pada akal pertama saja. Sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya yang menimbulkan berbagai peristiwa di alam ini disebabkan oleh akal-akal selanjutnya. Akal-akal selanjutnya yang dimaksud di sini sebenarnya merupakan “creative power”, yang menyertai alam semesta sebagai totalitas maupun menyertai setiap realitas particular di alam semesta ini. Karena itu, peristiwa atau kejadian apapun di alam ini bukanlah akibat langsung dari tindakan Tuhan. Alam semesta, sebagai totalitas maupun realitas particular di dalamnya, berproses dengan creative power yang terkandung di dalamnya, tanpa campur tangan langsung dari Tuhan. Adanya creative power dalam alam itu sendiri menjadi dasar dari gerak alam semesta , yang mendorong dan membentuk karakter alam semesta dan realitas particular yang ada di dalamnya.

Kalo gerak itu dipahami sebagai energi atau daya kreatif, maka hakikat dalam materi itu adalah energi. Hal ini sangat jelas, ketika Ibnu Rusyd menyatakan bahwa segala bendaadalah potensi yang bersifat universal. Setiap benda mengandung energi yang membentuk dirinya sendiri (Ibid.,hlm366). Karena setiap benda mengandung energi, maka setiap benda memiliki gerak dan gerakan itu memiliki dua arah, yaitu gerak di dalam dirinya sendiri dan gerak terhadap benda-benda lainnya (Ibid.). Dalam konteks ini, Shushtery menerangkan pemikiran Ibnu Rusyd secara gamblang:

Matter as universal potency, contain in itself the capacity of taking form. Both matter and form are eternal and necessary to each other. The highest sphere is immaterial and permanent. It does not revolve as considered by other scholars, but the apparent mation is connected with the star fixed in it. The heaven of the planets, on the other hand, has two mations; one particular to each planet and the other its daily movement. Sun and the stars contribute to life on earth by their warmth (A.M.A. Shushtery, Outline of Islamic Culture, VOL. II., Banggalore City, The Bangalore Press, 1938, hlm.436).

Gerakan adalah suatu akibat, karena tiap-tiap gerakan senantiasa mempunyai sebab menggerakkan yang mendahuluinya. Kalo kita mencari sebab itu, maka akan kita temui sebab penggeraknya. Begitu seterusnya, dan tidak mungkin berhenti. Karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk menganggap bahwa sebab yang terdahulu atau yang pertama itu adalah sesuatu yang tidak bergerak. Suatu gerak yang tiada awal dan tiada akhir yang merupakan penggerak utama, “Prima-Causa” yang hanya pantas dikenakan bagi Tuhan.

Karena Penggerak Utama (Tuhan) ini tidak berawal dan tidak berakhir, maka Tuhan pada hakikatnya azali, tiada berawal dan tiada berakhir, kekal ada-Nya. Dalam teori emanasi yang pernah saya uraikan, kita telah melihat bahwa Tuhan yang sempurna dan esa mengemanasi alam semesta, tanpa membutuhkan perantara dari sesuatu yang lain, selain diri-Nya sendiri. Tuhan yang menggerakkan itu sebenarnya adalah Tuhan yang mengemanasikan diri-Nya , sehingga terbentuk alam semesta dengan potensi dan karakternya. Maka di sini, Tuhan itulah yang memberikan creative power pada alam semesta dengan seluruh realitas particular yang ada di dalamnya. Tuhan yang memberi creative power berarti Tuhan yang memberikan daya aktif dan hidup pada alam semesta. Karena itu, lebih lanjut Ibnu Rusyd mengatakan bahwa setiap benda mempunyai ‘kemungkinan ‘ bahkan setiap benda bernyawa. Karena benda bernyawa, maka benda itu pun berakal sesuai dengan keadaan dan bentuknya sendiri (Op.Cit., hlm.366). Itu berarti bahwa akal itu sendiri mempunyai daya untuk mengenal dirinya sendiri dan hal-hal lain dengan keadaannya. Akal di sini merupakan isyarat gerak yang menimbulkan perubahan , nerganti roman dan berganti rupa sepanjang jaman yangtiada hentinya.

Gerak yang menimbulkan perubahan berganti roman dan bersalin rupa di sini tidak berarti bahwa alam semesta itu bersifat baru (hadits), karena bentuk alam semesta itu benar-benar mempunyai sumber asal-usulnya, yaitu Tuhan. Namun, alam semesta dalam kaitannya dengan waktu sendiri berkembang secara terus-menerus dalam kedua kutub yang ekstrem, yaitu tanpa ada proses penyelangan waktu (Oliver Leaman, Op.Cit.,hlm 35). Alam terus menerus berubah, tetapi alam serentak bersifat azali. Nah, itu berarti bahwa alam semesta karena hakikatnya yang berubah dan berkembang secara terus-menerus, tanpa penyelangan waktu, menunjukkan karakter keazalian alam semesta. Alam semesta secara hakiki tidak bersifat hadits (baru, kontingen), melainkan azali, kekal, dan abadi, karena teremanasi dari yang azali dan kekal, yaitu Tuhan sebagai Penggerak Pertama dan Utama. Maka kita sebetulnya dapat mengatakan bahwa alam semesta ini tidak azali, baru, sebab azali selalu berarti tiada berawal dan tiada berakhir. Terhadap persoalan ini, Ibnu Rusyd mengembangkan argumentasinya dengan mendasarkan diri pada beberapa ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan sedemikian rupa untuk dijadikan landasan teologid bagi pemikirannya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dipakainya sebagai landasan pemikiran, antara lain sebagai berikut. Ibnu Rusyd mengemukakan Al-Qur’an ayat 7 dari surah Hud yang berbunyi: “ Allah itulah yang menjadikan beberapa langit dan bumi dalam waktu enam hari, dan tahtanya di atas air”. Ibnu Rusyd menafsirkan bahwa memang ayat itu membenarkan pemahaman bahwa alam semesta merupakan realitas yang dijadikan oleh Tuhan. Tetapi di samping itu, ayat ini memberi kesan pula sebelum ada langit dan bumi ini, sudah ada zaman dan zaman itu merupakan wadah dari alam semesta ini. Selain itu, ayat ini juga dapat memberi kesan bahwa sebelum ada langit dan bumi, sudah ada tahta dan air. Berkaitan dengan tafsiran ayat ini, kita perlu melihat kembali arti alam menurut pemikiran Ibnu Rusyd. Kita sudah mengetahui bahwa Ibnu Rusyd memahami alam sebagai totalitas eksistensi dan potensi terpadu. Hal itu berarti bahwa alam sudah termasuk air, tahta, ruang, dan waktu.Kenyatannya, dalam Al-Qur’an tampak jelas bahwa sebelum langit dan bumi dijadikan sudah ada waktu,tahta dan air yang semuanya termasuk alam semesta. Dengan demikian, alam semesta sebenarnya terbentuk bukan dari “ketiadaan”, dan dari zaman tertentu, melainkan dari kekal, sejak azali. Karena itu, wujud dan bentuk alam ini keseluruhannya sebetulnya bersifat azali, tiada berawal dan tiada berakhir.

Selain ayat di atas, Ibnu Rusyd juga mengemukakan juga ayat 48 dari Surat Ibrahim yang berbunyi: “ Pada hari bumi ini diganti dengan bumi yang lain, demikian pula langit, menghadaplah keduanya ke hadirat Allah yang Mahaesa dan mengerasi”. Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini kalo ditafsirkan akan menunjukkan kesan bahwa dalam kejadian alam semesta ini ada kelangsungan, pergantian. Hal ini tidak berarti bahwa alam semesta ini hadits (baru). Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ibnu Rusyd kembali mengutip Al-Qur’an ayat 11 dari Surat Fushshilat yang berbunyi : “ Kemudian Allah menuju ke langit yang ketika itu sebagai asap, lalu katanya kepada langit dan bumi: Datanglah kamu berdua, baik dengan suka hati ataupun terpaksa. Menyahutlah keduanya: kami datang dengan penuh kesukaan”. Ibnu Rusyd menyatakan, dari ayat ini dapat diambil kesan bahwa wujud alam itu adalah azali sedangkan yang baru itu hanyalah pergantian bentuknya (Drs. H. Hasbullah Bakhry, SH., Op.Cit., hlm. 71-72).

Kalau dilihat secara cermat, sebenarnya dasar pemikiran Ibnu Rusyd mengenai keazalian alam semesta dalam konteks ini adalah semua gerak, energi, creative power dalam alam semesta yang aktif secara terus-menerus, tanpa diketahui awalnya dan tiada akan berkesudahan, dan tiada akan pernah berhenti. Persoalan pergantian wujud itu merupakan persoalan hakikat realitas alam semesta, yang sebenarnya dimungkinkan oleh keterpautan totalitas alam semesta itu dengan creative power yang terkandung di dalam dirinya sendiri, yang terus menerus menimbulkan gerak. Creative Power alam semesta itu tentunya, menurut alur pemikiran Ibnu Rusyd, ada dan aktif hanya dalam keterkaitannya dengan Creative Power yang universal, Pertama, dan Tunggal, yaitu Tuhan. Dapat dikatakan bahwa karena hakikat alam semesrta adalah potensi kreatif (Creative Power), yang menimbulkan proses terus menerus pada alam semesta, maka alam semesta ini bersifat azali, tiada berawal dan tiada berkesudahan, kekal dan abadi.

2.3. Keazalian Alam dan Tuhan dalam Kaitannya dengan Ruang dan Waktu

Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf Islam. Kita tahu bahwa bagi umat Islam, Al-Qur’an tidak hanya diyakini sebagai Buku Suci yang memuat hal-hal yang terkait dengan perkara spiritual belaka, akan tetapi Al-Qur’an juga dipercaya sebagai sumber dan gudang ilmu pegetahuan. Al-Qur’an diyakini memuat jawaban-jawaban fundamental serta difinitif atas persoalan-persoalan ketuhanan, alam, dan manusia. Al-Qur’an memuat hal-hal yang begitu kompleks. Karena itu, pemahaman yang benar dan tepat atas isi Al-Qur’an menjadi tuntutan yang sangat mendasar. Ibnu Rusyd sendiri melihat, terutama bagi kaum intelektual, isi Al-Qur’an mesti ditafsir dan dikaji secara rasional agar dapat dipahami secara benar dan tepat sehingga bermakna bagi petualangan hidup manusia. Bahkan Ibnu Rusyd sendiri menyatakan bahwa tidaklah benar bagi seorang intelektual memahami isi Al-Qur’an secara literal, tanpa ditafsir dan dikaji secara rasional. Tentang isi Al- Qur’an, Ibnu Rusyd berpendirian bahwa Al-Qur’an merupakan buku yang diturunkan oleh Allah untuk seluruh manusia. Oleh karena manusia memiliki tingkat-tongkat tertentu dalam pengetahuan, ada yang berilmu dan ada yang bodoh, maka pengertian atas isi Al-Qur’an pun sudah barang tentu bertingkat-tingkat pula, menurut tingkat pemahaman seseorang. Ibnu Rusyd membagi tingkat pengertian atas Al-Qur’an menjadi dua kategori: pertama, Al-Qur’an bagi orang illiteral (orang awam) harus ditafsir secara literal. Artinya, bagi orang awam, Al-Qur’an harus dikemas dan disajikan berdasarkan bunyi serta cara mereka berpikir. Kedua, Al-Qur’an bagi orang literal (kaum terpelajar atau kaum intelektual), Al-Qur’an harus dilihat secara alegoris atau secara kiasan , menurut tingkat ilmu pengetahuan kaum intelektual (lih. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Op. Cit., hlm.160).

Dalam peristiwa penciptaan alam semesta, dalam kaitannya dengan ruang dan waktu, Al-Qur’an memang menyajikan informasi perihal penciptaan alan semesta (langit dan bumi) yang dijadikan Tuhan dalam waktu 6 (enam) hari. Dinyatakan juga bahwa alam semesta bertahta di atas air. Terkait dengan penciptaan alam semesta ini, kita dapat melihat Kitab Suci Al-Qur’an dalam Surat Hud ayat 7 yang berbunyi :” Allah itulah yang menjadikan langit dan bumi dalam waktu enam hari, dan arasynya (tahtanya) di atas air (Lihat Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia). Informasi mndasar dalam Al-Qur’an itulah yang dijadikan Ibnu Rusyd untuk memahami peristiwa penciptaan alam semesta dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu. Sebagai seorang filsuf, Ibnu Rusyd sedikit mengesampingkan arti literal Ayat Suci Al-Qur’an tersebut dan lebih condong untuk memahami secara alegoris informasi yang terdapat dalam Ayat Suci Al-Qur’an perihal penciptaan alam semesta, dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu. Ibnu Rusyd tidak begitu saja menerima dan meyakini pernyataan Al-Qur’an itu sebagai ungkapan yang dapat dijadikan representasi realitas peristiwa penciptaan alam semesta ini oleh Tuhan. Bahasa yang dipergunakan dalam Al-Qur’an bagi Ibnu Rusyd merupakan bahasa alegoris yang tidak bisa diterima begitu saja, tanpa adanya penafsiran dan pengkajian secara rasional.

Untuk itu, Ibnu Rusyd perlu melihat secara jeli dan kritis peristiwa penciptaan alam semesta dan keterkaitannya dengan ruang dan waktu serta sangat berkepentingan sekali untuk mengajukan beberapa pertnyaan mendasar yang dirasakannya mampu membawa pada suatu pemahaman yang sejati, akan hakikat peristiwa alam semesta dalam kaitannya dengan ruang dan waktu. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang Ibnu Rusyd lontarkan adalah sebagai berikut: Pertama, apakah waktu itu sudah ada sebelum Tuhan menciptakan alam semesta ini, ataukah waktu itu dimulai dari hari pertama dari keenam hari sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an? Apakah kita tidak dapat membayangkan waktu sebelum adanya waktu seperti yang kita pahami sekarang manakala Tuhan ada bersama dengan waktu itu? Kedua, apakah dalam proses penciptaan alam semesta ini, ada saat di mana Tuhan harus menunggu saat yang tepat untuk mencipta?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang Ibnu Rusyd munculkan di atas, rupanya tidak mendapat jawaban yang memadai secara rasional dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Ayat Suci Al-Qur’an rupanya tidak memberikan jawaban yang pasti dan meyakinkan berkaitan dengan peristiwa penciptaan alam semesta dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu. Bahasa Al-Qur’an perihal ruang dan waktu itu tetap mengundang banyak interpretasi yang mungkin timbul (Lih. Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit. hlm.33).. Kenyataan seperti inilah yang mendorong Ibnu Rusyd untuk berpetualang dengan pemikirannya dalam rangka memahami hakikat alam semesta dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu.

0 komentar: