Islam Come's With Peace

We Are Moeslem Comunity

Kunci Kepribadian : Refleksi Terhadap Seri Jenius-Jenius Islam Karya Al Aqqad

Buku itu ibarat teman dialog, bahkan Descartes (yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern) mengatakan membaca buku itu sama halnya dengan berdialog dengan pemikir-pemikir dari masa kini dan lampau (lihat bukunya : Risalah Tentang Metode). Salah satu kenikmatan hidup adalah nikmat pengetahuan, kenikmatan berjumpa dengan pikiran-pikiran besar yang memberi pencerahan dalam diri kita; bahkan salah satu do’a yang tercantum dalam al Quran adalah do’a agar ditambahkan pengetahuan kepada diri kita (Robbi zidni ‘ilman).

Membaca seri kejeniusan para pahlawan Islam karya Abbas Mahmud Al Aqqad ini memberi kita banyak inspirasi, wawasan yang menarik mengenai kepribadian para pahlawan itu. Tidak hanya wawasan saja, seri ini juga membekali kita dengan konsep-konsep metodologis dalam memahami biografi orang-orang besar dan kejadian-kejadian sejarah.

Abbas Mahmud Al Aqqad merupakan pemikir dan sastrawan Mesir yang besar pengaruhnya. Ia merupakan salah satu guru Sayyid Quthb dalam sastra. Seri biografi ini merupakan seri biografi tokoh-tokoh Islam. Di Indonesia sebenarnya seri ini sudah lama dikenal. Sepengetahuan saya penerbit Bulan Bintang telah menerjemahkan seri biografi ini diantaranya : Keagungan Abu Bakar Shidiq, Keagungan Umar bin Khatab, Kedermawanan Ustman bin Affan, Ketaqwaan Ali bin Abi Thalib, dan Kepahlawanan Khalid bin Walid, serta Fatimah Zahra’ Ibunda Para Syuhada’; yang terbit (kalau tidak salah) akhir tahun 70-an dan awal 80-an. Selain seri biografi ini, Bulan Bintang juga menerbitkan beberapa buku al Aqqad yang lain, seperti Tuhan di Segala Zaman dan Wanita dalam Al Quran. Penerbit Pustaka Mantiq dari Solo juga pernah menebitkan seri ini diantaranya, Keaguangan Abu Bakar, Keaguangan Umar bin Khatab, Keagungan Ali bin Abi Thalib dan Bilal Muadzin Rasul (tahun akhir 80-an dan awal-awal 90-an). Baru-baru ini Pustaka Azzam menerbitkan dengan judul Kejeniusan Abu Bakar, Kejeniusan Umar, Kejeniusan Ustman, Kejeniusan Ali dan satu buku membahas mengenai Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Sebenarnya tidak semua seri biografi ini diberi tajuk Abqriyah (kejeniusan), biografi Ustman misalnya diberi tajuk Dzunnurain Ustman, Muadzin Rasul Bilal. Bahkan ada sebuah biografi yang ditulis Al Aqqad mengenai Mahatma Gandi.

Salah satu konsep metodologis yang digunakan oleh Al Aqqad dalam menganalisis kepribadian masing-masing tokoh adalah konsep kunci kepribadian. (dalam Kedermawanan Ustman, tidak ada bab mengenai kunci kepribadian ini). Ia mengibaratkan kunci kepribadian seperti kunci rumah yang bisa membuka semua ruang yang tersembunyi dalam rumah itu. Demikian, dengan kunci kepribadian kita dapat membuka/ memahami tampilan kepribadian yang membedakannya dari tokoh lain.

Para pahlawan Islam itu berakar pada keimanan yang sama, tentu dengan keutamaan mereka masing-masing; sebagaimana disebutkan utamanya keimanan Abu Bakar dibanding para sahabat lainnya. Tapi mereka menampilkan performa, tindakan, kebijakan, karakter, perilaku, kebiasaan, obsesi, sikap dan gerakan yang berbeda. Selain juga karena faktor sifat dasar yang mereka miliki, keluarga dan budaya yang membentuk semua itu; kunci kepribadian masing-masing tokoh berperan besar dalam memahami semua itu.

Demikianlah kita mendapati kekaguman terhadap kepahlawanan sebagai kunci kepribadian Abu Bakar. Disiplin keprajuritan/ ketentaraan menjadi kunci kepribadian Umar bin Khatab, keprajuritan juga menjadi kunci kepribadian Khalid bin Walid. Walaupun memiliki dasar kunci kepribadian yang sama, antara Khalid dan Umar memberi tampilan yang berbeda; Umar dalam bentuk kewibawaan dan keadilan sedang Khalid dalam bentuk ekspansi dan dobrakan. Kepercayaan diri, harga diri prajurit berkuda menjadi kunci kepribadian Ali bin Abi Thalib.

Lapangan yang bisa kita pahami dengan menggunakan kunci kepribadian ini bisa meliputi lapangan sikap, kebijakan, performance juga pemikiran. Lihatlah perbedaan karakter Abu Bakar yang lembut dan karakter Umar yang keras, tapi perhatikan juga bagaimana situasi bisa berubah dalam kondisi yang berbeda. Perhatikan kepercayaan diri Ali di medan perang maupun di medan pemikiran. Lihatlah perbedaan antar Umar dan Khalid bin Walid, walaupun dibesarkan dalam kabilah yang sama, dengan penampilan yang hampir sama (tinggi besar, kekar, pandai berkuda) tetapi lapangan kejeniusan Umar berbeda dengan Khalid. Khalid sangat terkenal dengan kejeniusannya di peperangan-peperangan yang menentukan dalam sejarah Islam. Sedang kejeniusan Umar membentuk keadilan, administrasi dan penantaan khilafah Islam ketika itu.

Topik yang menarik yang diungkapkan Al Aqqad juga adalah mengenai kontras-kontras kepribadian antara dua tokoh; Abu Bakar dengan Umar; Umar dengan Khalid; Utsman dengan Khalifah pendahulunya. Secara fisik Abu Bakar berparas pendek, sedang Umar tinggi besar dengan kepala botak. Kontras antara Umar dengan Khalid. Hal yang juga menarik adalah kontras antara dua wujud perkembangan masyarakat di masa Abu Bakar, Umar dan masa Ustman. Ali. (Sejauh yang saya pahami dari buku mengenai Ustman dan Ali; al Aqqad cenderung mengafirmasi determinasi sosial (perubahan, evolusi masyarakat islam) ketika menjelaskan perubahan bentuk kekhilafahan kepada model kerajaan). Juga kontras antara spirit kedermawanan dan pengorbanan Husein bin Ali dan pragmatisme Yazid bin Muawiyah.

Komentar Krits atas Pemikiran Ibnu Rusyd

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah)


Inti konsep keazalian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd merupakan suatu upaya untuk memahami dan menyelami hakikat alam semesta, Tuhan dan manusia itu sendiri sebagai satu kesatuan antara yang spiritual dan material secara menyeluruh.Hakikat ketiga realitas itu identik dengan relasi hakiki antara ketiganya. Saya bermaksud untuk melihat secara kritis pemikiran Ibnu Rusyd, baik pandangannya maupun isi pokok konsepnya perihal keazalian alam dan Tuhan. Dengan berlandaskan pemikiran serta pemahaman Ibnu Rusyd, saya juga berupaya sedemikian rupa untuk melihat secara baru hakikat alam dan Tuhan dalam kaitannya dengan manusia sebagai satu kesatuan yang menyeluruh antara yang spiritual dan yang material. Dan dalam konteks ini, saya meminjam pemikiran Ibnu Rusyd untuk saya jadikan “pisau bedah”, dalam rangka menemukan makna hidup sehingga hidup dialami terasa lebih bermakna. Hal ini tetap mengandaikan suatu kesepakatan bahwa kehidupan yang tidak dikaji merupakan kehidupan yang tidak layk untuk dijalani.

Pemahaman Ibnu Rusyd sebagaimana telah saya paparkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, akhirnya juga berhasil membawa saya ke dalam suatu penafsiran baru atas alam dan Tuhan, terutama dalam kaitannya dengan praktek hidup manusia dewasa ini. Pemahaman saya terhadap konsep keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd pun, lebih lanjut mendorong saya untuk memahami alam dan Tuhan dari perspektif etis-ekologis. Karena menurut hemat saya, pespektif etis-ekologis perlu ditempatkan sebagai yang utama di saat bumi ini terancam ‘carut-marut’ dalam waktu yang singkat, apabila manusia tidak dapat menempatkan diri secara benar dalam kaitannya dengan relasi hakiki antar manusia itu sendiri, Tuhan dan alam semesta.

3.1. Karakter Pemikiran Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf abadi dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan beliau berhasil menempati posisi khusus dalam sejarah pemikiran dunia. Dalam rentang waktu yang cukup lama, filsafatnya dikaji secara mendalam di bumi eropa. Alhasil, pemikiran Ibnu Rusyd melahirkan sejumlah pengikut fanatik, yang dengan gagah berani dan tangguh mempertahankan serta membela pemikiran serta mazhabnya.

Seperti halnya filsuf-filsuf Islam lainnya, Ibnu Rusyd merasa perlu untuk mengusahakan paduan pemikiran antara filsafat Yunani dan filsafat Islam yang telah tersurat dalam Al-Qur’an. Dalam pemahaman ini, produk pemikiran Ibnu Rusyd merupakan hasil perpaduan antara ajaran Agama Islam dengan Filsafat Yunani. Fenomena ini sebenarnya merupakan suatu hal yang muskil, tetapi juga asli dalam Filsafat Islam( Dr. Ahmad Daudy, Op.Cit., hlm. 8).

Konsep keazalian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd sendiri menampilkan suatu pemikiran yang menurut hemat saya sangat cemerlang, mendalam, rasional dan unik. Hal ini muncul sebagai buah upaya Ibnu Rusyd untuk menampilkan hakikat keharmonisan antara konsepsi ajaran filosofis yang berlandaskan akal dengan konsepsi ajaran Islam yang berlandaskan wahyu. Konsepsi Ibnu Rusyd, atas alam dan Tuhan ini, tidak lain sebenarnya lahir dari upayanya yang mendalam untuk mengintegrasikan pemaknaan iman dan akal budi.

Persoalan mendasar perihal keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd sebenarnya bersumber pada kombinasi fundamental antara informasi teologis dengan informasi filosofis. Ibu Rusyd, dalam petualangan pemikirannya, berupaya menemukan titik koherensi terdalam, antara ide yang berkarakter teologis dengan ide yang berkarakter filosofis. Upaya ini sendiri didasarkan pada keyakinan Ibnu Rusyd sendiri bahwa Filsafat dan agama laksana dua saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan. Keyakinan ini diungkapkan dan dipertegas, saat Ibnu Rusyd berhadapan dengan pemikiran Al Gazali yang cenderung menolak filsafat secara berlebihan.(Lih. H. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit., hlm. 156-157.Bdk.Prof. K. Hitti, Op.Cit., hal. 580). Filsafat dan agama sama sekali tidak bertentangan menurut Ibnu Rusyd, bahkan tetap memiliki koherensi di dalam ide-idenya sejauh konsep-konsep teologis (Al-Qur’an) dipandang secara alegoris. Baginya, Al-Qur’an tidak bisa dipahami hanya dengan pola piker tertentu saja, atau hanya ditangkap berdasarkan arti literalnya. Makna Al-Qur’an musti dirasa secara rasional dan filosofis dibalik rangkaian kata-kata alegorisnya.

Menurut pemahaman saya, bagaimanapun logika pemikiran Ibnu Rusyd ini merupakan suatu logika yang konsumtif dalam memahami serta mencermati isi Al-Qur’an. Artinya, Ibnu Rusyd melihat isi Al-Qur’an bukan tanpa tujuan bagi hidup manusia. Al-Qur’an begitu kaya akan makna yang mendasar sehingga perlu dikonsumsi demi perkembangan hidup manusia itu sendiri.Nah, bila Al-Qur’an syarat dengan makna hidup yang mesti dikonsumsi manusia, maka ayat-ayat Al-Qur’an mesti diolah lebih dahulu agar dapat dikonsumsi sesuai kebutuhan manusia. Di sinilah letak titik hermeunetik filsafat yang mampu mengolah makna Al-Qur’an menjadi makanan bagi hidup manusia.

Sesuatu yang tidak bisa dibantah adalah bahwa setiap manusia dianugerahi akal sehat. Ibnu Rusyd justru mencoba mengangkat makna Al-Qur’an ini yang penuh dengan kata-kata alegoris ke tataran rasional yang berdasarkan pada akal sehat. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat menyulut suatu implikasi etis yang jauh lebih mendalam. Suatu pola pikir, pola sikap dan tanggung-jawab manusia terhadap dirinya sendiri maupun realitas di luar dirinya, yaitu alam dan Tuhan Apa yang dinamakan “makna” Al-Qur’an (makna konsep) sejauh konsep itu mendorong pola pikir dan pola sikap tertentu.

Inti konsep keazalian alam dan Tuhan dalam Pemikiran Ibnu Rusyd adalah bahwa alam dan Tuhan itu memiliki hakikat yang sama, yakni azali, kekal, abadi. Namun demikian ada perbedaan mendasar antara keazalian alam dengan keazalian Tuhan. Keazalian Tuhan tanpa sebab selain dari diri-Nya sendiri, sedangkan keazalian alam dimugkinkan karena alam teremanasi dari Tuhan. Karena alam teremanasi dari Tuhan, bukan diciptakan dari kekosongan, bukan dari benda lain, maka alam memiliki hakikat yang sama dengan Tuhan, yakni asali, abadi. Dengan demikian alam sebenarnya merupakan emanasi Tuhan yang berpartisipasi dalam hakikat Tuhan yang abadi. Ibnu Rusyd sendiri memahami Tuhan lebih sebagai “Penyebab Utama”, dan bukan sebagai Pencipta. Sebagai Penyebab Utama, Tuhan menyertakan Creative Power bagi alam semesta melalui emanasi, sehingga alam semesta sebenarnya tidak hanya disebabkan, tetapi Tuhan sebagai Penyebab Utama juga telah menjadikan alam semesta sebagai instrumen penyebab. Dengan begitu, Tuhan dalam hal ini tidak dapat dikatakan turut campur tangan secara langsung dalam peristiwa partikular yang terjadi di alam semesta(B. Lewis, dkk., Op. Cit., hlm 914-915).

Sepintas lalu, konsep Ibnu Rusyd atas keazalian alam dan Tuhan di atas memunculkan beberapa kesan:

Pertama, karakter pemikiran Ibnu Rusyd tergolong pantheisme, yakni aliran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah prinsip impersonal, yang berada di luar alam, tetapi identik dengannya. Dalam pandangan ini, secara empiris, segala sesuatu memang berbeda satu sama lain, tetapi pada hakikatnya sungguh-sungguh identik dengan Tuhan sendiri. Alam semesta merupakan cerminan dari Tuhan (Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Grameda Pustaka Utama, 1996, hlm.774-775).

Namun demikian, pantheisme bukanlah aliran yang tepat dikenakan bagi pemikiran Ibnu Rusyd. Hal utama yang perlu diberi aksentuasi dalam pikiran Ibnu Rusyd bahwa secara kualitatif alam semesta berbeda dengan Tuhan. Tuhan merupakan Zat yang berasal dari diri-Nya sendiri, sedangkan alam disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya sendiri, yaitu Tuhan. Dengan demikian, antara alam dan Tuhan tetap memiliki perbedaan secara kualitatif.

Alam itu azali karena Tuhan menjadikan alam sebagai instrumen penyebab dengan menyertakan creative power, sehingga mamampukan alam dalam dirinya memiliki potensi untuk berubah. Oleh karena itu, tepatlah pemahaman Ibnu Rusyd bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak digerakkan. Dengan uraian seperti di atas, pemahaman Ibnu Rusyd akan keazalian alam dan Tuhan tidak pernah jatuh ke dalam kontradiksi internal. Tuhan bagi Ibnu Rusyd tetap sebagai Tuhan yang tak berubah dan tunggal. Tuhan tidak pernah melebur dalam dunia. Tuhan tetaplah Tuhan yang independen, sebagaimana alam juga independen berkat creative power yang disertakan dalam dirinya. Dengan kualitas zat yang berbeda, Tuhan menyertai alam semesta dengan creative power, sehingga Tuhan tetap memiliki keterlibatan dalam alam semesta, tetapi serentak eksistensi Tuhan sebagai penyebab tidak langsung berada di luar alam semesta. Creative Power yang berasal dari Tuhan inilah yang memungkinkan alam semesta juga memiliki kesadaran di dalam dirinya sendiri, untuk berubah muka, berganti roman sepanjang zaman dan tiada henti-hentinya. Dalam konteks ini, alam semesta tidak dapat begitu saja dilihat sebatas cerminan Tuhan, karena alam pun memiliki kesadaran di dalam dirinya sendiri. Pemaparan Ibnu Rusyd semacam itu mau memberi tekanan akan adanya kesadaran manusiawi. Berbeda dengan pantheisme, rupanya pantheisme harus terjatuh ke dala kontradiksi internal. Di satu sisi, ajaran pantheisme membawa ke dalam suatu pemahaman akan ketiadaan kesadaran manusiawi. Di sini lain, pantheisme tidak dapat menutup mata akan adanya fakta bahwa manusia memiliki kesadaran. Manusia juga memiliki kesadaran untuk menentukan dirinya sendiri, tanpa sepenuhnya harus bergantung pada sesuatu di luar dirinya.

Bagi Ibnu Rusyd, mausia tidak akan pernah memiliki kesadaran pribadi, kalau manusia tidak independen dalam eksistensinya. Dengan begitu, kesadaran manusiawi hanya dimungkinkan apabila substansi independen dan tidakselalu harus bergantung dengan realitas di luar dirinya. Menurut hamat saya, tekanan yang diberikan oleh Ibnu Rusyd semacam ini tidak sedikit pun bermaksud untuk mengadakan pemisahan yang total antara alam dengan Tuhan. Akan tetapi, Ibnu Rusyd lebih jauh mau memberi tendensi bahwa alam pun memiliki creative power dalam dirinya sendiri. Dengan begitu alam semesta juga diberi hak untuk menentukan dirinya sendiri tanpa harus selalu menggantungkan diri dengan realitas di luar dirinya. Alam semesta diberi hak untuk menggunakan otaknya sendiri dan tidak harus selalu bergantung pada Tuhan, kendati harus disadari juga bahwa alam semesta memiliki otak tiada lain disebabkan oleh Tuhan.

Kedua, karakter pemikiran Ibnu Rusyd termasuk panentheisme(Yunani; Pan dan Theos yang berarti semua dalam Tuhan. Lih. Lorenz Bagus, Ibid.,hlm. 770-771).Panentheisme sendiri merupakan pandangan yang mengajarkan bahwa seluruh realitas merupakan bagian dari eksistensi Tuhan. Kaum panentheis dalam kosmologinya meyakini bahwa dunia adalah ciptaan yang terbatas dalam keadaan Allah yang tak terbatas; dan bahwa seluruh alam merupakan suatu organisme ilahi yang terkonstitusi sedemikian, hingga organisme yang lebih tinggi berunsurkan organisme yang lebih rendah.

Ibnu Rusyd memahami alam semesta sebagai yang azali, abadi dan tak terbatas, yakni karena alam semesta disebabkan oleh yang Azali, yaitu Tuhan. Keazalian Tuhan memang dilihatnya sebagai yang lebih utama dibandingkan dengan keazalian alam.Akan tetapi kalo menurut hemat saya, Ibnu Rusyd tidak bermaksud untuk berpikir secara hirarkis, artinya Ibnu Rusyd tudak bermaksud untuk mengungkapkan keazalian alam lebih utama dibandingkan dengan keazalian Tuhan. Demikian juga sebaliknya, keazalian Tuhan tidak pernah bermaksud untuk “memenjarakan” keazalian alam, sehingga alam semesta harus dipahami sebagai eksistensi yang terbatas di dalam keberadaannya dengan Tuhan yang tak terbatas. Tuhan juga tidak tampak sebagai otoritas yang merasa diri perlu untuk mengatur alam, sehingga alam harus dipahami sebagai organisme ilahi yang terinstitusi sedemikian rupa, yang harus “menginduk” pada organisme yang lebih tinggi. Apakah dengan pemahaman ini mampu mengukuhkan pemikiran Ibnu Rusyd ke dalam panentheisme?

Menurut hemat saya, relasi antara alam dan Tuhan dalam konsep Ibnu Rusyd bercorak dialektis, suatu relasi timbal-balik yang tak terpisahkan , tanpa adanya suatu pemahaman baru yang memunculkan kesan mereduksi alam di satu pihak, dan Tuhan di pihak lain. Dalam batas tertentu, keduanya independen dalam eksistensinya. Tidak ada konsep ‘mana yang lebih tinggi’ yang merasa perlu untuk mengatur yang lebih rendah. Alam dalam konsep Ibnu Rusyd sekali lagi disertai oleh creative power Tuhan. Creative Power Tuhan inilah yang memungkinkan alam semesta bebas menentukan dirinya sendiri dalam relasinya dengan Tuhan. Creative power yang disertakan oeh Tuhan inilah, rupanya yang mendorong Tuhan untuk lebih bersikap toleran terhadap segala peristiwa yang terjadi di dalam alam semesta. Creative power yang juga memungkinkan pemahaman ada bersama Tuhan bagi realitas alam semesta sebagai totalitas.

Menurut hemat saya, pemahaman Ibnu Rusyd seperti di atas sangat mendukung pola pandang bahwa hanya dari Tuhanlah dilahirkan segala sesuatu yang baik. Tuhan tidak pernah menyebabkan hal-hal yang kurang baik, bahkan yang tidak baik, karena Tuhan tidak lain adalah Kebaikan Sempurna itu sendiri. Kalaupun dalam fakta muncul sesuatu yang kurang baik bahkan tidak baik, karena sudah dari keazalian Tuhan memberi substansi kreatif yang memungkinkan alam semesta bebas menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, creative power yang disertakan Tuhan dalam seluruh realitas alam semesta senenarnya memunculkan pemahaman baru akan Tuhan yang menaruh kepercayaan yang besar terhadap alam semesta sebagai totalitas. Namun demikian, apakah setiap realitas yang menjadi bagian alam semesta sebagai totalitas itu sungguh berpartisipasi di dalam Tuhan yang tidak lain adalah Kebaikan Sempurna itu? Dalam konteks pemahaman ini saya secara pribadi optimis sekali bahwa pemikiran Ibnu Rusyd sangat adequate menjawab fenomena “ganjil’ yang terjadi dalam alam semesta ini.

Ketiga, pemikiran Ibnu Rusyd tergolong deisme. Istilah deisme sendiri diperkenalkan oleh Laelius dan Faustus Socinus pada abad ke XVI. Istilah ini sekarang digunakan untuk menunjuk pada suatu gerakan pemikiran abad XVII dan XVIII, terutama di Inggris. Gerakan ini sangat berupaya menggantikan wahyu dengan cahaya akal. Inti pemikirannya, aliran ini meyakini bahwa satu Tuhan pencipta dunia, setelah itu lepas tangan dalam fungsinya yang sekarang (Lorenz Bagus, Ibid., hlm.152-153). Memang, dalam konsepnya, Ibnu Rusyd memunculkan suatu pemahaman bahwa Tuhan adalah penyebab Pertama. Sebagai Penyebab Pertama, Tuhan hanyalah penyebab gerak akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya dalam alam semesta bukanlah akibat langsung dari Tuhan. Alam semesta memiliki potensi kreatif yang memungkinkan alam semesta bergerak secara independen tanpa campur tangan Tuhan.

Sepintas lalu, konsep Ibnu Rusyd di atas memang memberi kesan seolah-olah ia memandang Tuhan sebagai Penyebab Utama yang dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya tidak bertanggung-jawab. Tuhan muncul dalam pemahaman yang cenderung ‘cuci tangan’ setelah menyebabkan segala sesuatu.Tetapi kesan negatif atas pemikiran ini, rupanya harus dibuang jauh-jauh, mengingat dalam konsepnya, Ibnu Rusyd tetap membuka pemahaman akan keterlibatan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Kembali dalam konteks ini, creative power yang ada dalamalam semestalah yang membawa lampu pencerahan dalam pemikiran Ibnu Rusyd.

Menurut hemat saya, creative power yang ada dalam alam semesta, merupakan isyarat bahwa Tuhan menurut Ibnu Rusyd bukanlah Tuhan yang pasif, cuci tangan dan meninggalkan alam semesta begitu saja, tetapi Tuhan yang aktif-kreatif dalam alam semesta berkat creative power yang juga Dia sertakan dalam alam semesta. Sebagaimana alam semesta ini melimpah dari Tuhan, demikian juga creative power yang melimpah dari Tuhan niscaya kalo keberadaanya selain dari Tuhan sendiri. Artinya, keberadaan creative power dalam alam semesta harus dipahami sebagai substansi “tangan-tangan” Tuhan sendiri yang bergerak secara aktif-kreatif dalam suatu gerakan yang tidak langsung. Hal ini harus tetap didasarkan pada pemahaman bahwa alam semesta memiliki potensi pada dirinya sendiri, tidak lain karena creative power yang disertakan Tuhan. Tanpa creative power, potensi alam semesta praktis tidak dapat dipahami.

Saya sendiri cenderung melihat konsep Ibnu Rusyd tentang keazalian alam dan Tuhan ini sebagai konsep yang sangat unik. Begitu unik pemikiran Ibnu Rusyd sehingga sulit sekali untuk dikategorikan secara tepat dengan aliran-aliran tertentu. Ibnu Rusyd selalu ada posisi ‘antara’ di samping aliran-aliran lainnya. Tidak bertendensi ekstrem kanan, maupun kiri. Relasi alam dan Tuhan yang dibangun oleh Ibnu Rusyd lebih sebagai relasi yang bersifat imanen, tetapi serentak relasi yang transenden. Secara actual, memang Tuhan tidak bertindak secara langsung tetapi dengan creative power, Tuhan ada bersama alam semesta, turut serta dalam proses kehidupan di dalamnya, kendati tidak secara langsung. Imanensi yang tampak dalam konsep Ibnu Rusyd ini, tetap tidak mampu menghapus kenyataan bahwa Tuhan transenden: independen, lebih tinggi,unggul, agung, dan melampaui alam semesta.

Pemikiran Ibnu Rusyd tetap berbeda dengan ajaran panentheisme dalam hal relasi antara alam dan Tuhan. Memang, panentheisme memunculkan pemahaman akan adanya relasi transenden dan imanen. Akan tetapi, panentheisme tidak memiliki kejelasan, apakah dalam konsepnya, panentheisme juga menggunakan pemahaman “perantara”, seperti Ibnu Rusyd dengan creative power dalam konsepnya (lih. Lorenz Bagus, Ibid. hlm.770-771). Creative power dalam konsep Ibnu Rusyd harus dipahami sebagai ‘utusan’ dan Tuhan ‘yang mengutus’. Kalau Tuhan dikatakan sebagai ‘yang mengutus’, dalam hal ini Tuhan tidak datang dengan sendirinya, melainkan lewat utusannya. Creative power bukan Tuhan sendiri, tetapi harus dilihat dan dipahami sebagai ‘wakil’ Tuhan.

Ibnu Rusyd "Keazalian Alam dan Tuhan"(chapter 2)

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah).


2.3.1. Hakikat Ruang dan Waktu

Cara Ibnu Rusyd menopang pandangannya perihal hakikat ruang dan waktu ialah dengan memerikan hakikat ruang dan waktu secara berbeda. Pemahaman Ibnu Rusyd perihal ruang dan waktu sama sekali tidak bermaksud untuk menyangkal eksistensi waktu umum (ordinary time), seperti yang kita pahami, yang berdetak seiring terciptanya alam semesta ini. Akan tetapi, keadaan waktu umum itu, sebagai konsekuensi atas pemikirannya, Beliau lihat sebagai karya ciptaan yang eksistensinya berada dalam kekekalan dan bukan sebagai karya ciptaan yang diciptakan pada saat tertentu. Ruang dan waktu tidak diciptakan di dalam waktu enam hari, melainkan di luar waktu 6 (enam) hari. Eksistensi ruang dan waktu beliau pahami sebagai ada bersama Tuhan dan bukan sebagai ada pada saat tertentu, di mana Tuhan merasa perlu untuk menciptakan alam semesta sebagai totalitas. Untuk itulah, amat sulit bagi Ibnu Rusyd untuk membayangkan bahwa eksistensi ruang dan waktu itu baru ada setelah Tuhan berkehendak untuk menciptakan, atau Tuhan ada lebih dulu, kemudian barulah eksistensi ruang dan waktu menyusul (Ibid.hlm.66).

Ibnu Rusyd sendiri memahami waktu sebagai ukuran perubahan dalam alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak permulaan sebagai kontinuitastransformatif, tanpa adanya proses penyelangan waktu. Dengan kata lain, hakikat ruang dan waktu sebagai bagian dari totalitas alam semesta diciptakan Tuhan tanpa adanya durasi waktu. Eksistensi Tuhan harus selalu dipahami sebagai eksistensi yang membawa konsekuensi akan adanya eksistensi ruang dan waktu. Ruang dan waktu bukanlah realitas susulan, yang keberadaannya baru kemudian setelah Tuhan berkehendak untuk menciptakan alam semesta sebagai totalitas. Kontinuitas transformatif waktu itu sendiri merupakan karakter khusus yang kerap kali beliau pergunakan sebagai isyarat bentuk yang meruang (Spatialized form). Karena dalam bentuk itulah, kodrat perubahan alam mungkin terjadi dan bentuk berjasad pun dapat dialami (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (penerjemah Musa Kazhim), Bandung, Mizan, 2002,hlm. 37).

Untuk memperkuat pemikirannya di atas, dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu, Ibnu Rusyd mebuat tiga kategori eksistensi realitas. Pertama, eksistensi realitas yang berasal dari tindakan pelaku lain, yaitu segala macam perubahan yang terjadi dalam perjalanan alam semesta. Kedua, eksistensi realitas yang tidak berasal selain dari dirinya sendiri dan terjadi di luar waktu. Kategori ini hanya pantas dikenakan pada Tuhan. Ketiga, kategori eksistensi yang berada di antara kategori pertama dan kedua, yang tidak berasal dari eksistensi lain dan tidak pula terjadi di dalam waktu, yaitu alam secara keseluruhannya.

Dengan demikian, harus dikatakan bahwa alam semesta tidak dapat dipahami sebagai yang tercipta dari bahan tertentu, karena alam itu sendiri merupakan keseluruhan bahan yang ada. Alam semesta pun tidak dapat dipahami sebagai yang tercipta dalam waktu, karena waktu merupakan ukuran perubahan alam semesta. Perubahan alam semesta itu hanya dapat dipahami setelah alam semesta itu bereksistensi. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bagi Ibnu Rusyd untuk memahami konsepsi ruang dan waktu tanpa eksistensi ruang dan waktu ada bersama Tuhan dan alam semesta. Hal itu didasarkan pada suatu pemahaman bahwa ruang dan waktu itu sendiri merupakan bagian dari totalitas alam semesta, bahkan ruang dan waktu itu merupakan alam semesta itu sendiri, yang eksistensinya ada bersama Tuhan (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Op.Cit., hlm.37).

Dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam semesta tidak dapat dipahami dalam dua kutub yang saling bertentangan, yaitu pemahaman bahwa alam semesta ini diciptakan secara langsung, tetapi serentak alam semesta juga bersifat abadi, azali. Ibnu Rusyd secara tegas menandaskan bahwa pertentangan ekstrem semacam itu mustahil terjadi.Dengan tetap berpegang teguh pada konsepsinya tentang alam semesta secara keseluruhan, Ibnu Rusyd secara mengagumkan melontarkan pemikirannya bahwa segala sesuatu yang ada di luar waktun (abadi) mustahil terwujud oleh sesuatu selain dirinya sendiri, dan segala sesuatu yang tercipta di luar dirinya niscaya terbatas.

Dari uraian di atas, dalam konteks ruang dan waktu, tampak jelas bahwa Ibnu Rusyd dalam konsepsinya berupaya konsisten dengan gagasan keazalian alam dan Tuhan. Konsepsi Ibnu Rusyd perihal ruang dan waktu ternyata mampu mengantar pada suatu pemahaman bahwa ruang dan waktu merupakan kontinuitas transformatif yang bereksistensi sejak keabadian, karena alam semesta itu sendiri bersifat abadi, tanpa permulaan dan tiada akan berkesudahan. Jika alam semesta dipahami sebagai yang azali, maka mustahil jika alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari, karena waktu itu sendiri adalah ukuran perubahan alam semesta. Bagi Ibnu Rusyd, penciptaan alam semesta dalam kurun waktu enam hari merupakan isyarat bahwa eksistensi alam semesta terbatas (finite). Sementara, alam semesta menurut Ibnu Rusyd tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai kontinuitas transformatif yang bersifat azali. Oleh karena semesta alam tidak berawal dan berakhir, maka ruang dan waktu pun tiada berawal dan tiada berakhir. Dengan kata lain, keberadaan ruang dan waktu harus dipahami sebagai ada bersama Tuhan dan alam semesta.

2.3.2. Waktu dan Keputusan Tuhan

Ibnu Rusyd rupanya tidak hanya menelorkan konsepsi tentang ruang dan waktu, melainkan beliau juga menyatakan bahwa dalam peristiwa penciptaan tidaklah mungkin terjadi jeda waktu (gap in time), antara pertimbangan dan pelaksanaan tindakan Tuhan secara actual. Robert L. Arington dalam bukunya “A Companion to the Philosophers” mensitir gagasan Ibnu Rusyd dan menuliskannya sebagai berikut:

“Averoes replies that are important differences between God and human beings as agents. We can decide to do something and than do it, yet for God there is no time between His decision and His action, and indeed the very notion of God making decision implies that He has changed His mind about something, which involve change in unchangeable being. An Omnipotent God does not need to think about what to do before acting, since there is no accessity for Him to wait in order to bring something about. Why should God create the world at one particular time since all times are the same for Him? How could God create the world at a particular time since the world was created and motion started there was no time?” (Robert L. Arington, A Companion to the Pilosophers, Malden, USA, Blackwell Publisher Inc.,1999, hlm.667-8).

Pemahaman Ibnu Rusyd akan ketiadaan jeda waktu, sebagaimana tampak juga dalam kutipan di atas, tidak lain merupakan konsekuensi logis atas konsepsi dan argumentasinya perihal ruang dan waktu; serta pemahaman beliau yang tanpa sekat dan batas atas Al-Qur’an, terutama dari Surat Hud ayat 7. Ibnu Rusyd melihat bahwa alam semesta merupakan realitas tercipta yang sangat layak. Karenanya, tak ada satu pun alasan yang bisa menjelaskan tertundanya tindak penciptaan oleh Tuhan, wujud yang Mahakuasa dan Mahasempurna itu ( Oliver Leman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit., hlm.65-66).

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jeda antara pertimbangan dan pelaksanaan suatu tindakan actual oleh Tuhan sangatlah mustahil. Kalaupun ada jeda waktu sebelum alam semesta diciptakan, waktu itu sendiri tidak sama dengan waktu yang kita pahami, tidak sama dengan waktu particular yang kita pahami sekarang. Hal ini harus didasarkan kembali pada suatu pemahaman bahwa waktu itu sendiri pada hakikatnya merupakan ukuran perubahan peristiwa yang terjadi dalam alam semesta. Oleh karena waktu merupakan ukuran perubahan peristiwa dalam alam semesta, maka sebelum alam semesta ini tercipta, waktu itu tidaklah bermakna, karena belum ada perubahan dalam alam semesta. Atau jika tidak ada waktu sebelum penciptaan alam semesta, waktu permulaan alam semesta pun tiada bermakna.

Ibnu Rusyd juga menambahkan bahwa di dalam persoalan pertimbangan Tuhan untuk menciptakan atau tidak menciptakan alam semesta, Tuhan tidak dihadapkan pada pilihan tertentu. Dalam penciptaan semesta alam, Tuhan lebih dihadapkan pada kemungkinan menciptakan kehidupan dengan segala sesuatu yang terkait di dalamnya. Segala sesuatu yang terkait di dalam penciptaan harus dipahami sebagai baik adanya. Kalo segala sesuatu itu baik adanya bagi alam semesta, seperti “keberadaan” kita ini lebih baik dari pada “ketiadaan” kita , maka sangatlah mungkin bahwa keberadaan alam semesta dengan masa yang lebih panjang adalah lebih baik (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit.,hlm 66). Selain itu, rupanya Ibnu Rusyd kembali mau menunjukkan bahwa Tuhan itu tidak pernah bertindak atau bertobat secara langsung dalam lingkup ruang dan waktu. Juga dalam hal penciptaan alam semesta, Tuhan tidak pernah dapat dikaitkan dengan suatu pilihan tertentu, bahkan harus dikatakan bahwa Tuhan tidak pernah membuat keputusan secara kekal.

Zat yang bersifat kekal tidaklah mungkin menjadi sebab kejadian-kejadian temporal dan tidak kekal, tidak azali. Tetapi seluruh rangkaian atau peristiwa yang bersifat abadi benar-benar disebabkan oleh apa yang ada yang bersifat kekal, yang juga bertindak secara menyeluruh. Zat yang bersifat kekal semacam inilah, yang bagi Ibnu Rusyd, hanya pantas dikenakan bagi Tuhan. Tuhan benar-benar merupakan Penyebab Pokok, dalam artian bahwa Dia menyebabkan dan mendatangkan apa yang disebabkan serentak dengan keberadaannya sendiri. Demikian juga halnya dengan waktu, karena waktu merupakan bagian alam semesta, maka waktu pun harus dipahami sebagai yang azali, karena keberadaannya serentak dengan keberadaan Tuhan.

2.4. Keazalian Alam: Konsekuensi Logis Hubungan Alam dengan Tuhan

Dari teori emanasi yang pernah saya paparkan sebelum topik pembahasan ini, tampak bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan, bukan ada begitu saja, bukan juga diciptakan dari ketiadaan. Karena alam semesta ini melimpah dari atau meleleh dari Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan atau dari zat lainnya, maka mesti diterima bahwa alam semesta dan Tuhan memiliki hubungan yang bersifat mutlak dan harus. Dengan kata lain, hubungan alam semesta dengan Tuhan itu bersifat azali, abadi, sudah dari kekal hingga kekal, tiada berawal dan tiada berakhir.

Dasar pemikiran yang menunjukkan adanya hubungan alam semesta dengan Tuhan yang bersifat harus dan mutlak ini diuraikan oleh Ibnu Rusyd dengan ide yang begitu cemerlang. Menurut Ibnu Rusyd, alam semesta ini pada dasarnya azali, tanpa permulaan dan tanpa berkesudahannya. Karena itu, yang azali tidak hanya Tuhan, melainkan juga alam semesta. Hanya saja, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazaliaan alam semesta. Keazalian Tuhan adalah keazalian tanpa sebab selain dari Tuhan itu sendiri. Sedangkan keazalian alam semesta adalah keasalian yang disebabkan oleh sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri, yaitu Tuhan yang azali. Namun, keazalian Tuhan di sini juga sudah sejak kekal meresap ke dalam alam semesta, dan bahkan telah menjadi hakikat alam semesta, yakni alam yang azali (Drs. H. Hasbulah Bahkry, SH., Op. Cit. hlm.70).

Untuk memperkuat pendapatnya, Ibnu Rusyd mengajukan argumentasi yang rasional, dengan berlandaskan pada pemahaman akan hubungan sebab-akibat. Dia mengatakan bahwa seandainya alam semesta ini tidak azali, ada awal dan akhir, maka semesta ini selalu hadits, baru. Kalo alam semesta ini hakikatnya baru, maka mesti ada yang menjadikannya baru. Lalu, yang menjadikan alam semesta ini baru harus ada pula yang menjadikannya. Kalo dipahami seperti ini, maka alam semesta ini tidak akan ditemukan penyebabnya, karena penalaran semacam ini tidak akan pernah ada habisnya, tidak akan pernah memberikan jawaban rasional yang dapat dipahami. Keadaan yang berantai-rantai demikian itu, dengan tiada putus-putusnya, akan menjadi hal yang tidak akan pernah dapat diterima secara rasional. Jadi, mustahil kalo alam semesta itu baru, hadits. Alam semesta ini memang sesungguhnya azali, kekal, tiada berawal, dan tiada berkesudahan, sesuatu yang sejak kekal hingga kekal diresapi proses kekal, proses yang terus-menerus.

Selain argumentasi yang telah diuraikan di atas, Ibnu Rusyd juga mengajukan argumentasi mengenai keazalian alam semesta ini dalam kaitannya dengan pengetahuan Tuhan terhadap realitas alam semesta ini dalam kaitannya dengan pengetahuan Tuhan terhadap realitas alam semesta ini. Ibnu Rusyd melihat hubungan antara Tuhan dan alam semesta kendati tidak secara detail dan Tuhan tidak memiliki hubungan secara langsung dengan realitas-realitas particular di alam semesta ini. Dalam kaitannya dengan persoalan hubungan antara Tuhan dan alam semesta, sudah merupakan keharusan bagi Tuhan bahwa alam semesta Dia harus mengemanasikan alam semesta sejak keazalian. Segala sesuatu yang teremanasi dari Tuhan memiliki hakikat Tuhan dalam konteks waktu, yakni keazalian.

Karena Tuhan dengan alam semesta ini ada hubungan yang bersifat harus dan mutlak, maka alam semesta sudah merupakan keharusan terdalam alam semesta, untuk berada dalam keterkaitan dengan Tuhan yang azali. Bahkan keterkaitan ini sesungguhnya bersifat azali. Jadi, keazali alam semesta dan keazalian Tuhan tidak bisa dipisahkan, kendati keazalian keduanya berbeda. Khususnya keazalian alam semesta, tidaklah mungkin kalau tidak dalam keterkaitannya dengan Tuhan yang azali.

2.5. Rangkuman

Kata azali harus dipahami dalam keterkaitannya dengan penciptaan, ruang, Tuhan, dan alam. Kata azali berarti abadi, kekal, tiada berawal dan tiada akan berkesudahan. Keazalian sendiri merupakan wadah di mana form dan wujud dengan semua karakter dari segala sesuatu terbentuk dan ada. Dikatakan demikian, karena dalam keazalian ini apa pun tidak akan pernah musnah, selalu azali sebab berada dalam wadah yang azali, yaitu keazalian.

Ibnu Rusyd sendiri memahami waktu sebagai ukuran perubahan alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak keazalian sebagai ukuran perubahan alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak keazalian sebagai kontinuitas transformatif tanpa adanya penyelangan waktu. Ruang dan waktu disebabkan oleh Tuhan tanpa adanya durasi. Ruang dan waktu bukan merupakan realitas susulan yang keberadaannya baru kemudian setelah Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta ini.Kontinuitas transformatif waktu itu sendiri bagi Ibnu Rusyd merupakan karakter khusus, yang kerap kali ia pergunakan sebagai isyarat bentuk yang meruang (spatialized form), karena dalam bentuk itulah, kodrat perubahan alam mungkin terjadi dan bentuk berjasad pun dapat dialami.

Menurut Ibnu Rusyd, setiap benda memiliki kemungkinan untuk berubah, karena setiap benda bernyawa. Karena benda bernyawa, maka benda itu pun berakal sesuai sesuai dengan keadaan dan bentuknya sendiri. Hal ini berarti, akal itu sendiri pun mempunyai daya untuk mengenal dirinya sendiri dan hal-hal lain dengan keberadaannya. Akal di sini merupakan isyarat gerak yang menimbulkan perubahan, berganti roman dan bersalin rupa sepanjang zaman dan tiada akan pernah berkesudahan. Gerak yang terus-menerus dan tiada akan berkesudahan ini senantiasa menjadikan apa yang bersifat potensi menjadi wujud yang nyata dan potensi itu tetap menjadi hakikat terdalam dari alam semesta. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd melihat bahwa peristiwa “jadi” dan “musnah”, yang merupakan fakta hidup sehari-hari, tidak lain sebagai akaibat dari gerakan azali. Karena gerakan bersifat azali, maka peristiwa “jadi” dan “musnah” pun akan bersifat azali pula. Hanya dengan cara demikian, maka alam semesta tidak akan pernah mengalami apa yang dikatakan sebagai kekosongan. Dasar pemikiran Ibnu Rusyd mengenai keazalian alam semesta, dalam konteks ini, tidak lain merupakan semua gerak , energi, dan creative power dalam alam semesta itu sendiri, yang aktif secara terus-menerus; tanpa diketaui awalnya dan tiada akan berkesudahan. Persoalan pergantian wujud itu sendiri merupakan persoalan yang terkait dengan hakikat realitas semesta alam dengan creative power yang disertakan Tuhan bagi alam semesta itu sendiri, yang secara terus-menerus menimbulkan gerak azali. Creative Power, yang ada dalam tiap wujud itu tentunya dalam alur pemikiran Ibnu Rusyd ada dan aktif hanya dalam keterkaitannya dengan creative power yang Universal, Pertama, dan Tunggal, yaitu Tuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakikat alam semesta merupakan creative power yang menimbulkan proses terus-menerus dalam alam semesta. Karenanya, alam semesta ini dikatakan bersifat azali, tiada berawal dan tiada berkesudahan, kekal dan abadi.

Hubungan alam semesta dengan Tuhan sendiri harus dipahami sebagai hubungan yang bersifat harus dan mutlak. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan. Dengan kata lain, hubungan antara alam dan Tuhan tersebut bersifat azali, abadi, sudah dari kekal hingga kekal, tiada berawal dan tiada akan berakhir. Jadi, alam semesta dikatakan azali karena dikaitkan dengan Tuhan. Alam semesta terkait dengan Tuhan karena alam semesta teremanasi dari Tuhan melalui gerak yang ditimbulkan Tuhan sejak azali, tiada berawal dan tiada akan berkesudahan. Sesuatu yang diemanasikan harus dipahami mutlak berada dalam keterkaitan dengan yang mengemanasikannya. Dengan demikian, alam semesta yang teremanasi dari Tuhan mutlak dan menjadi keharusan terdalam alam semesta itu, untuk berada dalam keterkaitan dengan Tuhan yang azali. Alam semesta harus dipahami sebagai ada bersama Tuhan. Eksistensi alam semesta dan Tuhan itu bersifat azali, karenanya keazalian alam dan Tuhan tidak akan pernah bisa dipisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

ABIDIN AHMAD, ZAINAL. 1975. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd. Jakarta:Bulan Bintang

AMIN HOESIN, Oemar. 1964. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang

BAKRY, Hasbullah. 1978. Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tinta Mas

Daudy, Ahmad. 1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

LEAMAN, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan

----------------------2002. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. (Penerjemah Musa Kazhim). Bandung: Mizan

HITTI,Philip K. 1956. History of The Arab. New York: Princeton University Press

JURJI, Edward J. 1990. The Great Religious of The Modern World. New Jersey: Princeton University Press.

ARRINGTON, Robert L. 1999. A Companion to Philosophers. Malden:Blackwell Publisher Inc.

Shushtery, A.M.A. 1938. outlines of Islamic Culture. Vol.II. Bangalore City: The Bangalore Press.

Ibnu Rusyd "Keazalian Alam dan Tuhan"(chapter 1)

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(PEMIKIRAN IBNU RUSYD DALAM RENTANG SEJARAH)


“Berkat kecerdasan dan kecermerlangan pikirannya, Ibnu Rusyd merambah belantara cabang ilmu pengetahuan, Filsafat dan Agama. Keseluruhan petualangannya sangat mengandalkan daya cerna rasional atas apa pun serta mengesampingkan emosi dan perasaan sentimen. Alih-alih perjalanan seorang tokoh besar, justru kebesaran dan kejeniusannya malah membuat resah para ulama fikih yang tidak senang dengan pendapat-pendapatnya, bahkan dia dituduh sebagai penyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Agama Islam. Dia dikenal sebagai penentang ajaran Agama Islam dengan tudingan ‘manusia zindik’ (lahirnya Islam sementara batinnya kafir).Tidak hanya sebatas dituduh sebagai pengajar ajaran sesat saja, Beliau juga diasingkan di Lucena dan karya-karya yang sudah dipublikasikan pun di bakar dan secara resmi diumumkan haram belajar Ilmu Filsafat. Sejak saat itulah, Filsafat tidak mendapat tempat di dunia Islam karena kebebasan berpikir ‘dipasung’ dengan dalih agama”

1. Riwayat Hidup dan Karya-Karya Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd dilahirkan pada tahun 520 H atau tahun 1126 Masehi, di kota Cordova, Andalusia, wilayah Islam di ujung Barat Benua Afrika. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Ibnu Rusyd. Di Barat Beliau lebih dikenal dengan nama Averoes. Ia berasal dari sebuah keluarga terhormat, baik di wilayah kesarjanaan maupun kenegaraan. Di wilayah kesarjanaan, keluargannya telah menyumbangkan sarjana-sarjanaTeologi dan Ilmu Hukum bagi kaum muslimin Spanyol.Sementara di wilayah kenegaraan, Kakek dan ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai hakim agung. Beliau sendiri juga pernah menduduki jabatan sebagai hakim di Sevilla dan hakim agung di Cordova.

Sejak kecil Beliau telah mempelajari Al-Qur’an, ilmu-ilmu keislaman (tafsir, hadis, fikih, dansastra Arab). Kemudian Beliau juga mendalami Matematika, Fisika, Astronomi, Logika, Filsafat, Ilmu Kedokteran , sejarah, dan juga Ilmu Sastra. Beliau adalah komentator dan kritikus ulung dan namanya melambung tinggi justru karena uraian-uraiannya tentang filsuf-filsuf pendahulu, terutama Aristoteles. Kritik dan komentarnya tentang Filsafat Aristoteles inilah yang membuat Beliau termasyur di Eropa, sehingga Eropa tidak segan-segan mengakui bahwa Ibnu Rusyd adalah komentator besar atas karya Aristoteles sebagai guru besarnya.

Selama pergulatannya dengan Filsafat dan berbagai ilmu empiris lainnya, Ibnu Rusyd sangat merangsang banyak pemikir dunia terutama dalam ranah Filsafat. Beberapa karyanya dapat kita sebut, sbb: Mabadi-ul-Falasifah (Pengantar Ilmu Filsafat), Kashful-adilla (Buku Filsafat dan Agama), Tahafutu-t-Tahafut (Buku filsafat yang merupakan balasan atas serangan buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul-Falasifah), Muwafagati-I-Hikmawati Wal Sharia (Persamaan Filsafat dan Agama), Qism Ur Rabi’min Warait Thabie’ah (Buku Metafisika), Fashl ul maqal (Buku Ilmu Teologi), Bidayat ul Muftahid wa Nihayat Urdjuza (Ilmu Pengobatan), Taslul (Ilmu Kalam).

Setelah dibebaskan oleh Kaisar Al- Mansyur dari pengasingannya di Lucena, Ibnu Rusyd kemudian pergi ke Maroko dan di tempat inilah Beliau menghabiskan sisa hidupnya hingga hembusan nafas terakhir pada tanggal 11 Desember 1198.

1.1 Kemasyuran Ibnu Rusyd dalam Dunia Filsafat

Terlepas ‘label negatif’ yang harus dia pikul karena kecemerlangan dan keradikalan pemikirannya, Ibnu Rusyd harus diakui sebagai pemikir Abad Pertengahan yang paling besar , mencengangkan dan mengguncangkan dunia, khususnya dunia Islam. Beliau adalah seorang filsuf Islam yang paling terkenal. Seorang putera andalus yang menjadi ‘perantara’ dan yang membawa cara berpikir dan akidah Timur di tengah kehidupan orang Barat.

Karena kecemerlanagan dan keradikalan pemikirannya, maka Beliau berhasilmenggondol nilai yang tinggi dalam pandangan orang Eropa, serentak memeteraikan namanya dalam deretan filsuf-filsuf Eropa. Karena keistimewaannya inilah, maka Philip K. Hitti mengatakan :

“last of the great Arabic writing philosophers, Ibnu Rushd produced no progeny is Islam. He belonged more to Christian Europe than to Muslem Asia or Africa. To the West he became “the commentator” as Aristotle was the teacher” (Philip K. Hitti, History of the Arab, New York, Princeton University Press, 1956,hlm.583).

Dari uraian di atas, Ibnu Rusyd sebenarnya merupakan seorang filuf Islam yang sangat mempengaruhi gema filsafat Eropa. Beliau seorang filsuf sklolastik Islam yang kecemerlangan pemikirannya lebih menampilkan raut pemikiran yang holistic, karena pemikirannya mengakomodasi setiap pemikiran, kemudian menggodoknya secara rasional, sistematis, metodis serta koheren. Harapannya tentu pemikiran-pemikiran baru yang akan lebih mampu menampilkan karakter realitas yang sebenarnya. Beliau betul-betul seorang pencari kebenaran sejati, yang tidak begitu saja sudi ‘terpaku-mati’ dalam keyakinan-keyakinan, doktrin dan dogma-dogma yang sudah diterima tanpa memperkarakannya oleh khalayak umum. Beliau seorang manusia biasa yang memiliki keberanian untuk menerjang semua keangkuhan dogmatis-teologis serta filosofis, sambil menebarkan semerbak harum nubuat profetis serta pesan-pesan keilmuan yang luas, tajam dan mendalam. Dari konteks ini juga, dapatlah kita memahami bahwa pemikiran Beliau sebenarnya buah dari petualangan perdebatan yang panjang. Tetapi, pencarian Beliau sudah barang tentu dilakukan dalam konteks pencariannya akan makna yang terdalam dari sesuatu yang Beliau imani.

1.1.1. Pengertian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd tidak pernah mendifinisikan apa itu alam dan Tuhan. Beliau hanya menampilkan karakter alam dan Tuhan serta relasi hakiki antara alam dan Tuhan itu sendiri. Alam dalam pemikiran Ibnu Rusy lebih cenderung dipahami sebagai segala sesuatu yang ada dengan segala proses yang menjadikannya serta yang menyertai segala sesuatu itu. Dapat dikatakan bahwa alam merupkan totalitas eksistensi dan potensi yang terpadu. Alam meliputi ruang, waktu, materi, perubahan, gerak, energi, kausalitas, serta keabadian.

Sebagai seorang yang berimankan Islam, sudah barang tentu Kitab Suci Al-Qur’an menjadi pijakan pemikirannya. Beliau merefleksikan apakah ada sesuatu yang telah ada sebelum dunia ini diciptakan dan dari bahan yang sudah ada itukah dunia ini diciptakan. Apakah waktu itu sudah dimulai dari hari pertama dari keenam hari ataukah waktu itu sudah ada sebelum Allah menciptakan alam semesta ini. Ajaran tradisional Islam mengklaim bahwa alam semesta ini diciptakan dari ketiadaan “creatio ex nihilo”. Hal ini terutama didasarkan pada ayat 7 dari Surat Hud yang berbunyi: “Wa hua-llazi khasqas samawati wal ardla fi Satttati ay yami wa kana arsyuhu ala ama” (Allah itulah yang menjadikan beberapa langit dan bumi dalam waktu enam hari, dan arasynya di atas air). Kutipan ini dapat dijadikan rujukan bahwa ada sesuatu sebelum penciptaan alam semesta ini berlangsung. Tetapi khalayak memahami bahwa air itu sendiri dulunya juga diciptakan oleh Tuhan (bdk. A.J. Arbery, The Koran Interpreted, Oxfort University Press, 1964. Lihat juga Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Jakarta, Rajawali Pers, hal.35)

Tetapi berseberangan dengan pemikiran tradisional Islam, Ibnu Rusyd menurunkan gagasan alam semesta secara baru. Bahkan baginya, konsep “creatio ex nihilo” sama sekali tidak masuk akal. Tidaklah mungkin “tiada” dapat berubah menjadi “ada”. Yang terjadi “ada” berubah menjadi “ada yang lain”. Ibnu Rusyd susah membayangkan kalo sesuatu yang ada itu tidak bersifat azali, tanpa permulaan dan tiada berkesudahan. Beliau tidak terima pada saat kita merendahkan derajad Allah hanya sekedar pemain sulap. Kemudian, sapakah Tuhan menurut Ibnu Rusyd dan bagaimana relasinya dengan alam semesta?

Ibnu Rusyd lebih memahami segala sesuatu di alam ini disebabkan oleh Tuhan. Tuhan adalah ‘penyebab utama’ segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Dikatakan Tuha sebagai penyebab karena segala sesuatu yang ada di alam ini memancar atau melimpah dari-Nya. Karenanya, segala sesuatu yang ada di alam ini harus dipahami sebagai “ada-bersama” Tuhan. Alam semesta dengan demikian azali, tanpa permulaan dan tiada berkesudahan, dan bukan dari “ketiadaan” kemudian menjadi “ada”. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tuhan dan alam dari sisi durasi waktu sama-sama kekal. Tuhan adalah kekal dan alam semesta pun kekal adanya. Betapa sulit membayangkan matahari tanpa sinar matahari, demikian juga sulit membayangkan kekekalan Tuhan tanpa adanya kekekalan alam. Namun demikian, harus diakui bahwa kekekalan Tuhan berbeda dengan kekekalan alam semesta. Kekekalan Tuhan tanpa penyebab sedangkan kekekalan alam semesta mempunyai penyebab, yaitu Tuhan sendiri sebagai “Penyebab Pertama”.

Ibnu Rusyd tidak pernah membayangkan Tuhan sebagai Dia yang pasif, tetapi Dia yang aktif lantaran potensi kreatif yang Tuhan sertakan dalam alam semesta. Hakikat Tuhan menimbulkan gerak kendati Tuhan sendiri tidak bergerak. Gerak inilah yang menjadikan segala sesuatu di alam. Dari Tuhan tidak hanya memancar atau melimpah alam semesta saja, tetapi alam semesta bersama creative power yang disrtakan padanya. Tuhan tidak hanya menjadikan semesta alam saja, tetapi tuhan juga menjadikannya instrumen penyebab (lih. B.Lewis,dkk.(Ed.),Op.Cit.,hlm 914-915).Dengan wujud dan potensinya, akhirnya alam semesta menjadi penyebab bagi realitas-realitas particular yang ada di dalammya.

Dalam konteks pemahaman ini, Tuhan menurut Ibnu Rusyd tidak menciptakan alam semesta secara langsung. Dapat dipahami pula bahwa adanya realitas perubahan berganti roman dan berganti rupa sepanjang jaman tidak lain karena adanya kemampuan kreatif, potensi kreatif yang menyertai setiap materi yang ada di semesta alam ini. Bahkan dalam batas-batas tertentu, kita perlu memahami bahwa penciptaan alam semesta sebagai peristiwa transformatif alam semesta itu sendiri secara terus-menerus, karena melalui gerak pertama itu, Tuhan sudah memberikan daya transformasi pada alam itu sendiri ( Mircea Aliade, The Encyclopedia of Religion, New York, MacMillan Publishing Co.,1987,hlm.567).

Ibnu Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibnu Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhanyang esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibnu Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibnu Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu (Dr. Ahmad Daudy, MA(ED.), “Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984,hal.5-6).

1.1.2. Alam dan Tuhan dalam Teori Emanasi

Ibnu Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibnu Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhanyang esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibnu Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibnu Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu (Dr. Ahmad Daudy, MA(ED.), “Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam”,Jakarta, Bulan Bintang, 1984,hal.5-6).

Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibnu Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas/perbuatan. Ibnu Rusyd mengatakan sesungguhnya ada perbedaan anatara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia). Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu. Menurut Ibnu Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya. Dengan alasan ini, akhirnya Ibnu Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari Yang Satu, Esa, hanya melimpah satu (B. Lewis,dkk (Ed.),Op.Cit.,hlm.915). Ibnu Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia. Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas particular di dalamnya (Dr. Ahmad Daudy,MA (ed), Op.Cit.,hlm.31).

Dari apa yang telah diuraikan di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa antara wujud empiris dengan wujud akali sebetulnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menyatakan juga bahwa alamsemesta ini satu, ke luar dari Yang Satu. Di satu pihak, Yang Satu ini adalah penyebab adanya kesatuan. Sementara di pihak lain, Yang Satu ini menjadi penyebab adanya keragaman realitas. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ibnu Rusyd mengajukan argumentasi cemerlang melaui sebuah pernyataan tegas bahwa dari Yang Esa, dengan ke-Esa-an-Nya, harus melimpah keragaman atau melimpah apapun sesuai dengan kesempurnaan-Nya. Dari Yang Satu bukan hanya melimpah satu, karena hal itu tidak akan pernah sesuai dengan fakta keberagaman yang ada di semesta alam ini.

Semua prinsip, baik yang berasal dari materi maupun yang bukan materi, melimpah dari prinsip pertama (Tuhan). Untuk itu, eksistensi alam semesta ini tiada lain disebabkan oleh kekuatan Tuhan yang satu, sehingga kekuatan Tuhan yang satu itu meresap di dalammya. Dari kekuatan Tuhan ini, jadilah semuanya sebagai satu kesatuan yang sesuai dengan tindakan Tuhan yang satu. Karena jika tidak dipahami secara demikian, tidak akan pernah terjadi keteraturan dan keterkaitan antar bagian di dalam alam semesta ini. Berdasarkan pemahaman semacam ini juga, maka Ibnu Rusyd membenarkan bahwa Tuhan adalah penyokong dan pemelihara segala sesuatu.

Kalaupun ada kekuatan yang meresap dalam alam semesta, seperti yang dimaksudkan Ibnu Rusyd, hal itu bukan berarti bahwa dengan meresapnya kekuatan yang satu ke dalam alam semesta, maka alam semesta menjadi banyak, seperti yang diduga. Hal ini memang sesuai dengan anggapan kebanyakan orang bahwa dari prinsip pertama mula-mula hanya melimpah satu saja, kemudian dari yang satu itu melimpah yang banyak. Akan tetapi, dugaan semacam itu muncul dari pemikiran orang-orang yang menyamakan pembuat yang gaib (Tuhan) dengan pembuat nyata (manusia), atau antara pembuat yang immaterial (Tuhan) dengan pembuat yang material (manusia). Hal ini sangatlah mustahil bagi Ibnu Rusyd. Dari pemaparan di atas, maka jelaslah kebolehan melimpahnya keberagaman dari Yang Esa, tanpa perantara siapa dan apa pun, selain dari Yang Esa itu sendiri.

Ibnu Rusyd kemudian menambahkan penjelasannya dengan membandingkan alam semesta ini , yang terdiri dari berbagai bagiannya, dengan negara yang memiliki banyak pemimpin. Semua pemimpin yang ada dalam negara itu, akan tunduk di bawah pimpinan yang satu dan tertinggi, yaitu kepala negara. Demikian pun alam semesta ini, begitu banyak realitas particular ada di dalamnya, akan tetapi alam semesta, baik sebagai totalitas maupun realitas-realitas particular yang ada di dalamnya, tunduk di bawah prinsip pertama dan tunggal, yakni Penyebab alam semesta ini. Dengan begitu, tidak dapat dibantah bahwa dari Yang Esa melimpah beraneka ragam realitas sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada dalam alam semesta.

1.1.3 Pengetahuan Tuhan dan Realitas Partikular di Alam Semesta

Ibnu Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan Yang Mahamulia hanya mengetahui realitas alam semesta secara universal saja, dan tidak secara particular. Tuhan baginya merupakan Akal pertama yang menggerakkan, bahkan merupakan Akal tertinggi. Karena itu, pengetahuan dari Akal tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula, agar ada persesuaian antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Karena itu, mustahil Tuhan mengetahui selain Zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan Zat Tuhan (Robert L. Arrington, A Companion to The Philosophers, USA, Blackwell Publisher Inc.,1999,hlm.668). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengetahuan Tuhan hanya dimungkinkan jika ada kesesuaian keluhuran, antara yang beraktivitas mengetahui dengan hal yang akan diketahui. Karena itu, Tuhan hanya mungkin mengetahui realitas yang secara kualitatif sejajar dengan Tuhan sendiri. Realitas yang secara kualitatif sejajar dengan Tuhan tidak lain hanyalah Zat Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, apa yang bukan Zat Tuhan, tidak mungkin diketahui oleh Tuhan.

Pengetahuan Tuhan akan Zat-Nya itu menjadi sebab bagi adanya pengetahuan Tuhan secara universal saja. Hal ini serentak mengandaikan bahwa pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal particular tidaklah mungkin. Kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang particular, maka hal itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna dari pada-Nya, sesuatu yang tidak sejajar dengan Zat-Nya sendiri. Hal ini pun akanmenjadi tidak masuk akal, mengingat Tuhan yang adalah Akal Tertinggi itu seharusnya tidak mengetahui selain Zat-Nya sendiri, supaya ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Ibnu Rusyd menggambarkan Tuhan sebagai kehidupn yang sempurna dari segala segi dan sudah puas dengan kesempurnaan-Nya sendiri. Bahkan pengetahuan Tuhan pun tidak ditentukan oleh hal-hal particular.

Terkait dengan pengetahuan Tuhan yag bersifat universal ini, Ibnu Rusyd melihat alam dan Tuhan sebagaimana halnya hubungan negara dengan kepala negara. Karena kedudukannya sebagai “Penyebab” (kepala), maka Tuhan itu lain dari alam, sebagaimana kepala negara lain dengan negara yang dipimpinnya. Tidaklah mungkin kepala negara mengetahui urusan pemerintahannya secara detail, apalagi menangani segala urusan kenegaraannya. Jika hal demikian ini terjadi, maka kepala negara itu sebenarnya mulai mengabaikan potensi-potensi yang seharusnyabekerja di dalam tubuh pemerintahannya. Tuhan yang diimani oleh Ibnu Rusyd rupanya tidak seperti itu. Akan tetapi persoalannya apakah Tuhan Ibnu Rusyd itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan alam semesta? Ternyata tidak bisa dikatakan demikian, karena bahaimana pun juga Ibnu Rusyd tetap memahami Tuhan dalam kaitannya dengan alam semesta. Antara Tuhan dan alam semesta sebenarnya ada penghubungnya.

Penghubung utama antara Tuhan dg alam semesta ialah intelligensi yang tingkat bertingkat, sama halnya dengan susunan bintang-bintang di langit. Adapun intelligensi yang menghubungkan realitas particular, termasuk manusia, dinamakan “intelligensi bulan”. Secara mengagumkan Ibnu Rusyd menerangkan bahwa intelligensi bulan yang merupakan asal dari akal manusia ini merupakan suatu benda alam yang “azali”, sebagaimana azalinya alam semesta itu sendiri.

Secara cermat, Ibnu Rusyd membedakan antara akal aktif (Active Intellect) dengan akal pasif (Receptive Intellect). Akal aktif merupakan sumber dari segala akal manusia yangmemiliki sifat satu dan universal, sementara akal kemungkinan merupakan pikiran yang berkuasa sehari-hari terhadap diri manusia. Menurut Ibnu Rusyd, akal manusia terdiri atas akal aktif (yang merupakan sumber) dan akal pasif (yang merupakan pikiran yang berkuasa sehari-hari dalam diri manusia).

Akal dan jiwa manusia adalah satu, bersifat universal, dan abadi. Jasmani manusia boleh meninggal dan musnah, tetapi akal dan jiwanya akan terus hidup, menjadi bebas dari jasmani yang kasar itu dan menyatukan dirinya ke dalam akal aktif yang menjadi induk dan asalnya. Pemikiran Ibnu Rusyd seperti ini dinamakan “monopsychism” yaitu paham yang menyatukan segala jiwa (Drs. H. Hasbullah Bakry, SH., Op.Cit., hlm.73).

1.2 Rangkuman

Dari uraian di atas, tampak bahwa Ibnu Rusyd memang terkenal sebagai pemikir ulung, yang menampilkan pemikiran yang sangat cemerlang, baik di dunia Islam maupun di dunia barat. Kalo mau digolongkan dalam pemikiran Filsafat, sekilas tampak bahwa Ibnu Rusyd berdasarkan pemikirannya termasuk kaum rasionalisme. Akan tetapi kalo dilihat secara cermat, sebenarnya Ibnu Rusyd selain mengagumi rasionalitas, serentak beliau juga meyakini adanya realitas yang tidak dapat dicerna secara rasional, dan hanya mungkin dipahami melalui kerangka agama dan iman. Dengan demikian, Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf yang sangat rasional di satu sisi, tetapi sangat agamis di sisi yang lain.

Dengan pemaparan yang sangat berbeda, Ibnu Rusyd berusaha secermat mungkin memberi tendensi bahwa alam semesta ini azali: kekal,abadi, tiada berawal dan tiada akan berakhir. Alam semesta ini azali, karena keberadaan alam semesta ini disebabkab oleh Tuhan yang azali. Alam semesta ini azali, karena alam semesta memiliki daya kreatif dalam dirinya semndiri yang berasal dari Tuhan. Tendensi pada keazalian alam dan Tuhan semacam itu, beliau kukuhkan dengan teori emanasi.

Dalam teori emanasi, Ibnu Rusyd meyakini bahwa alam semesta melimpah atau meleleh dari Tuhan. Ibnu Rusyd memahami peristiwa emanasi ini sebagai keharusan mutlak berdasarkan kesempurnaan Tuhan. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa alam semesta ini merupakan satu kesatuan totalitas, melimpah dari Yang Satu, yaitu Tuhan. Dari Yang Satu melimpah keragaman sehingga sesuai dengan fakta adanya keragaman di semesta alam. Dengan pendapatnya ini, Ibnu Rusyd serentak menolak bahwa dari Yang Satu hanya melimpah satu. Jika dari Yang Satu melimpah hanya satu, hal ini baginya tidak akan sesuai dengan keberagaman yang ada di alam semesta ini. Selain itu, Ibnu Rusyd juga mau memberi tendensi bahwa alam semesta ini azali. Eksistensi Tuhan sudah berarti adanya Tuhan yang mengemanasikan diri-Nya, yang nyata dalam alam semesta sebagai totalitas. Dengan begitu, proses emanasi harus dipahami sebagai proses yang terjadi sejak keazalian.

Karena alam semesta meleleh atau melimpah dari Tuhan, maka konsekuensinya pengetahuan Tuhan atas realitas particular bersifat universal. Tuhan tidak mengetahui segala sesuatu sampai sekecil-kecilnya. Bagi Ibnu Rusyd, harus ada kesesuaian antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Karena itu, Tuhan harus dipahami sebagai yang hanya mengetahui sesuatu yang seluhur dengan Tuhan itu sendiri dan itu tidak lain adalah zat-Nya sendiri. Pengetahuan Tuhan mengenai zat-Nya itulah yang menjadi sebab pengetahuan Tuhan secara universal. Kemaha-kuasaan Tuhan harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip umum yang mengatur alam semesta ini secara azali, yaitu Zat-Nya sendiri. Kalau Tuhan mengetahui setiap realitas particular sampai tingkat sekecil-kecilnya, maka pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh sesuatu yang kurang sempurna dalam dirinya. Dalam hal ini mustahil, karena Tuhan dalam pemikiran Ibnu Rusyd adalah Tuhan yang sempurna dan merupakan Akal Tertinggi. Tuhan yang sempurna dan merupakan Akal tertinggi tersebut, tidaklah mungkin mendapatkan pengetahuan dari sesuatu yang kurang sempurna.

Arro'yu Ibnu Rusyd 'anil azalil 'alam wa Ilahiyah

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah).


2.1. Pengertian Keazalian

Kata dasar keazalian adalah azali. Dalam kamus dan ensiklopedi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris tidak ditemukan kata azali. Karena itu, etimologi kata “azali” sulit dilacak. Namun, bila kita membaca buku-buku yang memuat Filsafat Islam seing dipakai khususnya dalam Filsafat tentang penciptaan, ruang, waktu, Tuhan dan Alam. Kita sudah mengenal bahwa Filsafat Islam itu berpusat di Arab. Karena itu, dapat diduga bahwa kata azali berasal dari Bahasa Arab.

Setelah saya berupaya memahami pemikiran Ibnu Rusyd, salah satu filsuf skolastik Islam, saya melihat bahwa kata azali terkait erat dengan persoalan waktu. Dari alur pemikiran Ibnu Rusyd dapat ditangkap bahwa keazalian berarti keabadian, kekekalan, tiada berawal dan tiada berakhir (Drs. Hasbulah Bakry, Op.Cit.,hlm.69-70. Lihat juga Qemar Amin Hoesin, Op.Cit: hlm.365-366.). Kata azali yang berarti keabadian, kekekalan, tiada berawal, dan tiada berkesudahan di sini, rupanya tidak hanya berkaitan dengan keberadaan dari sesuatu yang tidak akan pernah musnah, tetapi juga soal asal-usul dari sesuatu yang ada. Karena itu, kata keazalian berarti juga tidak berawal dan tidak berkesudahan, dari kekal hingga kekal. Dengan demikian, keazalian juga menyangkut segala sesuatu serta proses yang memungkinkan dan menyetai terjadinya segala sesuatu.

Dalam filsafat tentang Alam dan Tuhan, Ibnu Rusyd melihat bahwa alam dan Tuhan itu bersifat azali, abadi, yang berarti tidak berawal dan tiada kan berakhir. Sekilas, pernyataan ini tidak koresponden dengan kenyataan alam. Bagaimanapun, realitas particular tertentu di alam ini (terutama realitas material) pada kenyataannya musnah juga, seperti kematian manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dari kenyataan ini, alam rupanya tidak bisa dikatakan sebagai azali.

Namun demikian, pemahaman Ibnu Rusyd mengenai keazalian tidak bisa dibantah begitu saja hanya dengan alasan sederhana seperti itu. Ibnu Rusyd yang memakai kata azali sebenarnya mau bicara soal hakikat terdalam dari segala-sesuatu, yaitu potensi kreatif yang menyebabkan dan menyertai segala sesuatu, entah sebagai totalitas maupun sebagai realitas yang particular. Dari pemahaman seperti ini, kata azali sebetulnya juga menunjuk karakter universal segala sesuatu. Di sini saya memahami bahwa Ibnu Rusyd melihat adanya “creative power” universal, yang memungkinkan terjadinya dan menyertai alam semesta dengan segala karakternya, termasuk perubahan-perubahan alam particular, bahkan juga soal peristiwa kemusnahan suatu realitas dalam alam semesta ini.

Jadi, keazalian berarti keabadian, kekekalan, dan secara negatif, keazalian berarti tiadaberawal dan berakhir, tidak kontingen dan juga tidak berdurasi. Dari uraian di atas, keazalian merupakan wadah di mana form dan wujud dengan semua karakter dari segala sesuatu terbentuk dan ada. Dengan demikian, keazalian juga merupakan hakikat terdalam dari segala sesuatu. Dikatakan demikian, karena dalam keazalian ini, apa pun tidak akan pernah musnah dan selalu azali, karena berada dalam wadah azali, yaitu keazalian.

2.2. Keazalian Alam dan Tuhan dalam Kaitannya dengan Gerak.

Dalam pemikiran Ibnu Rusyd, antara gerak, alam, dan Tuhan tidak bisa dipisahkan. Dalam proses penciptaan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan alam semesta secara langsung. Posisi Tuhan terhadap alam adalah sebagai perantara. Posisi sebagai pengantara inilah yang menyebabkan adanya gerak. Dengan demikian, Tuhan merupakan sumber gerak, akan tetapi bukan Tuhan yang bekerja menjadikan alam (Dr. Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1964, hlm.365-366). Tuhan sebagai sumber gerak tidak bergerak dan tidak ada yang menggerakkannya. Tuhan adalah Penyebab Pertama dan Utama, Tuhan hanyalah menyebabkan gerak pada akal pertama saja. Sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya yang menimbulkan berbagai peristiwa di alam ini disebabkan oleh akal-akal selanjutnya. Akal-akal selanjutnya yang dimaksud di sini sebenarnya merupakan “creative power”, yang menyertai alam semesta sebagai totalitas maupun menyertai setiap realitas particular di alam semesta ini. Karena itu, peristiwa atau kejadian apapun di alam ini bukanlah akibat langsung dari tindakan Tuhan. Alam semesta, sebagai totalitas maupun realitas particular di dalamnya, berproses dengan creative power yang terkandung di dalamnya, tanpa campur tangan langsung dari Tuhan. Adanya creative power dalam alam itu sendiri menjadi dasar dari gerak alam semesta , yang mendorong dan membentuk karakter alam semesta dan realitas particular yang ada di dalamnya.

Kalo gerak itu dipahami sebagai energi atau daya kreatif, maka hakikat dalam materi itu adalah energi. Hal ini sangat jelas, ketika Ibnu Rusyd menyatakan bahwa segala bendaadalah potensi yang bersifat universal. Setiap benda mengandung energi yang membentuk dirinya sendiri (Ibid.,hlm366). Karena setiap benda mengandung energi, maka setiap benda memiliki gerak dan gerakan itu memiliki dua arah, yaitu gerak di dalam dirinya sendiri dan gerak terhadap benda-benda lainnya (Ibid.). Dalam konteks ini, Shushtery menerangkan pemikiran Ibnu Rusyd secara gamblang:

Matter as universal potency, contain in itself the capacity of taking form. Both matter and form are eternal and necessary to each other. The highest sphere is immaterial and permanent. It does not revolve as considered by other scholars, but the apparent mation is connected with the star fixed in it. The heaven of the planets, on the other hand, has two mations; one particular to each planet and the other its daily movement. Sun and the stars contribute to life on earth by their warmth (A.M.A. Shushtery, Outline of Islamic Culture, VOL. II., Banggalore City, The Bangalore Press, 1938, hlm.436).

Gerakan adalah suatu akibat, karena tiap-tiap gerakan senantiasa mempunyai sebab menggerakkan yang mendahuluinya. Kalo kita mencari sebab itu, maka akan kita temui sebab penggeraknya. Begitu seterusnya, dan tidak mungkin berhenti. Karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk menganggap bahwa sebab yang terdahulu atau yang pertama itu adalah sesuatu yang tidak bergerak. Suatu gerak yang tiada awal dan tiada akhir yang merupakan penggerak utama, “Prima-Causa” yang hanya pantas dikenakan bagi Tuhan.

Karena Penggerak Utama (Tuhan) ini tidak berawal dan tidak berakhir, maka Tuhan pada hakikatnya azali, tiada berawal dan tiada berakhir, kekal ada-Nya. Dalam teori emanasi yang pernah saya uraikan, kita telah melihat bahwa Tuhan yang sempurna dan esa mengemanasi alam semesta, tanpa membutuhkan perantara dari sesuatu yang lain, selain diri-Nya sendiri. Tuhan yang menggerakkan itu sebenarnya adalah Tuhan yang mengemanasikan diri-Nya , sehingga terbentuk alam semesta dengan potensi dan karakternya. Maka di sini, Tuhan itulah yang memberikan creative power pada alam semesta dengan seluruh realitas particular yang ada di dalamnya. Tuhan yang memberi creative power berarti Tuhan yang memberikan daya aktif dan hidup pada alam semesta. Karena itu, lebih lanjut Ibnu Rusyd mengatakan bahwa setiap benda mempunyai ‘kemungkinan ‘ bahkan setiap benda bernyawa. Karena benda bernyawa, maka benda itu pun berakal sesuai dengan keadaan dan bentuknya sendiri (Op.Cit., hlm.366). Itu berarti bahwa akal itu sendiri mempunyai daya untuk mengenal dirinya sendiri dan hal-hal lain dengan keadaannya. Akal di sini merupakan isyarat gerak yang menimbulkan perubahan , nerganti roman dan berganti rupa sepanjang jaman yangtiada hentinya.

Gerak yang menimbulkan perubahan berganti roman dan bersalin rupa di sini tidak berarti bahwa alam semesta itu bersifat baru (hadits), karena bentuk alam semesta itu benar-benar mempunyai sumber asal-usulnya, yaitu Tuhan. Namun, alam semesta dalam kaitannya dengan waktu sendiri berkembang secara terus-menerus dalam kedua kutub yang ekstrem, yaitu tanpa ada proses penyelangan waktu (Oliver Leaman, Op.Cit.,hlm 35). Alam terus menerus berubah, tetapi alam serentak bersifat azali. Nah, itu berarti bahwa alam semesta karena hakikatnya yang berubah dan berkembang secara terus-menerus, tanpa penyelangan waktu, menunjukkan karakter keazalian alam semesta. Alam semesta secara hakiki tidak bersifat hadits (baru, kontingen), melainkan azali, kekal, dan abadi, karena teremanasi dari yang azali dan kekal, yaitu Tuhan sebagai Penggerak Pertama dan Utama. Maka kita sebetulnya dapat mengatakan bahwa alam semesta ini tidak azali, baru, sebab azali selalu berarti tiada berawal dan tiada berakhir. Terhadap persoalan ini, Ibnu Rusyd mengembangkan argumentasinya dengan mendasarkan diri pada beberapa ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan sedemikian rupa untuk dijadikan landasan teologid bagi pemikirannya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dipakainya sebagai landasan pemikiran, antara lain sebagai berikut. Ibnu Rusyd mengemukakan Al-Qur’an ayat 7 dari surah Hud yang berbunyi: “ Allah itulah yang menjadikan beberapa langit dan bumi dalam waktu enam hari, dan tahtanya di atas air”. Ibnu Rusyd menafsirkan bahwa memang ayat itu membenarkan pemahaman bahwa alam semesta merupakan realitas yang dijadikan oleh Tuhan. Tetapi di samping itu, ayat ini memberi kesan pula sebelum ada langit dan bumi ini, sudah ada zaman dan zaman itu merupakan wadah dari alam semesta ini. Selain itu, ayat ini juga dapat memberi kesan bahwa sebelum ada langit dan bumi, sudah ada tahta dan air. Berkaitan dengan tafsiran ayat ini, kita perlu melihat kembali arti alam menurut pemikiran Ibnu Rusyd. Kita sudah mengetahui bahwa Ibnu Rusyd memahami alam sebagai totalitas eksistensi dan potensi terpadu. Hal itu berarti bahwa alam sudah termasuk air, tahta, ruang, dan waktu.Kenyatannya, dalam Al-Qur’an tampak jelas bahwa sebelum langit dan bumi dijadikan sudah ada waktu,tahta dan air yang semuanya termasuk alam semesta. Dengan demikian, alam semesta sebenarnya terbentuk bukan dari “ketiadaan”, dan dari zaman tertentu, melainkan dari kekal, sejak azali. Karena itu, wujud dan bentuk alam ini keseluruhannya sebetulnya bersifat azali, tiada berawal dan tiada berakhir.

Selain ayat di atas, Ibnu Rusyd juga mengemukakan juga ayat 48 dari Surat Ibrahim yang berbunyi: “ Pada hari bumi ini diganti dengan bumi yang lain, demikian pula langit, menghadaplah keduanya ke hadirat Allah yang Mahaesa dan mengerasi”. Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini kalo ditafsirkan akan menunjukkan kesan bahwa dalam kejadian alam semesta ini ada kelangsungan, pergantian. Hal ini tidak berarti bahwa alam semesta ini hadits (baru). Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ibnu Rusyd kembali mengutip Al-Qur’an ayat 11 dari Surat Fushshilat yang berbunyi : “ Kemudian Allah menuju ke langit yang ketika itu sebagai asap, lalu katanya kepada langit dan bumi: Datanglah kamu berdua, baik dengan suka hati ataupun terpaksa. Menyahutlah keduanya: kami datang dengan penuh kesukaan”. Ibnu Rusyd menyatakan, dari ayat ini dapat diambil kesan bahwa wujud alam itu adalah azali sedangkan yang baru itu hanyalah pergantian bentuknya (Drs. H. Hasbullah Bakhry, SH., Op.Cit., hlm. 71-72).

Kalau dilihat secara cermat, sebenarnya dasar pemikiran Ibnu Rusyd mengenai keazalian alam semesta dalam konteks ini adalah semua gerak, energi, creative power dalam alam semesta yang aktif secara terus-menerus, tanpa diketahui awalnya dan tiada akan berkesudahan, dan tiada akan pernah berhenti. Persoalan pergantian wujud itu merupakan persoalan hakikat realitas alam semesta, yang sebenarnya dimungkinkan oleh keterpautan totalitas alam semesta itu dengan creative power yang terkandung di dalam dirinya sendiri, yang terus menerus menimbulkan gerak. Creative Power alam semesta itu tentunya, menurut alur pemikiran Ibnu Rusyd, ada dan aktif hanya dalam keterkaitannya dengan Creative Power yang universal, Pertama, dan Tunggal, yaitu Tuhan. Dapat dikatakan bahwa karena hakikat alam semesrta adalah potensi kreatif (Creative Power), yang menimbulkan proses terus menerus pada alam semesta, maka alam semesta ini bersifat azali, tiada berawal dan tiada berkesudahan, kekal dan abadi.

2.3. Keazalian Alam dan Tuhan dalam Kaitannya dengan Ruang dan Waktu

Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf Islam. Kita tahu bahwa bagi umat Islam, Al-Qur’an tidak hanya diyakini sebagai Buku Suci yang memuat hal-hal yang terkait dengan perkara spiritual belaka, akan tetapi Al-Qur’an juga dipercaya sebagai sumber dan gudang ilmu pegetahuan. Al-Qur’an diyakini memuat jawaban-jawaban fundamental serta difinitif atas persoalan-persoalan ketuhanan, alam, dan manusia. Al-Qur’an memuat hal-hal yang begitu kompleks. Karena itu, pemahaman yang benar dan tepat atas isi Al-Qur’an menjadi tuntutan yang sangat mendasar. Ibnu Rusyd sendiri melihat, terutama bagi kaum intelektual, isi Al-Qur’an mesti ditafsir dan dikaji secara rasional agar dapat dipahami secara benar dan tepat sehingga bermakna bagi petualangan hidup manusia. Bahkan Ibnu Rusyd sendiri menyatakan bahwa tidaklah benar bagi seorang intelektual memahami isi Al-Qur’an secara literal, tanpa ditafsir dan dikaji secara rasional. Tentang isi Al- Qur’an, Ibnu Rusyd berpendirian bahwa Al-Qur’an merupakan buku yang diturunkan oleh Allah untuk seluruh manusia. Oleh karena manusia memiliki tingkat-tongkat tertentu dalam pengetahuan, ada yang berilmu dan ada yang bodoh, maka pengertian atas isi Al-Qur’an pun sudah barang tentu bertingkat-tingkat pula, menurut tingkat pemahaman seseorang. Ibnu Rusyd membagi tingkat pengertian atas Al-Qur’an menjadi dua kategori: pertama, Al-Qur’an bagi orang illiteral (orang awam) harus ditafsir secara literal. Artinya, bagi orang awam, Al-Qur’an harus dikemas dan disajikan berdasarkan bunyi serta cara mereka berpikir. Kedua, Al-Qur’an bagi orang literal (kaum terpelajar atau kaum intelektual), Al-Qur’an harus dilihat secara alegoris atau secara kiasan , menurut tingkat ilmu pengetahuan kaum intelektual (lih. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Op. Cit., hlm.160).

Dalam peristiwa penciptaan alam semesta, dalam kaitannya dengan ruang dan waktu, Al-Qur’an memang menyajikan informasi perihal penciptaan alan semesta (langit dan bumi) yang dijadikan Tuhan dalam waktu 6 (enam) hari. Dinyatakan juga bahwa alam semesta bertahta di atas air. Terkait dengan penciptaan alam semesta ini, kita dapat melihat Kitab Suci Al-Qur’an dalam Surat Hud ayat 7 yang berbunyi :” Allah itulah yang menjadikan langit dan bumi dalam waktu enam hari, dan arasynya (tahtanya) di atas air (Lihat Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia). Informasi mndasar dalam Al-Qur’an itulah yang dijadikan Ibnu Rusyd untuk memahami peristiwa penciptaan alam semesta dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu. Sebagai seorang filsuf, Ibnu Rusyd sedikit mengesampingkan arti literal Ayat Suci Al-Qur’an tersebut dan lebih condong untuk memahami secara alegoris informasi yang terdapat dalam Ayat Suci Al-Qur’an perihal penciptaan alam semesta, dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu. Ibnu Rusyd tidak begitu saja menerima dan meyakini pernyataan Al-Qur’an itu sebagai ungkapan yang dapat dijadikan representasi realitas peristiwa penciptaan alam semesta ini oleh Tuhan. Bahasa yang dipergunakan dalam Al-Qur’an bagi Ibnu Rusyd merupakan bahasa alegoris yang tidak bisa diterima begitu saja, tanpa adanya penafsiran dan pengkajian secara rasional.

Untuk itu, Ibnu Rusyd perlu melihat secara jeli dan kritis peristiwa penciptaan alam semesta dan keterkaitannya dengan ruang dan waktu serta sangat berkepentingan sekali untuk mengajukan beberapa pertnyaan mendasar yang dirasakannya mampu membawa pada suatu pemahaman yang sejati, akan hakikat peristiwa alam semesta dalam kaitannya dengan ruang dan waktu. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang Ibnu Rusyd lontarkan adalah sebagai berikut: Pertama, apakah waktu itu sudah ada sebelum Tuhan menciptakan alam semesta ini, ataukah waktu itu dimulai dari hari pertama dari keenam hari sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an? Apakah kita tidak dapat membayangkan waktu sebelum adanya waktu seperti yang kita pahami sekarang manakala Tuhan ada bersama dengan waktu itu? Kedua, apakah dalam proses penciptaan alam semesta ini, ada saat di mana Tuhan harus menunggu saat yang tepat untuk mencipta?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang Ibnu Rusyd munculkan di atas, rupanya tidak mendapat jawaban yang memadai secara rasional dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Ayat Suci Al-Qur’an rupanya tidak memberikan jawaban yang pasti dan meyakinkan berkaitan dengan peristiwa penciptaan alam semesta dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu. Bahasa Al-Qur’an perihal ruang dan waktu itu tetap mengundang banyak interpretasi yang mungkin timbul (Lih. Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit. hlm.33).. Kenyataan seperti inilah yang mendorong Ibnu Rusyd untuk berpetualang dengan pemikirannya dalam rangka memahami hakikat alam semesta dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu.

Ibnu Khaldun My History Teacher

Ibnu Khaldun : Peletak Dasar Ilmu Sosial


Ia pun membagi masyarakat menjadi masyarakat kota dan desa.
imageIbnu Khaldun lahir di Tunis, Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Nama lengkapnya adalah Abdurahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Ibnu Khaldun.

Nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut, Yaman yang berimigrasi ke Sevilla, Andalusia, Spanyol. Namun keluarganya akhirnya meninggalkan Sevilla menunju Melilia, Maroko kemudian menuju ke Tunisia saat Abi Zakariya hafsid pada 1228-1249. Ibnu Khaldun berasal dari keluarga cendekiawan yang tak begitu tertarik dengan persoalan politik. Sejumlah bidang menjadi bagian penting dalam proses pendidikannya. Di antaranya adalah Alquran, tata bahasa, hukum, hadis, retorika, filologi, matematika, filsafat, dan astronomi.

Ayahnya sendiri, Muhammad, yang memberikan pengajaran pertama kepada Ibnu Khaldun. Selanjutnya, ia menimba ilmu dari banyak cendekiawan yang ada di Tunis. Apalagi saat itu, Tunis seakan menjadi pusat cendekiawan Muslim dari Andalusia. Menurut Ensiklopedi Islam, pada 751 H, yaitu saat Ibnu Khaldun berusia 21 tahun, ia diangkat menjadi sekretaris Sultan Dinasti Hafs, al Fadl yang berkedudukan di Tunisia. Namun tak lama kemudian, ia berhenti karena penguasa yang didukungnya kalah dalam pertempuran pada 753 H.

Ibnu Khaldun kemudian menuju Baskara, Maghrib Tengah, Aljazair. Di sana ia berupaya untuk mendapatkan pekerjaan dari Sultan Abu Anan yang menjadi penguasa Bani Marin. Dan pada 755 H, ia berhasil mendapat kedudukan sebagai anggota Majelis Ilmu Pengetahuan. Setahun kemudian ia diangkat menjadi sekretaris Sultan. Dan jabatan itu ia jabat hingga 763 H. Pada 764 H, ia berangkat ke Granada karena mendapatkan tugas dari Sultan Bani Ahmar sebagai duta di Castilla. Ia menjalankan tugasnya dengan gemilang.

imageNamun pada suatu saat, hubungannya dengan Sultan retak. Hingga kemudian pada 766 H, ia mendapat undangan dari penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad, untuk datang Bijayah, daerah pesisir Laut Tengah di Aljazair. Kemudian ia diangkat sebagai perdana menteri. Baru setahun, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur di Qasanthinah. Meksi berganti penguasa, Ibnu Khaldun tetap diberi jabatan yang sama. Hingga kemudian ia memutuskan untuk berangkat ke Baskara.

Serangkian peristiwa di dunia politik ia alami. Hingga ia memutuskan untuk menjauhi politik. Ia memutuskan untuk tinggal di Qal'at, Aljazair. Di sanalah ia menulis kitab monumentalnya Kitab al-I'bar wa Diwan al Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al A'rab wa al Barbar atau al I'bar. Kitab yang berisi tujuh jilid ini, berisi kajian sejarah yang didahului Muqaddimah, jilid satu yang membahas tentang masalah-masalah sosial manusia. Muqaddimah ini membuka jalan pembahasan mengenai ilmu-ilmu sosial.

Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa politik tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Ia pun membagi masyarakat menjadi masyarakat kota dan desa. Tak heran, bila kemudian Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Pada 780 H, Ibnu Khaldun, kembali ke Tunisia. Ia menelaah sejumlah kitab yang dibutuhkan untuk merevisi kitab al-I'bar. Empat tahun kemudian ia pergi ke Iskandaria, Mesir untuk menghindari kekacaun politik yang terjadi di tempat kelahirannya. Dari sana ia lalu ke Kairo.

Di Kairo, Ibnu Khaldun mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para ulama di sana. Ia bahkan membentuk sebuah halaqah di Al Azhar. Selain Kitab al-I'bar, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah kitab lainnya yang berkualitas tinggi. Kitab itu adalah at-Ta'rif bi Ibn Khaldun, sebuah otobiografi, yang merupakan catatan kitab sejarahnya. Ia pun menulis kitab mengenai teologi, Lubab al-Muhassal di Usul ad-Din. Ini merupakan ringkasan dari kirab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al Muta'akhirin, karya Imam Fakjruddin ar- Razi. Kitab ini memuat pandangan-pandangan teologi dari Ibnu Khaldun. fer/RioL

image